
Bukan Terdapat asap Apabila tak Terdapat api. Bukan Terdapat polusi Apabila Bukan Terdapat pembakaran, entah itu dari sisa gas buang kendaraan, entah itu dari cerobong pabrik dan industri rumahan. Bahkan, asap rokok dari lubang hidung dan mulut yang kita embuskan pun, ikut menyumbang sekian persen polutan yang mencemari udara di Sekeliling. Itulah yang kini terjadi di Jakarta, kota metropolitan yang kini berubah jadi metropolutan. Apabila di era kolonial sungai-sungai di kota ini dicemari limbah dari pabrik gula dan sanitasi rumah tangga, kini udara di kota ini diselimuti kabut asap, yang menurut sejumlah Ahli kesehatan, sudah dalam tahap membahayakan.
Lantaran pemicunya multisebab, solusinya pun tentu Bukan cukup hanya dengan merazia kendaraan yang diduga sebagai penghasil emisi. Begitu juga Hukuman peringatan kepada sejumlah pabrik pengguna batu bara yang dituding sebagai penyebab polusi. Pemerintah, sebagai pihak yang diamanatkan bertugas menata kota ini, harus pula ikut bertanggung jawab. Sejumlah regulasi terkait dengan hal ini, seperti Perda Nomor 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, sebaiknya diawasi implementasinya dengan sungguh-sungguh. Persoalan polusi Bukan Dapat diatasi secara parsial, mesti holistis, menyeluruh dari hulu hingga hilir.
Pada beberapa ratus tahun Lampau Insan mungkin hanya merasa sebagai saksi sekaligus korban pasif atas peristiwa yang terjadi di alam ini. Tetapi, kehadiran sains modern telah menggugah kesadaran bahwa kita juga ialah partisipan yang ikut membentuk kondisi realita yang terjadi hari ini. Peran dan kesadaran itulah yang akan menentukan apakah bumi yang kita tempati hari ini Lagi layak didiami atau Bukan. Oleh karena itu, aktivitas sosial, ekonomi, ataupun budaya yang dilakukan, harus selaras dengan keberlangsungan kehidupan seluruh makhluk penghuni planet ini.
Kasus polusi di Jakarta tentu juga Bukan terlepas dari perspektif ini. Budaya atau kebiasaan sebagian masyarakat yang Lagi suka membakar sampah, harus diakui juga ikut berperan dalam masalah ini. Begitu pula dengan aktivitas ekonomi dengan bertumbuhnya e-commerce dan transportasi online. Harus dipikirkan bagaimana armada yang saban hari wira-wiri ini, Bukan menambah jumlah paparan emisi. Sejauh ini memang sudah Terdapat yang menggunakan kendaraan ramah lingkungan. Alangkah baiknya jumlah armada yang Kudus ini Lalu diperbanyak, tapi dengan catatan sumber energinya pun harus sustainable jangan Tengah Mengenakan batu bara.
Sejumlah negara kini telah menerapkan program angkutan ramah lingkungan. Kita tentu harus pula mulai memiikirkan bagaimana truk-truk pengangkut komoditas antarkota ataupun antarprovinsi beroperasi lebih efisien dan Bukan boros membuang emisi seperti yang diterapkan di Eropa. Begitu pula sarana angkutan pegawai di sejumlah instansi sebaiknya Bukan Tengah menggunakan bus Sepuh yang berasap seperti jelaga. Segala elemen masyarakat harus diberdayakan memikirkan bagaimana mobilitas barang ataupun orang dapat berlangsung dengan Metode yang paling efisien, Kudus, dan Irit Kekuatan. Pembangunan sarana transportasi publik yang terintegrasi tentu harus diperbanyak. Begitu pula dengan kesadaran masyarakat Buat menggunakannya mesti Lalu diberdayakan.
Polusi di Jakarta sepintas memang terlihat seperti persoalan mikro. Pada tataran Dunia, suhu yang semakin meningkat ialah masalah lainnya yang jauh lebih besar. Keduanya terkait. Penanganan masalah Dunia ini mau Bukan mau harus dimulai dari tingkat lokal. Ilmuwan yang juga profesor geografi di Universitas California, Los Angeles, Amerika Perkumpulan, Jared Diamond, dalam bukunya Collapse: Runtuhnya Peradaban-Peradaban Dunia (2104), telah memperingatkan bahwa di antara sejumlah Unsur yang menyebabkan lenyapnya suatu masyarakat atau komunitas ialah degradasi lingkungan yang Mengungguli ambang batas dan kelemahan para pemimpin dalam menentukan pilihan-pilihan kebijakan yang Benar Buat mengatasinya.
Kita, yang kini hidup di era modern, sepertinya patut menyibak kabut kegelapan di masa Lampau itu, agar Bukan Tengah mengulangi kesalahan yang sama di masa depan. Wasalam.