Kepentingan Langgeng

TAK ada yang abadi di muka bumi, kecuali perubahan. Demikian kata Heraclitus, filsuf dari Yunani (540 SM-480 SM). Perubahan bisa terjadi dalam waktu cepat atau lambat, tergantung pada situasi dan kondisi yang mengharuskan atau memengaruhi sesuatu atau sesorang untuk berubah. Begitulah kehidupan, tak ada ruang hampa yang teralienasi dari proses dialektika sesama makhluk sosial (zoon politicon).

Terlebih dalam dunia politik. Perubahan bisa sekejap mata. Belum sempat menjadi diskursus yang mengasah nalar publik, perubahan sudah terjadi. Eksisgium dalam arena politik bahwa tak ada musuh abadi, yang abadi ialah kepentingan yang sama. Tetapi, adagium ini bukanlah harga mati.

Sejumlah tokoh bergeming dengan sikap politiknya karena demi ideologi dan visi politik yang dimilikinya.

Ideologi politik itulah yang membuat seseorang kukuh bagai batu karang. Tak terlindas zaman, apalagi sekadar mengikuti siklus lima tahunan yang bernama pemilihan umum. Politik sejatinya tak mudah lompat pagar, apakah pagar SD Inpres atau pagar penghalang raksasa, seperti Tembok Berlin. Ideologi politik yang bertemu dengan kepentingan nasional itulah yang harus dipertahankan sampai kapan pun meski langit runtuh.

Cek Artikel:  Tulang Punggung Ekonomi

Kepentingan nasional dalam menjaga prinsip berbangsa dan bernegara sebagaimana pembukaan UUD 1945 ialah perkara yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tujuan negara Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945 aliena empat berisikan tujuan nasional dan tujuan internasional. Tujuan nasional, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Kedua, tujuan internasional, yakni ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Kedua tujuan negara itu bermuara pada cita-cita bangsa Indonesia, yakni negara Indonesia yang berdaulat, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Indonesia ialah negeri yang beragam, baik etnik, agama, bahasa, budaya, dan adat istiadat. Karenanya dengan keragaman itu, segenap anak bangsa wajib merawat pilar-pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pilar-pilar kebangsaan itulah yang menjaga Indonesia dari segala rongrongan dari masa ke masa. Dunia mengakui kehebatan Pancasila sebagai common platform atau meminjam istilah cendekiawan muslim (alm) Nurcholish Madjid kalimatun sawa (titik temu perbedaan pandangan). Tanpa dasar negara yang mengayomi seluruh perbedaan, Indonesia bakal terpecah belah berkeping-keping.

Cek Artikel:  Mewaspadai Cita-cita

Politik kebangsaan membutuhkan sosok kenegarawanan. Sosok yang mempertahankan kepentingan berbangsa dan bernegara di atas segalanya. Bukan sosok yang berburu kekuasaan dengan segala cara sembari memompa pencitraan di media sosial dengan pasukan buzzer-nya yang menawarkan fatamorgana. Terlihat hebat, tetapi sebenarnya tong kosong nyaring bunyinya. Terlihat gagah dalam berpidato, bahkan gebrak-gebrak meja podium, tetapi sebenarnya yang dibicarakan itu-itu saja, tak menawarkan sesuatu yang baru atau solusi yang bersifat fundamental, sistematis, dan berbasis kajian atau riset.

Kenegarawanan terbentuk bukan karena jabatan struktural, satu atau dua periode kekuasaan. Kenegarawanan adalah perjalanan panjang secara kultural di masyarakat melampaui ruang dan waktu dengan mendedikasikan diri untuk kepentingan orang banyak. Pandai pula secara struktural kenegarawanan terbentuk andaikan sang tokoh mampu membuktikan bahwa dia bisa melepaskan diri dari kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompoknya. Kenegarawanan secara struktural tidak akan terbentuk jika sang tokoh memainkan politik mercusuar, politik yang mentereng secara fisik, tetapi membuat kebobolan keuangan negara. Proyek pembangunan yang diciptakannya tanpa kajian ilmiah nan mendalam, tanpa diskusi publik, dan memperhitungkan segala dampaknya.

Cek Artikel:  Rekanan Politik Hakim Konstitusi

Memilih gerbong politik perlu melihat rekam jejak tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Orang tak ada yang sempurna memang benar. Selalu ada sisi gelap dari manusia karena manusia bukan malaikat. Tetapi, setidaknya pilih yang ‘dosanya’ paling sedikit, karena apa yang dilakukan dalam dunia politik sebenarnya mencetak sejarah yang akan dibaca generasi mendatang. Partai politik adalah instrumen demokrasi yang akan membawa Indonesia tinggal landas dengan visi besar atau tinggal di landasan karena berkutat dengan visi jangka pendek atau suka dengan romantisme masa lalu.

Generasi mendatang jangan terbebani oleh sejarah. Indonesia ialah negara besar baik secara populasi maupun wilayah. Sungguh miris bila memilih tokoh yang bermasalah. Usia emas alias 100 tahun Indonesia pada 2045 dengan visi, yakni berdaulat, maju, adil, dan makmur, fondasinya harus dibangun dari sekarang. Karena itu, momentum Pemilu 2024 ialah tangga menuju pencapaian visi tersebut. Kepentingan abadi harus diletakkan pada kepentingan nasional, bukan kepentingan jangka pendek hanya untuk memburu singgasana kekuasaan. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai