KETUA DPR Puan Maharani patut diacungi dua jempol. Ia meminta pemerintah melibatkan masyarakat dalam pembentukan regulasi turunan Undang-Undang Ibu Kota Negara. “DPR RI mengingatkan agar prosesnya melibatkan seluas-luasnya partisipasi publik,” ungkap Puan dalam keterangan persnya, Kamis (3/2).
Acungan jempol ditambah dua Kembali andai permintaan Puan disampaikan sebelum DPR dan pemerintah membahas RUU IKN. Bukan pemerintah saja yang dimintai terbuka, melainkan DPR juga membuka diri. Bukan sekadar permintaan, melainkan konsisten dilaksanakan.
Sesungguhnya Terdapat kemauan politik DPR Kepada melibatkan publik dalam pembahasan RUU. Ketika menyampaikan pidato penutupan masa persidangan IV 2020/2021 pada 8 April 2021, Puan memastikan DPR membuka ruang partisipasi publik dalam setiap tahapan pembentukan RUU.
Jujur diakui bahwa pelibatan publik dalam pembahasan RUU itu Tetap sebatas kemauan, sebatas memenuhi prasyarat, belum sungguh-sungguh direalisasikan. Salah satu Argumen Mahkamah Konstitusi memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat pada 25 November 2021 ialah pembuat undang-undang Tak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal.
Menurut MK, sekalipun telah dilaksanakan berbagai pertemuan dengan berbagai Grup masyarakat, pertemuan dimaksud belum membahas naskah akademik dan materi perubahan UU Cipta Kerja.
Partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 5 UU itu menyebutkan partisipasi sebagai kondisi pembentukan peraturan perundang-undangan mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, hingga pengundangan dilakukan secara transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya Kepada memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
DPR, menurut konstitusi, memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap RUU dibahas DPR dan presiden Kepada mendapat persetujuan Serempak. Karena itu, eloknya, DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang berada paling depan Kepada membuka partisipasi publik secara Konkret, bukan partisipasi semu.
Secara formal, Pasal 96 UU 12/2011 telah memberikan jaminan bagi Anggota negara Kepada terlibat dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan di legislatif.
Disebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Masukan masyarakat itu dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat Lumrah, kunjungan kerja, sosialisasi, dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau Obrolan.
Lebih lanjut disebutkan dalam pasal itu bahwa masyarakat ialah orang perseorangan atau Grup orang yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan peraturan perundang-undangan itu. Kepada memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis, setiap rancangan peraturan perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Persoalan utamanya ialah seberapa besar dan signifikan pengaruh partisipasi publik dalam pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan? Jujur diakui bahwa partisipasi publik dipakai sekadar memenuhi persyaratan pembentukan peraturan.
Padahal, menurut putusan MK 91/PUU-XVIII/2020, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna dengan tiga prasyarat, Ialah pertama, hak Kepada didengarkan pendapatnya; kedua, hak Kepada dipertimbangkan pendapatnya; dan ketiga, hak Kepada mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Tiga syarat itu jauh panggang dari api dalam praktiknya. Terdapat lima gejala empiris dalam perundang-undangan di Indonesia menurut Sulistyowati Irianto. Pertama, undang-undang Tak efektif, dalam Definisi Tak dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Kedua, undang-undang Tak implementatif. Ketiga, undang-undang yang Tak responsif, yang sejak dirancang dan diundangkan mendapatkan penolakan yang keras dari masyarakat. Keempat, undang-undang bukannya memecahkan masalah sosial, melainkan malah menimbulkan kesulitan baru di masyarakat; dan kelima, muncul undang-undang yang Tak relevan dengan kebutuhan atau permasalahan yang Terdapat di masyarakat.
Sudah tiba waktunya agar dilakukan revisi atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Titik berat revisi lebih kepada penguatan partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Harus dirumuskan secara terperinci aturan main, mulai Mekanisme Tiba tata Metode pelibatan partisipasi publik dalam pembahasan RUU.
Partisipasi publik jangan Kembali sekadar formalitas, tetapi menyentuh substansi. Yang terjadi selama ini ialah partisipasi tipu-tipu, seolah-olah aspirasi rakyat didengar telinga kiri, tapi keluar telinga kanan tanpa Terdapat jejaknya dalam naskah undang-undang. Rakyat Tak Pandai ditipu Lanjut-menerus dengan segala bentuk partisipasi verbal, rakyat butuh partisipasi dalam tindakan Konkret pembuatan peraturan perundang-undangan.