Perlu Solusi Lebih Holistik dan Berbasis Ilmiah Demi Atasi Banjir Jabodetabek

Perlu Solusi Lebih Holistik dan Berbasis Ilmiah untuk Atasi Banjir Jabodetabek
Peneliti doktoral di Wageningen University & Research sekaligus Executive Director di Water Network Initiative, Erbi Setiawan(Dok.HO)

Area Jabodetabek kembali dilanda banjir setiap musim hujan. Berdasarkan Taksiran awal dari Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kerugian akibat banjir pada tahun 2025 diperkirakan mencapai Rp800 miliar. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan apakah strategi penanggulangan yang diterapkan selama ini Benar-Benar efektif.

Peneliti doktoral di Wageningen University & Research sekaligus Executive Director di Water Network Initiative, Erbi Setiawan mengatakan pendekatan pengendalian banjir di Indonesia Tetap terlalu berorientasi pada intervensi struktural dan alih fungsi lahan di kawasan hulu. Padahal, permasalahan ini jauh lebih kompleks dan memerlukan solusi yang lebih holistik serta berbasis pendekatan ilmiah dan tata kelola yang berkelanjutan.

“Air secara alami mengalir ke daerah yang lebih rendah, tetapi sering kali kita lupa bahwa hujan Kagak hanya turun di Area hulu. Di Jabodetabek, curah hujan tinggi Kagak hanya terjadi di hulu, tetapi juga di sepanjang Aliran sungai hingga ke hilir. Apabila Pusat perhatian penanganan hanya pada intervensi alih fungsi lahan di hulu, kita mengabaikan Kesempatan besar Demi mengurangi risiko banjir melalui strategi yang lebih komprehensif,” ujar Erbi, melalui keterangannya, Selasa (25/3).

Cek Artikel:  Bawa Payung, 3 Hari ke Depan Jakarta Berpotensi Hujan

Ia menambahkan meskipun alih fungsi lahan di kawasan hulu merupakan salah satu Unsur Esensial yang berkontribusi terhadap banjir di hilir, penanganan yang hanya berpusat di hulu tidaklah cukup. Diperlukan pendekatan terpadu yang mencakup seluruh kawasan Aliran sungai, dengan mempertimbangkan aspek tata kelola air, kapasitas drainase, serta strategi adaptasi berbasis ekosistem Demi memitigasi Pengaruh banjir secara lebih efektif.

Erbi mencontohkan strategi yang telah sukses diterapkan di Belanda, salah satu negara dengan sistem pengelolaan banjir paling maju di dunia. Proyek Room for the River memberikan lebih banyak ruang bagi sungai Demi mengalir secara alami dengan memperluas daerah banjir dan menciptakan ruang resapan air. Selain itu, konsep flood defence multifungsi memungkinkan suatu kawasan yang rawan banjir tetap Mempunyai manfaat ekologis dan ekonomi Ketika kondisi normal, Tetapi dapat berubah menjadi area tampungan air Ketika terjadi banjir.

Dalam konteks Jabodetabek, Erbi menekankan bahwa penanganan banjir harus bersifat holistik dan Kagak hanya bergantung pada infrastruktur teknis semata. 

“Pembangunan bendungan dan kanal memang dapat membantu mengendalikan banjir, tetapi tanpa perencanaan tata ruang yang Benar, kita hanya menunda masalah, bukan menyelesaikannya,” jelasnya.

Cek Artikel:  Akun FB Icha Shakila yang Minta 2 Ibu Cabuli Anak Diduga Dikendalikan M, Kini Diburu Polisi

Ia menambahkan bahwa diperlukan kawasan yang secara Tertentu difungsikan sebagai area retensi air Demi menampung limpasan Ketika volume air meningkat. Tetapi, dalam kondisi normal, ruang-ruang ini dapat dimanfaatkan Demi keperluan rekreasi, fungsi ekologis, maupun area hijau yang mendukung keberlanjutan lingkungan. 

Pendekatan ini Kagak hanya meningkatkan kapasitas penyerapan air, tetapi juga memberikan manfaat sosial dan ekologi bagi masyarakat. Selain strategi berbasis tata ruang, pengelolaan sungai memang membutuhkan intervensi struktural guna menjaga kapasitas dan kestabilan Aliran air. Salah satu tantangan terbesar adalah sedimentasi yang dipercepat oleh aktivitas Sosok, seperti pembuangan sampah dan limbah ke sungai. 

“Kita sering menyalahkan curah hujan tinggi sebagai penyebab banjir, padahal penyempitan sungai akibat sampah dan sedimentasi yang Kagak terkelola dengan Berkualitas Malah menjadi Unsur Esensial yang memperparah kondisi,” ujarnya.

Lebih lanjut, Erbi mengusulkan pembentukan institusi Tertentu yang bertanggung jawab atas pengendalian banjir dan pengelolaan sumber daya air secara terintegrasi. “Ketika ini, pengelolaan sumber daya air Tetap terlalu berfokus pada pembangunan infrastruktur fisik, padahal solusi yang dibutuhkan Kagak selalu bersifat struktural. Dengan adanya badan Tertentu ini, strategi mitigasi dapat lebih terkoordinasi, mencakup Kagak hanya pengendalian banjir, tetapi juga pengelolaan air Bersih dan limbah sebagai bagian dari tata kelola sumber daya air yang holistik,” jelasnya.

Cek Artikel:  Nyeri Hati Kerap Dimarahin Atasan di Tempat Kerja, Pria Ini Siram Air Keras ke Korban

Ia menambahkan bahwa institusi ini juga dapat berperan dalam mengembangkan mekanisme pembiayaan yang lebih berkelanjutan, termasuk melalui skema public-private partnership (PPP). “Dengan keterlibatan sektor publik dan swasta, pengelolaan sumber daya air dapat dilakukan secara lebih efektif dan berkelanjutan, tanpa sepenuhnya bergantung pada anggaran pemerintah,” ujarnya.

Sebagai Misalnya, Belanda Mempunyai sistem Water Authority (Waterschappen) yang bertanggung jawab atas pengelolaan air, mulai dari pencegahan banjir, pengelolaan kualitas air, hingga distribusi sumber daya air secara efisien. Water Authority di Belanda bekerja secara independen dengan sumber pendanaan dari pajak air, sehingga pengelolaan air dilakukan secara berkelanjutan tanpa tergantung sepenuhnya pada pemerintah pusat. 

Dengan beberapa penyesuaian, implementasi model serupa di Indonesia dapat membantu meningkatkan efektivitas tata kelola air dan mitigasi bencana banjir secara lebih komprehensif. “Selama kita Tetap berkutat dengan solusi yang sama, banjir akan Lanjut menjadi masalah tahunan. Saatnya berpikir lebih luas dan menerapkan strategi yang lebih inovatif agar kita Kagak terjebak dalam pola yang sama setiap tahun,” tutupnya. (Faj/M-3)

Mungkin Anda Menyukai