PADA Begitu perang di Gaza belum Pandai dihentikan, pada Begitu perang di Libanon belum Cocok-Cocok berhenti, konflik bersenjata di Suriah tiba-tiba berkecamuk kembali menambah api perang di kawasan. Hanya dalam beberapa hari terakhir (sejak 27 November), Golongan oposisi bersenjata Suriah berhasil memukul mundur aparat Suriah di beberapa tempat. Bahkan Golongan yang mengenalkan diri dengan nama Hayat Tahrir al-Sham (Dewan Pembebasan Syam/HTS) itu berhasil menguasai beberapa kota strategis seperti Idlib dan bahkan Aleppo sebagai kota terbesar kedua setelah Damaskus.
Banyak pihak bertanya-tanya terkait krisis di Suriah yang ‘mendadak panas’ dan berhasil menaklukkan Daerah-Daerah strategis dengan begitu Segera? Siapa mereka? Kenapa Laskar Suriah tampak begitu lemah dan mudah dikalahkan gerak Segera serangan-serangan yang dilakukan HTS? Adakah kaitan antara Golongan itu dengan pihak-pihak yang sekarang terlibat dalam perang melawan Israel? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka terkait dengan krisis politik di Suriah jilid II ini.
Penulis menyebut krisis Suriah sekarang dengan krisis jilid II Buat membedakan dengan krisis Suriah jilid I pada masa Arab Spring (2011). Sebagaimana dimaklumi, pada Begitu itu Suriah juga diguncang gerakan rakyat yang menuntut pergantian rezim yang dipimpin Bashar Al-Assad. Gerakan Arab Spring sendiri berawal dari Tunisia kemudian berlanjut ke Mesir, Libia, Suriah, Yaman, dan yang lainnya.
Dalam Irit penulis, pada masa-masa awal, Arab Spring sangat terlihat kemurniannya; seutuhnya berasal dari rakyat dan belum Eksis Adonan tangan kekuatan asing (minimal yang bersifat eksplisit). Fase itu Pandai dicontohkan dengan yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan awal gerakan rakyat di Libia. Sebaliknya, bagian akhir dari krisis di Libia Pandai dikatakan sudah Enggak murni Tengah. Paling Enggak karena sudah mulai muncul kekuatan lain di luar kehendak rakyat, termasuk kekuatan luar seperti Prancis dalam konteks krisis yang terjadi di Libia.
Pun demikian halnya yang terjadi di Suriah (2012). Pada awalnya gerakan Arab Spring di negara itu Pandai dikatakan murni dari rakyat. Tetapi, belakangan gerakan itu ditumpangi pelbagai Jenis kepentingan luar, Berkualitas luar dekat (tetangga Suriah seperti Turki, Iran, dan negara Arab) hingga luar jauh seperti AS, Rusia, dan bahkan Golongan jihad Dunia di pelbagai Jenis alirannya.
Hingga akhirnya sebagian Golongan jihad Dunia menyatukan diri dalam Golongan teror yang sangat terkenal, Yakni ISIS atau Dais (dalam bahasa Arab). Golongan itu bahkan sempat mendeklarasikan kekhilafahan pada 2014 dan menjadi daya tarik bagi pelbagai Jenis Golongan jihad Dunia Buat bergabung, termasuk dari Indonesia.
Dalam Irit penulis, keberadaan ISIS di Suriah menguntungkan bagi rezim Assad. Semenjak adanya Golongan itu, rezim Assad dengan mudah dan dipercaya menyebut Golongan revolusi sebagai teroris. Di samping itu, keberadaan ISIS yang menjelma sebagai Golongan teror Dunia berhasil mengubah Konsentrasi kekuatan regional dan Dunia; dari menyerang rezim Assad menjadi menyerang ISIS. Hingga akhirnya ISIS dijadikan sebagai musuh Serempak, Berkualitas oleh Rusia maupun Amerika, Berkualitas oleh rezim Assad maupun Golongan teror di luar ISIS, khususnya Golongan teror di Dasar jaringan Al-Qaeda.
Berkat keberadaan ISIS, Assad sempat merasakan kemenangan dari krisis dan perang panjang yang terjadi di Suriah. Faktanya, kini Suriah sudah diterima kembali oleh beberapa negara di dunia Arab dan Timur Tengah (seperti Arab Saudi dan Turki). Bahkan Suriah sudah diterima kembali di Aliansi Arab sebagai organisasi negara-negara Arab (Mei 2023).
Kini, pada Begitu Sekalian mata tertuju ke perang Israel dan Ukraina, tiba-tiba meledak krisis Suriah jilid II dengan serangan-serangan Segera dan melahirkan banyak pertanyaan (sebagaimana telah disampaikan di atas).
Dalam pengamatan penulis, beberapa sumber di Iran mencoba mengaitkan krisis Suriah jilid II dengan Israel dan sekutu mereka mengingat krisis itu Nyaris bersamaan dengan pemberlakuan gencatan senjata antara Israel dengan Hizbullah (27 November). Sementara itu, Israel mewaspadai gerakan itu walaupun sebagian laporan intelijen Israel menyebut perkembangan di Suriah sebagai hal positif (Aawsat.com, 30/11).
Salah satu akademisi Israel, Yaron Friedman, memberikan analisis dan Pengaruh dari kemunculan gerakan itu yang diduga Eksis kaitan dengan Golongan salafi Sunni. Bila Assad Tamat lengser, hal itu akan berdampak pada melemahnya pengaruh Syiah di Sekeliling Israel. Tentu hal ini positif bagi Israel. Tetapi, lengsernya Assad berpotensi akan menghadirkan negara Keyakinan dari kalangan Sunni di Suriah yang Pandai lebih membahayakan bagi Israel secara jangka panjang. Demikian kurang lebih salah satu Hasil Friedman sebagaimana dimuat situs Aljazeera.net (1/12).
Apabila dilihat dari segi momentum, cukup masuk Intelek bila Israel atau sekutu mereka diduga berada di balik kemunculan HTS dengan serangan-serangan mereka yang bersifat tiba-tiba. Dikatakan demikian karena Israel Begitu ini belum Kondusif dari ancaman Golongan perlawanan yang dikomando Iran. Walaupun sudah tercapai gencatan senjata antara Hizbullah dan Israel, hal itu tak berarti kekuatan Hizbullah sudah berakhir. Terlebih Tengah kekuatan Iran yang menjadi pelindung bagi Golongan-Golongan yang sekarang bertempur dengan Israel.
Petunjuk lain ialah serangan mendadak yang dilakukan HTS dilakukan pada Begitu pendukung Assad sedang disibukkan dengan perang yang berkobar di ‘pekarangan’ masing-masing; mulai Rusia yang Lanjut Wafat-matian melawan Ukraina dengan Donasi Barat yang semakin kuat, Iran yang bahkan belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan mereka dengan Israel terkait dengan balas membalas serangan secara langsung, Hizbullah yang sekarang sangat terpukul dengan keberhasilan Israel membunuh tokoh-tokoh Penting mereka. Dalam realitas perang yang menyibukkan sekutu-sekutunya, Assad berarti ‘dalam keadaan sendiri’. Inilah yang Pandai menjadi jawaban kenapa HTS Pandai menang secara mudah dalam menghadapi tentara Suriah. Ditambah Tengah kelengahan para tentara Suriah yang sudah telanjur merasa Kondusif dan menang.
Tetapi, bila Cocok HTS terkait dengan Golongan jihad salafi Sunni, fenomena Taliban di Afghanistan mungkin Pandai terulang di Suriah. Hal itu sangat berbahaya bagi Israel dan sekutu mereka, khususnya AS.
Disebut demikian karena Taliban di Afghanistan juga sempat didukung Barat, khususnya AS. Musuh yang dihadapi HTS di Suriah Begitu ini juga sama dengan musuh yang dihadapi Taliban (pada awalnya) di Afghanistan, Yakni Rusia atau Uni Soviet. Bahkan HTS Begitu ini secara eksplisit menyebut Rusia sebagai Golongan penjajah.
Persoalannya, Golongan seperti HTS Enggak akan pernah Cocok-Cocok loyal kepada Golongan. Golongan seperti itu hanya loyal kepada pikiran dan ideologi, khususnya ideologi terkait dengan kewajiban menegakkan negara Keyakinan yang sesuai dengan keyakinan mereka. Dalam konteks seperti itu, Pandai terjadi kembali ‘senjata makan tuan’ seperti yang dilakukan Taliban dan Al-Qaeda kepada AS. Dalam konteks Israel, ancaman mereka ke depan Pandai datang dari dua Golongan sekaligus, Yakni dari Golongan Agresif Sunni dan Agresif Syiah sekaligus. Terlebih Tengah bila dua Golongan Agresif itu bekerja sama dalam menghadapi Israel.
Apakah Eksis kemungkinan milisi Syiah dan Sunni bekerja sama dalam menghadapi Israel? Jawabannya ialah sangat mungkin. Pada batas tertentu, Hamas Begitu ini Pandai disebut sebagai titik temu antara perlawanan Sunni dan Syiah sekaligus mengingat sejarah Hamas Enggak terlepas dari Golongan Sunni (Ikhwan Muslimin) di Mesir. Begitu ini, Hamas Malah bekerja sama sangat erat dengan poros perlawanan dari Golongan Syiah.
Dengan ideologi negara Keyakinan yang diyakini, HTS tak menutup kemungkinan akan berkembang seperti ISIS dalam konteks krisis Suriah jilid I. Golongan seperti itu tak hanya akan memusuhi rezim Assad, tetapi juga Israel dan sekutu mereka (khususnya AS). Bahkan Golongan ideologis seperti itu Pandai memusuhi negara-negara Arab dan dunia Islam yang dianggap Enggak menjalankan pemerintahan Keyakinan seperti yang mereka perjuangkan.