Puting Beliung Politik

FENOMENA puting beliung dahsyat melanda sebagian wilayah Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada Rabu (21/2) lalu. Angin yang berputar hebat, yang diperkirakan turun dari kumpulan awan hitam di langit, menggulung benda-benda termasuk bangunan yang dilewatinya.

Saking dahsyatnya, fenomena itu bahkan memunculkan dua pendapat ahli. Ahli dari BRIN Erma Yulihastin menggolongkannya sebagai tornado, dengan alasan angin itu berkecepatan di atas 65 km per jam. Menurutnya, ini masuk kategori tornado Skala Fujita di level 0. Radius putaran anginnya juga lebih dari 2 kilometer, sedangkan radius putar puting beliung biasanya kurang dari itu.

BMKG berpandangan lain. Mereka kukuh pada pendapat bahwa itu bukan tornado, meskipun memang level kekuatannya lebih besar daripada puting beliung biasa. BMKG juga menyebut Indonesia tidak mengenal istilah tornado. Maka, dengan kekuatan fenomena di Sumedang dan Bandung itu, BMKG mengategorikannya sebagai ‘cuaca ekstrem puting beliung’.

Apa pun nama atau sebutannya, yang pasti angin raksasa yang berputar menyerupai gasing dengan kekuatan sedahsyat itu adalah fenomena yang tak biasa di Tanah Air. Bahkan, menurut Erma, tornado yang terjadi di Bandung dan Sumedang merupakan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Itu bisa menjadi pertanda alam bahwa kondisi Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja.

Cek Artikel:  Politik Suka-Suka Sukarelawan Capres

Saya tidak sedang coba mengait-ngaitkan, tetapi fenomena puting beliung dengan kekuatan yang besar kiranya juga tengah melanda jagat perpolitikan nasional. Tentu saja ini hanya metafora. Akan tetapi, bila melihat situasi politik Indonesia akhir-akhir ini, frasa ‘puting beliung’ rasanya tidak berlebihan dipakai sebagai personifikasi dari kaum elite penguasa yang belakangan suka main hantam dan terjang.

Mega perpolitikan yang gelap telah menciptakan badai dan pusaran angin yang tanpa ampun meluluhlantakkan nalar dan etika demokrasi. Bangunan demokrasi yang bertahun-tahun dibangun dengan susah payah bertubi-tubi ditonjok oleh tangan-tangan kerusakan yang kekuatannya tak kalah dahsyat dengan tornado di Jawa Barat.

 

Miris memang, tetapi itulah yang terjadi di Republik ini, paling tidak sejak tahun lalu ketika mesin-mesin politik untuk menghadapi Pemilu 2024 mulai dihidupkan. Kalau cuma mesin yang dihidupkan sebetulnya masih wajar. Itu hal yang normal, suhu politik di tahun-tahun politik memang selalu bakal menghangat, bahkan memanas.

Cek Artikel:  Etika Nihil Nyaring Bunyinya

Tetapi, ketika kemudian yang dihidupkan tidak cuma mesin politik, tapi juga rekayasa-rekayasa politik yang kotor sekaligus niretika, di situlah kekacauan mulai muncul. Terlebih ketika angin rekayasa itu mulai menjangkau wilayah yang dianggap sebagai benteng konstitusi demi satu tujuan yang sejatinya melawan prinsip reformasi dan demokrasi, yaitu membangun politik dinasti dan nepotisme.

Berawal dari situ, puting beliung politik terus berputar. Kerusakan terus ditebar, termasuk dengan memproduksi kecurangan-kecurangan untuk memenangi kontestasi pemilu. Segala hal yang dianggap menghalangi atau menghambat, dihantam. Bahkan suara moral para guru besar dan sivitas akademika kampus yang mengingatkan demokrasi sedang menuju kerusakan karena masifnya kecurangan pemilu pun, tak digubris.

Puting beliung selama ini dinarasikan sebagai angin sepoi-sepoi yang menyejukkan. Padahal sesungguhnya ialah angin ketamakan, angin kekemarukan yang sama sekali tidak menyegarkan. Ketika angin itu berputar, ada kepentingan kekuasaan yang diutamakan, tapi ada kepentingan pihak lain yang dibenamkan. Lebih parah lagi, ada kepentingan rakyat yang dikorbankan.

Cek Artikel:  Rusia Berduka

Pada akhirnya, keporakporandaan demokrasi mungkin tinggal menunggu waktu. Bahkan sebelum fase kerusakan itu kian memuncak di masa Pemilu 2024, The Economist Intelligence Unit (EIU) dalam laporan bertajuk Age of Conflict, yang menganalisis indeks demokrasi 2023 secara global, juga sudah memberikan Indonesia nilai buruk.

Indonesia hanya menempati peringkat ke-56 dari 200 negara yang disurvei dengan skor 6,53 poin, turun dari 6,72 poin di tahun sebelumnya. Sejumlah pakar memprediksi skor itu bakal turun lagi jika survei dilakukan setelah karut-marut politik nasional yang terjadi belakangan ini.

Kita tentu tak mengharapkan kemungkinan terburuk itu terjadi. Demokrasi harus diselamatkan. Badai pasti berlalu, kata Berlian Hutauruk, dalam lagu berjudul sama yang diciptakan Eros Djarot. Begitu pun puting beliung politik, kita mesti percaya bakal pergi dan berlalu.

Etika, nurani, dan ikhtiar akan menjadi kunci. Sekalian elemen masyarakat, dari rakyat jelata, kalangan cendekia, pers, hingga partai politik, mesti terus mengawal proses pemerintahan di negeri ini tanpa sedikit pun menyisakan celah bagi petualang-petualang politik kotor meluluhlantakkan demokrasi.

Mungkin Anda Menyukai