PERCAYA sajalah bahwa para penghuni Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6, Jakarta Pusat, ialah negarawan. Mereka berjumlah sembilan orang dan disebut sebagai hakim konstitusi.
Negarawan salah satu syarat yang disebutkan Demi menjadi hakim konstitusi meski diembel-embeli menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Syarat lainnya ialah Mempunyai integritas dan kepribadian yang Tak tercela, serta adil.
Syarat negarawan itu tertulis dalam UUD 1945. Hanya Demi hakim konstitusi, bukan presiden dan hakim Akbar. Karena itulah, kurang Pas pernyataan ‘mencari negarawan seperti mencari jarum di tumpukan jerami’. Negarawan itu Terdapat di Mahkamah Konstitusi.
Hakim konstitusi itu bukan seolah-olah sosok bijak bestari meski Terdapat juga lancungnya. Bukan. Mereka itu negarawan yang Tak gila pujian, Tak gila hormat. Pangkat dan jabatan, bagi negarawan di Medan Merdeka Barat, bukanlah simbol kehormatan dan kenikmatan.
Terdapat dua tabu bagi hakim konstitusi. Kedua tabu itu ditulis apik oleh Jimly Asshiddiqie dalam Naskah Peradilan Etik dan Etika. Kedua tabu itu dikaitkan dengan sifat negarawan yang melekat dalam diri hakim konstitusi.
Pertama, seorang hakim konstitusi Tak Sepatutnya Tetap Mempunyai cita-cita Demi mendapatkan jabatan yang lebih tinggi sehingga dikhawatirkan akan menggunakan kedudukannya sebagai hakim konstitusi Demi mendapatkan keuntungan pribadi guna menggapai jabatan yang dicita-citakannya.
Kedua, seorang hakim konstitusi Tak Sepatutnya Tetap Mempunyai cita-cita Demi mendapatkan kekayaan lebih banyak sehingga dikhawatirkan akan menggunakan jabatannya sebagai hakim konstitusi Demi mendapatkan keuntungan pribadi berupa kekayaan yang lebih banyak.
Seandainya Terdapat hakim konstitusi yang menjadi penghuni jeruji besi, katakan saja itu oknum negarawan. Andai Terdapat hakim konstitusi yang Tetap menyimpan cita-cita menjadi orang nomor satu atau dua di negeri ini, sebut saja itu sebagai hak Anggota negara. Andai mereka mengadili dirinya sendiri, anggap saja itu tafsir musyawarah atas asas nemo judex idoneus in propria causa.
Jangan pula mempersoalkan putusan hakim konstitusi yang negarawan itu Melewati apa yang dimintakan. Ultra petita. Tak perlu dipersoalkan karena MK merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka Demi menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Bagaimana dengan masalah aktual yang menerpa MK, Yakni dugaan perubahan substansi putusan terkait dengan pencopotan hakim konstitusi Aswanto? Terdapat perbedaan antara putusan yang dibacakan dan putusan yang ditulis. Dugaan skandal itu pula berbuntut pelaporan sembilan hakim konstitusi serta panitera MK dalam perkara 103/PUU-XX/2022 Nurlidya Stephanny Hikmah ke Polda Metro Jaya.
Terhadap kasus aktual itu anggap saja Tak Betul Terdapat perubahaan substansi putusan Tiba Terdapat putusan lain dari Majelis Kehormatan yang dibentuk MK Demi menyelidiki kasus itu. Sementara itu, terhadap laporan ke Polda Metro Jaya, biarkan polisi menjalankan tugas mereka. Kalau nantinya terbukti bersalah, anggap saja hakim konstitusi juga Mahluk Lazim. Mereka bukan malaikat.
Boleh-boleh saja Edmund Burke Membikin pembeda antara negarawan sejati dan penipu. Negarawan sejati itu seorang yang Menonton masa depan dan bertindak pada prinsip-prinsip yang ditetapkan dan Demi keabadian. Negarawan penipu hanya Menonton masa kini dan bertindak berdasarkan ketidakadilan dan imoralitas. Percaya sajalah, hakim konstitusi itu ialah negarawan sejati.
Terdapat pula yang menyebut negarawan sejati itu selesai dengan dirinya sendiri sehingga hanya memikirkan keutamaan. Manuel L Quezon, presiden Filipina (1935-1944), menyatakan, “My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins.”
Hakim konstitusi tentu saja hanya loyal kepada negara. Anggap saja mereka Tak pernah loyal kepada lembaga yang menjadi sumber rekrutmen mereka, Yakni presiden, DPR, dan Mahkamah Akbar. Kalau ditemukan keadaan sebaliknya, anggap saja itu sebagai skandal negarawan.