Memutus Rantai Kekerasan

ADA tiga sifat kekerasan, kata Camara, yang bila ketiganya bekerja secara bertemali akan menjadi spiral yang susah untuk diputus. Ketiganya ialah kekerasan personal, kekerasan institusional, dan kekerasan struktural.

Camara, nama lengkapnya Dom Helder Camara, merupakan pencetus teori spiral kekerasan. Ia menemukan teori itu bukan sekadar penelitian. Camara mendasarkan teori spiral kekerasan pada pengalaman hidupnya sehari-sehari sebagai tokoh agama, pekerja sosial, dan pejuang perdamaian. Pergulatan hidup itu membuahkan teori tentang kekerasan yang orisinal, tajam, dan berakar pada realitas hidup. 

Dibesarkan dalam lingkungan komunitas yang penuh ketidakadilan, represi, dan kekerasan sosial di sebuah kota di Fortalesa, timur laut Brasil, Camara justru bangkit dan tumbuh menjadi tokoh gereja yang dihormati. Ia seorang pekerja sosial yang tangguh dan pejuang antikekerasan yang tidak mengenal lelah. Ia memilih hidup sederhana, terjun dalam dunia pendidikan dan politik dengan melakukan pemberdayaan politik warga negara yang tidak berdaya menghadapi kesewenangan penguasa.

Menurut Camara, spiral kekerasan dihasilkan dari tiga bentuk kekerasan yang bersifat personal, institusional, dan struktural, yaitu ketidakadilan sosial-ekonomi, kekerasan pemberontakan sipil, dan represi negara. Kemunculan kekerasan satu menyebabkan kekerasan lainnya. Ketika kekerasan susul-menyusul dan silih berganti, dunia jatuh ke dalam spiral kekerasan. Pada titik itu, jalan perdamaian seperti labirin. The Long and Winding Road, kata The Beatles.

Cek Artikel:  Taawun untuk Gotong Royong

Pelaku kekerasan pun beragam. Terdapat individu, kelompok sipil, sampai negara. Camara melihat spiral kekerasan umumnya terjadi dalam tiga fase. Pertama, fase ketidakadilan ekonomi, sosial, dan politik yang berakumulasi. Masyarakat terbagi ke dalam kelompok elite yang jumlahnya sedikit, tetapi dominan dan masyarakat umum yang jumlahnya banyak, tapi posisinya subordinat.

Kini, dunia makin dihadapkan pada spiral kekerasan dengan intensitas meningkat. Di Gaza, Palestina, lebih dari 30 ribu jiwa mati dihabisi oleh tentara zionis Israel yang didukung oleh separuh lebih negara digdaya. Bahkan, upaya genosida oleh Israel itu hendak diperluas hingga Rafah, wilayah lain di Palestina.

Di Indonesia, kita menyaksikan spiral kekerasan personal dan institusional, sebagian juga struktural, juga masih terjadi. Terdapat kekasih membunuh pasangannya, ada suami memutilasi istrinya, ada anak membakar orangtuanya, dan ada para senior sekolah kedinasan melanggengkan spiral kekerasan dengan menyiksa junior mereka hingga meregang nyawa. Juga, ada sekelompok orang menyerang sejumlah mahasiswa yang sedang berdoa.

Cek Artikel:  Paradoksal Negeri Religius

Dari sejumlah kasus di atas, kekerasan personal tidak melulu dipicu oleh penyebab tunggal. Tetapi, umumnya bermula dari kondisi psikologis akibat beragam tekanan, terutama tekanan ekonomi. Berbagai teror kehidupan kerap membuat orang nekat. Ditambah dengan perasaan tidak mendapatkan perlakuan tidak adil, aksi itu ditumpahkan dalam bentuk menyerang orang-orang terdekat.

Dalam banyak kasus kekerasan intoleransi dan terorisme, ketidakadilan ekonomi yang berujung pada kemiskinan juga menjadi faktor pendukung orang memilih jalan menjadi teroris. Merasa diperlakukan tidak adil, lalu miskin, dijejali oleh pandangan keagamaan sempit, berangkatlah seseorang menjadi pembunuh atas nama ‘misi suci’.

Kepada yang terakhir ini, spiral kekerasan bisa dicegah bila tiap-tiap tokoh dan pendakwah agama mengajarkan bahwa kita harus belajar hidup berdampingan sebab pada kenyataannya saat ini tidak mungkin ada cara hidup yang isolatif, terpisah satu dengan yang lain. Kita dipaksa hidup bersama sehingga harus belajar untuk saling menghormati, saling bekerja sama, saling mencintai sebagai sesama manusia karena kita hidup di dunia yang sama.

Cek Artikel:  Teror Resesi

Apabila hal tersebut tidak dilakukan, kita akan terus dilanda konflik kekerasan dan teror silih berganti. Karena, seperti kata Camara, jaringan kekerasan bersifat multidimensional dan beroperasi dalam ruang-ruang sosial. Artinya, kekerasan demi kekerasan dalam ruang sosial ialah realitas yang tidak berdiri sendiri, saling memengaruhi.

Maka itu, tidak membalas kekerasan dengan kekerasan dan tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan ialah ikhtiar penting memutus rantai kekerasan. Begitu kekerasan dibalas dengan kekerasan dan ketidakadilan dibalas dengan ketidakadilan, yang muncul ialah korban-korban tak bersalah yang tidak paham dengan permasalahan yang melatari aksi kekerasan tersebut. Para korban bom, korban pengeroyokan saat berdoa, korban mutilasi, korban penyiksaan, ialah contoh bagaimana mereka tidak sepenuhnya ‘layak’ menjadi korban kekerasan.

Mungkin Anda Menyukai