Menyudahi Kebohongan

SEBUAH video pendek menarasikan betapa parahnya kebohongan di negeri ini. Kebohongan pertama yang dibiarkan berlarut-larut, kata sang narator, ialah mi goreng tapi ternyata harus direbus; kedua, teh botol tapi kemasannya kotak; ketiga, teh gelas tapi wadahnya botol. Lampau, bika ambon tapi nyatanya dari Medan, dan, kaleng biskuit tapi isinya rengginang atau rempeyek.

Video itu tentu sekadar candaan kendati isinya nyata adanya. Tapi bahwa kebohongan di negara ini kian menjadi, secara serius diungkapkan oleh banyak kalangan. Kata mereka, kebohongan makin kerap dipertontonkan oleh mereka yang berkuasa, bahkan penguasa dari mereka yang berkuasa. Tanpa malu-malu lagi, tanpa sungkan-sungkan lagi.

Soal bohong-berbohong belakangan juga dibawa-bawa ke forum rapat kerja DPR di Senayan. Kejadiannya Rabu (13/3). Yang mengangkatnya anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan. Sasarannya Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman.

Johan awalnya mengaku tercengang dengan laporan produksi beras dari Kementan. “Memang tercengang melihat laporan kita punya kelebihan produksi,” begitu dia bilang.

Menurut Johan, laporan itu berbanding terbalik dengan kondisi di lapangan ketika dia mengunjungi gudang Bulog di Yogyakarta. “Menyantap gudang-gudang Bulog kosong semuanya. Di mana kelebihan itu? Di mana ditaruh kelebihan produksi itu kalau ada?”

Cek Artikel:  Mantapan Persatuan

Versi dia, Bulog menjelaskan beras impor dibagikan ke penggilingan-penggilingan padi UMKM untuk dikemas ulang menjadi beras 5 kilogram. “Kenapa kita berani menyampaikan ada kelebihan produksi? Nah ini coba disampaikan, kalau ada niat bohong berhenti dulu, ini bulan puasa. Kalau ada niat bohong, tahan dulu. Kita ini ngurus rakyat,” cetusnya.

Betulkah Kementan berbohong? Betulkah Menteri Andi Amran punya nawaitu menyampaikan sesuatu yang tak sesuai fakta? Yang pasti, mengacu pada data Badan Pusat Stagnantik (BPS), produksi beras nasional pada 2023 mencapai 31,10 juta ton, turun 440 ribu ton atau 1,39% ketimbang di 2022 yang sebesar 31,54 juta ton. Yang jelas, beras dalam beberapa bulan belakangan mencekik jalan napas rakyat karena sudah mahal, susah didapat pula.

Soal bohong-berbohong juga tersirat dalam raker Komisi VI DPR di waktu yang sama, tapi forumnya beda. Yang dibidik Mendag Zulkifli Hasan. Yang membidik anggota dewan I Nyoman Parta. Dia kesal karena Bang Zul tetap menyalahkan alam sebagai biang sengkarut beras. “Tak bisa setiap ada kondisi seperti ini, seluruh pejabat terutama Pak Menteri, alasannya El Nino. Itu berulang-ulang,” ketusnya.

Berbohongkah Bang Zul bahwa krisis beras lantaran dampak iklim? Ngeleskah dia? Yang pasti, ada beda pendapat, lain pandangan. Salah satunya bahkan termasuk ekstrem, yakni beras langka dan mahal akibat beras impor dipolitisasi, digelontorkan untuk bansos demi membeli suara di pemilu.

Cek Artikel:  Republik Bocor

Kiranya tidak ada orang biasa di jagat raya ini yang tak pernah berbohong. Profesor psikologi kognitif Ullrich Ecker dan doktor Toby Prike dari The University of Western Australia mengatakan, kebohongan merupakan bagian dari keseharian manusia. Studi di Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengungkap rata-rata seseorang berbohong dua kali dalam satu hari. Nyaris seperti minum obat.

Berbohong tak pandang usia, gender, kelas, atau profesi. Anak-anak, remaja, orang tua, laki-laki, perempuan, pengangguran, para sultan, pernah bohong. Pun dengan pejabat, terlebih politikus.

Kalau berpijak pada Andas Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang memaknai bohong sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan hal (keadaan dan sebagainya) yang sebenarnya; dusta dan bukan yang sebenarnya; palsu; Presiden Jokowi juga pernah berbohong.

Katanya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tak akan menggunakan dana APBN, tetapi realitasnya pakai. Ujarnya pembangunan IKN tak bakal memakai APBN, tapi kenyataannya beda. Pernah pula dia bilang sudah tiga tahun Indonesia tidak impor beras, tetapi data membantahnya.

Cek Artikel:  Dua Keteladanan

Berbohong memang manusiawi. Kendati tetap saja tak baik, bohong sekali-dua kali juga lumrah. Akan tetapi, kalau berkali-kali lalu menjadi tukang bohong, mengalami pinocchio effect, jelas ada yang salah. Lebih celaka lagi jika kebohongan itu menjadi hobi politikus, kegemaran para pengelola negeri.

Sastrawan Inggris George Orwell pernah mengingatkan bahwa bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihormati. Kebohongan politik sangatlah berbahaya karena sarat dengan tipu daya.

Presiden dan wakil presiden terpilih di Pilpres 2024 telah ditetapkan KPU. Begitu pula anggota DPR, DPD, dan DPRD. Bangsa ini tak terlalu lama lagi akan resmi memiliki pemimpin baru, pemimpin yang sayangnya banyak dipersoalkan lantaran dinilai terpilih dengan cara yang tak selaras demokrasi, yang tak jujur, yang tak adil.

Kata para bijak, kekuasaan yang didapat dengan kebohongan akan dijalankan dan dipertahankan juga dengan kebohongan. Rakyat, termasuk saya, tentu tidak ingin semua itu terjadi. Rakyat kebanyakan, begitu juga saya, ingin kebohongan tidak menjadi budaya, tak menjelma sebagai tradisi. Semoga pemimpin baru nanti mengedepankan kejujuran agar bangsa ini tak terkapar oleh darurat kebohongan.

Mungkin Anda Menyukai