Pensiunan Akbar

“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.

Kontroversi teranyar ialah rencana mengubah nama Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Akbar (DPA). Padahal, hakikat fungsi kedua lembaga itu tetap sama, yaitu memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara.

Pasal 16 UUD 1945 hasil amendemen menyebutkan presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.

Konstitusi hasil amendemen sama sekali tidak menyebutkan nomenklatur lembaga yang memberikan nasihat dan pertimbangan itu. Tetapi, Undang-Undang Nomor 19 Pahamn 2006 memberi nama Dewan Pertimbangan Presiden. UU 19/2006 menempatkan Wantimpres di bawah presiden. Itulah tafsiran yang berkembang pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Tafsiran terbaru digagas DPR yang hendak merevisi UU 19/2006. Namanya bakal diganti menjadi Dewan Pertimbangan Akbar dan kedudukannya sebagai lembaga negara, bukan di bawah presiden. Revisi UU itu resmi menjadi usul inisatif DPR pada 11 Juli 2024, disetujui dalam rapat paripurna DPR.

Cek Artikel:  Nathan, Hereenveen, dan Netizen

Kalau revisi itu kemudian disahkan menjadi undang-undang pada tahun ini, hal tersebut berarti DPR membangkitkan DPA dari dalam kuburnya. Nama DPA hidup selama 57 tahun kemudian dikuburkan dalam 22 tahun terakhir. Fakta itu bisa dibaca dalam buku berjudul Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019 Sejarah, Tugas, dan Fungsi. Kitab itu terbit pada 2017.

Ketika pertama kali dibentuk pada 25 September 1945, para pendiri bangsa yang merumuskan UUD 1945 mengusulkan nama Majelis Pertimbangan (MP). Nama itu diusulkan Mohammad Yamin.

Tetapi, dalam rancangan naskah yang disusun Hoesein Djajadiningrat, Soepomo, Soewandi, Singgih, Sastromoeljono, Soetardjo, dan Soebardjo, nama MP diubah menjadi Badan Penasihat Akbar (BPA). Pada naskah akhir yang disahkan, nama BPA diubah lagi menjadi DPA.

Ketentuan mengenai DPA ini masuk Bab IV UUD 1945, dengan judul Dewan Pertimbangan Akbar. Isinya hanya satu pasal, yaitu Pasal 16, yang terdiri dari dua ayat. Ayat (1) menyatakan, ‘Susunan Dewan Pertimbangan Akbar ditetapkan dengan undang-undang’. Ayat (2) menyatakan, ‘Dewan ini berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah’.

Cek Artikel:  Satgas Judi Hitung Hari

Setelah 57 tahun berjalan, pada Agustus 2002, DPA dihapuskan dari struktur ketatanegaraan Indonesia, dengan pengesahan perubahan keempat UUD 1945. Dengan demikian, nama DPA terkubur selama 22 tahun. Meski demikian, UU Wantimpres baru disahkan pada 28 Desember 2006 sehingga Wantimpres menggantikan DPA sudah berjalan selama 16 tahun.

Elok nian penggunaan nomenklatur DPA lagi disertai dengan ikhtiar baru. Ikhtiar untuk tidak menjadikan lembaga itu sebagai wadah penampung pensiunan seperti pada masa Orde Baru.

Jangan menjadikan sebagai tempat persinggahan terakhir bagi orang-orang tua sebelum pensiun. Mereka yang dibuang sayang itu diberi tugas konstitusional memasok nasihat kepada presiden, tetapi tidak ada kewajiban untuk diindahkan.

Kiranya revisi UU Wantimpres disertai klausul kewajiban presiden untuk mengindahkan nasihat dan pertimbangan DPA. Sia-sia membuang-buang uang negara untuk menggaji orang-orang yang merasa tidak punya kewajiban memaksa presiden melaksanakan nasihat lembaga mereka.

Keberadaan penasihat itu sudah ada sejak zaman kerajaan. Para raja itu membutuhkan dua kekuatan: hulubalang yang perkasa dan penasihat-penasihat yang cerdas sekaligus menghibur. Dua kekuatan itulah yang menopang kenyamanan raja yang selalu cemas akan kekuasaannya dikudeta.

Cek Artikel:  Lebaran Menuju Bersih Sampah 2025

Sebaliknya, masih pada zaman kerajaan, raja sering kali cuma dijadikan boneka pajangan oleh para penasihatnya. Akibatnya, sering kali kerajaan gonjang-ganjing karena dipermainkan para penasihat yang tergoda untuk berperan seperti raja.

Raja yang turun takhta kemudian diangkat sebagai penasihat kerajaan jarang ditemukan dalam literatur. Entahlah jika mantan presiden dijadikan penghuni lembaga DPA. Sejatinya mantan presiden bisa setiap saat dimintai nasihatnya tanpa harus duduk dalam kelembagaan penasihat.

Keutamaan seorang penasihat sebagaimana salah satu syarat dalam Pasal 8 huruf d UU Wantimpres ialah mempunyai sifat kenegarawanan. Yang dimaksud dengan ‘sifat kenegarawanan’ menurut penjelasan pasal itu ialah bersikap konsisten mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.

Mencari orang yang pernah menjadi penguasa dan tetap konsisten mengutamakan kepentingan negara memang sulit, malah lebih mudah mencari seekor unta masuk lubang jarum.

Mestinya keanggotaan DPA bukan didasari politik balas jasa para pensiunan. Kalau itu yang terjadi, DPA bisa dipelesetkan sebagai Dewan Pensiunan Akbar yang ada tidak menggenapkan dan tiada tak mengganjilkan.

Mungkin Anda Menyukai