KAESANG Pangarep, putra bungsu Presiden Ketujuh RI Joko Widodo (Jokowi), terbebas dari jerat gratifikasi. KPK membebaskannya dari jeratan gratifikasi penggunaan jet pribadi karena dua hal. Pertama, Kaesang bukan pejabat. Kedua, Kaesang sudah pisah kartu keluarga dengan Jokowi yang Demi kasus itu bergulir Lagi sebagai presiden.
Buat Dalih pembebas yang pertama, Segala mafhum. Kaesang Kagak punya jabatan yang bersangkut paut dengan pemerintahan. Ia memang pucuk pimpinan, tapi pimpinan partai politik, yakni Ketua Standar PSI. Karena bukan penyelenggara negara, begitu ‘vonis bebas’ KPK, aturan soal gratifikasi Kagak Dapat dikenakan kepadanya.
Selesaikah urusan gratifikasi dan kaitannya dengan penyelenggara negara itu? Bagi KPK dan Kaesang, perkara sudah rampung. Clear, malah. Tetapi, Kagak bagi sebagian publik. Betul bahwa Kaesang bukan pejabat, bukan penyelenggara negara.
Tetapi, dia anak Presiden Indonesia. Ia putra pejabat eksekutif tertinggi di Republik ini. Selain itu, Kaesang adik Gibran Rakabuming Raka, yang ketika peristiwa fasilitas jet pribadi itu terjadi sedang menjabat Wali Kota Surakarta.
Karena anak presiden dan adik wali kota itulah, soal fasilitas jet pribadi Kaesang disoal. Boleh jadi, begitu logika sebagian publik, ia memperoleh fasilitas gratis karena ia anak presiden dan adik wali kota. Dapat jadi, Terdapat urusan ‘udang di balik batu’. Terdapat pamrih dari si pemberi fasilitas. Amat mungkin pula fasilitas yang diberikan itu Terdapat kaitannya dengan upaya sang pemberi fasilitas Buat memperoleh kemudahan bisnis.
Atau, mungkin, fasilitas tumpangan private jet ke sejumlah tempat itu sebagai bentuk hadiah balas budi atas kemudahan-kemudahan bisnis yang barangkali pernah dicecap pemberi fasilitas. Apalagi, fasilitas jet pribadi itu disebut-sebut Terdapat kaitannya dengan sebuah perusahaan yang punya cabang bisnis di Kota Surakarta, Daerah yang dipimpin Gibran, sebelum Keluarga kandung Kaesang itu menjadi wapres.
Dalam urusan itulah fungsi KPK sebagai pembebas Kaesang dikritik. Lembaga antirasuah itu dikesankan Kagak serius menyelisik perkara dugaan gratifikasi Kaesang. “KPK amat sangat Kagak bernafsu menyelidiki kasus ini. KPK bukan saja masuk angin, tapi sudah Kelenger,” kata seorang Kawan melalui sebuah grup percakapan pesan.
Terdapat juga yang mengkritik, “Bukan Hanya taring KPK yang Rontok dalam perkara Kaesang. Kuku-kuku KPK juga copot, meretheli (rontok) Segala. Kagak usahlah berharap KPK menggigit, sekadar mencakar pun sudah Kagak mau. Alarm darurat pemberantasan korupsi meraung-raung.”
Beberapa orang menagih janji KPK yang akan mengusut perkara dugaan korupsi yang bersumber dari modus memperdagangkan pengaruh. Berkali-kali KPK menyebutkan banyak perkara korupsi yang bersumber dari trading in influence. Ketika orang punya kuasa, atau punya kerabat pemegang otoritas kekuasaan, Terdapat Kecondongan menggunakan kekuasaan atau kedekatan pada kekuasaan itu Buat melakukan atau Kagak melakukan sesuatu yang berakibat menguntungkan diri dan merugikan negara serta menabrak aturan.
Berbagai literatur menyebutkan bahwa perbuatan trading in influence merupakan perilaku koruptif yang menyimpangi moralitas. Itu disebabkan perbuatan tersebut digunakan Buat mendapatkan imbalan dengan memanfaatkan atau menyalahgunakan pengaruh, Bagus karena jabatan publik atau pengaruh yang timbul dari Rekanan politik, kekerabatan, kedekatan, atau Rekanan lainnya.
Tamat di sini, KPK belum menjawab bila Kaesang ‘bukan siapa-siapa’, apakah ia bakal Dapat dengan mudah mendapatkan fasilitas tumpangan jet pribadi gratis? Juga, bila sang pemberi fasilitas ‘Kagak punya maksud apa-apa’, apakah pemberi ‘tebengan’ jet pribadi itu rela memberikan hal yang sama Buat anak muda lain yang ‘bukan siapa-siapa’?
Baru Unsur pertama saja, dosis kritik terhadap putusan KPK sudah tinggi. Apalagi Unsur pembebas kedua, yakni KPK memutuskan Kaesang bukan penerima gratifikasi karena sudah Kagak Kembali satu kartu keluarga (KK) dengan Presiden Jokowi. Ia sudah punya KK sendiri sehingga, begitu logika KPK, Kaesang Kagak Dapat disangkutpautkan dengan jabatan Jokowi sebagai presiden atau Gibran sebagai wali kota.
Logika seperti itu Jernih Membikin banyak orang, termasuk saya, geleng-geleng kepala atau setidak-tidaknya mengerutkan dahi. Dahi berkerut sembari batin berucap dan bertanya: serius ini pertimbangan KPK? Mengungkap perkara dugaan gratifikasi dengan jawaban yang dibelokkan ke urusan administrasi kependudukan belaka? Kalau pelawak Asmuni Lagi hidup, Niscaya ia akan terkejut seraya berseru laa haula walaa quwwata illa billah. Sangat syulit Buat dipercaya itu Dalih ‘pembebas’ yang digunakan KPK.
Dalih seperti itu sama saja mengajari para pejabat di negeri ini Buat memakai ‘modus’ yang sama bila kelak Terdapat Member keluarga mereka diduga menerima gratifikasi. Bahkan, Dapat jadi modus bagi diri pejabat sendiri bila Mau memperdagangkan pengaruh demi mendulang hadiah, pakailah jalur kerabat yang KK-nya sudah terpisah.
Tetapi, kendati sudah Terdapat preseden seperti itu, belum Terdapat garansi bakal Kagak diterungku penegak hukum. Itu disebabkan level jabatan Anda belum setinggi itu, belum pemegang komando ‘rumpun eksekutif’ yang memasukkan KPK sebagai bagiannya. Jadi, jangan coba-coba meniru bila Kagak Mau tetap diterungku.