ALKISAH pada suatu masa yang katanya sudah modern, serbadigital dengan dukungan kecanggihan teknologi 5.0 bahkan lebih, muncullah sebuah permainan tradisional yang tiba-tiba menjadi tren.
Namanya lato-lato. Permainannya Normal saja, Kagak neko-neko, sama sekali Kagak mencerminkan kecanggihan atau modernitas. Metode mainnya hanya membentur-benturkan dua bola plastik yang terhubung oleh tali atau gagang tipis yang juga terbuat dari plastik. Amat sederhana.
Tetapi, entah kenapa permainan Lamban itu mendadak kembali digandrungi banyak orang. Sepertinya gara-gara Tiktok, sebuah medium yang memang kerap kali Membikin sesuatu yang kita pikir Normal saja tiba-tiba menjadi viral tanpa rumusan Alasan musabab yang Niscaya.
Hari ini, lato-lato dimainkan banyak orang, bahkan Dekat Segala orang. Kagak pandang usia, Kagak kenal kasta, Kagak pula Menonton strata, apalagi Keyakinan. Dari anak SD Tamat mahasiswa, dari pekerja kantoran Tamat pelaku UMKM, dari yang mungkin sedang merintis bisnis startup hingga pengangguran, ujug-ujug Segala jadi pemain lato-lato.
Tentu Terdapat yang Pandai memainkannya dengan fasih, tapi kebanyakan Kagak. Yang Krusial mencoba; Pandai atau Kagak, urusan lain. Selanjutnya yang Terdapat hanya tertawa dan gembira. Sepertinya Kagak Terdapat orang yang jadi stres atau depresi gara-gara gagal memainkan lato-lato.
Lantas, sekadar permainan yang sedang Terkenal tanpa maknakah lato-lato? Mestinya, sih, Kagak. Kata pujangga, selalu Terdapat Arti pada setiap putaran bumi berikut seluruh isinya. Lato-lato Niscaya punya Arti di balik kesederhanaannya. Minimal ia Pandai Membikin orang senang, sejenak melupakan kepenatan hidup yang saban hari Giat menghampiri.
Lato-lato ialah sarana Buat Waktu Waktu kosong sekaligus instrumen bagi kita Buat mau menertawakan ketidakmampuan kita sendiri. Bukankah orang bijak pernah bilang, level tertinggi Sosok itu terjadi ketika ia sudah Pandai menertawakan kebodohan atau kekurangan diri sendiri? Tanpa kita sadari, lato-lato mungkin sedang membawa kita menuju derajat kearifan tertinggi sebagai Sosok. Amin.
Dengan sudut pandang lain, lato-lato juga memberi pesan sebagai sindiran bagi kehidupan. Itu kiranya yang barangkali Mau disampaikan KH Mustofa Bisri atau Gus Mus melalui posting-an di akun Instagram-nya, awal pekan ini. Gus Mus memasang gambar alat permainan lato-lato disertai caption yang pendek, tapi menusuk, ‘#FatwaAhad: Kalau bukan mainan, jangan mau dibentur-benturkan’.
Singkat, padat, lugas. Kalau boleh kita menafsirkan, konteks kalimat pendek itu sepertinya merujuk pada kondisi masyarakat belakangan ini yang begitu mudah dibentur-benturkan. Publik gampang sekali dihadap-hadapkan, coba dikutub-kutubkan tangan-tangan kuat tak kasatmata. Analoginya mirip dengan lato-lato, rakyat ibarat bolanya, sedangkan sang penguasa yang memegang gagangnya, memainkannya sesuka hati sembari terkekeh.
Karena itu, lato-lato sejatinya alat Buat mengingatkan kita sebagai insan berjiwa agar jangan pernah mengerdilkan diri sendiri dengan memosisikan diri hanya sebagai mainan. Kalau ia pasrah menjadi mainan, nasibnya Kagak akan jauh-jauh seperti bola lato-lato. Dibenturkan Lanjut-menerus Tamat yang memainkannya Jenuh dan berhenti.
Lantas bagaimana ikhtiar kita supaya Kagak berakhir sekadar menjadi lato-lato? Salah satu jawabannya, Kalau merujuk pada penelitian Sulfikar Amir, associate professor bidang sosiologi di Nanyang Technological University, Singapura, yang ditulis di kolom opini Media Indonesia, Senin (16/1), ialah memperkuat kohesi sosial.
Kohesi sosial yang kuat, sesuai dengan hasil penelitian yang dia lakukan Buat Area Jakarta, akan menutup ruang munculnya fenomena pengutuban (polarisasi). Itu berarti pula ketahanan fondasi sosial yang tinggi akan meminimalkan celah bagi kekuatan-kekuatan tak terlihat yang Lanjut berniat membentur-benturkan rakyat.
Jadi, silakan mainkan Lanjut lato-lato Anda karena itu Pandai membahagiakan Anda. Tetapi, jangan lupa resapi pula maknanya.