Resah Gongahwah

SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah. Saya juluki puncak kelas menengah karena pengeluaran per orang di anggota keluarga mereka sudah lebih dari Rp7 juta per bulan.

Mereka bercerita bahwa setahun sekali wajib melancong, entah ke dalam negeri seperti ke Bali, Raja Ampat, Labuan Bajo, nonton Moto-GP di Mandalika, atau ke luar negeri bareng keluarga. Biasanya mereka ke Singapura, Bangkok, Istanbul, atau umrah ke Mekah.

Tetapi, kondisi itu berlangsung sejak tujuh tahun hingga dua tahun lalu. Sejak tahun lalu, mereka tidak melakukan itu lagi. Pahamn ini pun, mereka ‘tutup buku’ untuk jalan-jalan. “Lo, kenapa?” tanya saya kepada sejumlah kawan kelas menengah itu.

“Tabungan habis, bro. Usahaku bangkrut. Saya ‘mantab’ sekarang. Makan tabungan. Saya turun kelas jadi gongahwah (golongan menengah bawah). Wk… wk… wk…” ujar salah seorang kawan menjawab pertanyaan saya.

Terdapat banyak kelompok ekonomi menengah yang kini bernasib serupa dengan kawan saya itu. Kelas menengah di Indonesia memang sedang menghadapi tekanan daya beli. Mereka makin sering datang ke pusat perbelanjaan, ke mal, tapi hanya untuk jalan-jalan, bukan belanja.

Tren seperti itu mulai kelihatan akhir tahun lalu, kemudian meningkat pada 2024. Konsumen kelas menengah makin pilih-pilih dalam berbelanja, terutama untuk mencari harga paling murah. Dalam kamus ekonomi, perilaku seperti itu dikenal sebagai downtrading.

Ketika ini, kelas menengah kita sedang mengembangkan perilaku ‘membeli dalam jumlah lebih sedikit daripada biasanya, tetapi lebih sering’. Gejala itu terekam dalam data Berdikari Spending Index (MSI) yang menunjukkan rata-rata nilai belanjaan dalam keranjang konsumen pada 2024 turun 0,9% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Akan tetapi, jumlah kunjungan mereka ke pusat perbelanjaan meningkat 3,3% pada 2024.

Cek Artikel:  Menabur Rahmatan lil Alamin

Situasi itu menunjukkan konsumen lebih memilih untuk berkunjung lebih sering ke pusat perbelanjaan sambil juga menurunkan nilai ‘keranjang’ mereka. Itulah downtrading, yang merupakan perilaku konsumen ketika individu atau rumah tangga memilih alternatif yang lebih murah jika dibandingkan dengan yang mereka beli sebelumnya. Fenomena itu sering kali disebabkan kombinasi beberapa faktor, seperti tekanan ekonomi, perubahan kondisi keuangan pribadi, dan pergeseran preferensi konsumen.

Sebelumnya, fenomena downtrading juga didapati di kalangan perokok. Kementerian Keuangan menyebutkan terjadi penurunan penerimaan cukai rokok dalam dua tahun terakhir akibat fenomena downtrading. Para perokok mulai banyak berpindah dari rokok kelas 1 dan 2 ke rokok kelas 3 (sebagian bahkan rokok tingwe alias ngelinting dhewe atau membuat rokok secara mandiri dengan melinting tembakau) yang tarif cukainya lebih murah.

Cek Artikel:  Mudik Jalan Lalu

Fenomena downtrading yang terjadi pada industri rokok dan lainnya menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia tengah mengalami pelemahan daya beli. Berdasarkan data MSI, belanja per kapita untuk kelas menengah dan atas saat ini memang sedikit lebih tinggi daripada ketika pandemi. Tetapi, belanja mereka mengalami stagnasi alias sudah mentok. Kepercayaan diri mereka mengenai pendapatan yang meningkat pada 2024 juga semakin kecil.

Sebaliknya, untuk kelompok ekonomi rendah, MSI mencatat terjadi sedikit peningkatan pada 2024. Tetapi, kelompok itu melakukan belanja dengan menggunakan tabungan mereka. Belanja kelas pendapatan bawah yang meningkat per kapita telah menggerus tabungan mereka.

Data MSI menunjukkan porsi belanja kebutuhan makanan pokok atas pendapatan masyarakat kita pada 2024 meningkat menjadi lebih dari 27%. Padahal, tahun lalu, porsi uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan makanan pokok masih 13,9% dari penghasilan mereka.

Ekonom senior Chatib Basri menjelaskan data-data MSI itu secara sederhana dapat dipahami bahwa ketika pendapatan masyarakat turun, mereka akan tetap mempertahankan konsumsi kebutuhan pokok mereka, seperti belanja makanan. Apabila pendapatan menurun, sedangkan konsumsi makanan tetap, porsi konsumsi makanan dalam total pengeluaran mereka akan meningkat. Itu sebabnya kenaikan porsi makanan dalam total belanja mencerminkan menurunnya daya beli.

Cek Artikel:  Ribut itu Bagus

Chatib mengistilahkan para kelas menengah kini bermigrasi dari ‘zona nyaman ke zona makan’. Itu sama persis dengan pernyataan teman saya yang menyebut dirinya sudah turun kelas, ‘dari gongahwah (golongan menengah agak mewah) ke gongahwah (golongan menengah bagian bawah)’.

Situasi seperti itu rawan bagi munculnya gejolak. Seperti yang pernah saya tulis di Podium sebelumnya berjudul Kelas Menengah kian Resah. Di tulisan itu saya berharap agar Paradoks Cile tidak terjadi di negeri ini. Di Cile, ekonomi tumbuh, tapi daya beli kelas menengah merosot.

Paradoks Cile ialah situasi yang terjadi ketika pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi tidak dibarengi dengan memperhatikan kelas menengah. Ketika kelas menengah terus-terusan dilanda kebingungan karena pendapatan mereka merosot dan pemerintah abai, muncul ledakan sosial yang amat serius mengguncang stabilitas Cile.

Kini, alarm sudah mulai berbunyi, saat gongahwah papan atas turun kelas menjadi gongahwah yang lain. Semoga alarm itu segera berhenti.

Mungkin Anda Menyukai