MEMBANGUN negara kuat (strong state) ialah idaman setiap pemimpin. Demikian pula rakyat mengidamkan hal yang sama.
Tetapi, gayung Kagak bersambut ketika pemimpin dan rakyat Mempunyai motivasi berbeda. Pemimpin Mempunyai motivasi menancapkan kekuasaannya secara mutlak dan Maju berkuasa, tetapi rakyat menginginkan negara efektif bekerja membawa kesejahteraan rakyat (welfare state).
Menurut Francis Fukuyama dalam bukunya, Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21 (2005), negara kuat bukanlah negara otoriter, melainkan negara yang Bisa menjamin hukum dan segala kebijakannya ditaati oleh masyarakat dengan penuh kesadaran.
Indonesia Mempunyai konsensus berbangsa dan bernegara sesuai dengan alinea keempat UUD 1945, di antaranya membangun negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Cita-cita bernegara yang sudah cetho welo alias terang benderang yang Kagak memerlukan penjelasan Tengah. Permasalahan bernegara muncul ketika penguasa Mempunyai niat jahat (mens rea) Kepada memperkukuh dan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, muncul tindakan jahat (actus reus) dari negara Kepada mengeksekusinya, Bagus secara kasar maupun halus.
Dari sinilah muncul berbagai sengkarut dalam penyelenggaraan negara.
Ketertiban berbangsa dan bernegara goyah. Di Dasar payung pemisahan kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif, Mempunyai Maksud bahwa kekuasaan di bawahnya harus berjalan sesuai dengan koridor masing-masing.
Mereka Kagak saling cawe-cawe, mengancam, menelikung, atau mengenyahkan. Semuanya saling menghargai dan menguatkan.
Salah satu pilar Krusial dalam berbangsa dan bernegara ialah dunia kampus atau perguruan tinggi. Kampus ialah Kawah candradimuka Kepada menggodok sumber daya Mahluk Indonesia yang Cakap, berdaya saing, dan Bisa menjawab tantangan Era.
Hal itu selaras dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 20212 tentang Perguruan Tinggi. Dalam pasal itu, disebutkan bahwa fungsi perguruan tinggi ialah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selanjutnya, mengembangkan sivitas akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui Penyelenggaraan tridarma, serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora.
Dalam praktiknya, perguruan tinggi bekerja dalam bingkai Tridarma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Perguruan tinggi Mempunyai banyak kemuliaan Kepada mendorong penyelenggaraan negara berjalan on the right track. Sejak Orde Baru hingga Ketika ini, Bunyi kalangan kampus, terutama para guru besar mereka, ditunggu masyarakat Kepada menyuarakan kebenaran.
Tetapi, watak kekuasaan yang Kagak nyaman dengan daya kritis kampus Mempunyai seribu jurus Kepada membungkamnya. Salah satunya diduga dengan tawaran konsesi pertambangan.
Wacana kampus mengelola sektor ekstraktif itu muncul dalam revisi Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) yang Formal menjadi usulan inisiatif DPR lewat sidang paripurna pada Kamis, 23 Januari 2025.
Ketua Badan Legislasi atau Baleg DPR Bob Hasan mengatakan bahwa pemerintah Mau Seluruh masyarakat mendapatkan hak yang sama dalam mengelola sumber daya alam, termasuk kepada perguruan tinggi.
Keriuhan terjadi di dunia perguruan tinggi. Sikap mereka terbelah. Terdapat yang setuju dengan dalih mereka Mempunyai program studi pertambangan, Terdapat yang ragu-ragu menolak dengan Argumen Tetap dalam kajian, dan Terdapat pula yang langsung menolak mentah-mentah.
Sebelumnya, perdebatan sengit terjadi ketika pemerintahan Jokowi memberikan konsesi pertambangan ke ormas keagamaan. Hanya dua ormas keagamaan yang menerima, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, sisanya menolak.
Ormas keagamaan dan perguruan tinggi selayaknya menolak tawaran pemerintah Kepada mengelola pertambangan karena bukan ‘Area’ mereka. Pengalaman, kemampuan, dan finansial mereka yang nihil alih-alih berkah yang didapat, melainkan musibah. Padahal, mencegah mudarat lebih Bagus ketimbang menarik kebaikan.
Dunia perguruan tinggi harus kembali ke khitah dengan memperkuat Tridarma Perguruan Tinggi. Terlebih kata ilmuwan Prancis, Julian Benda, dalam bukunya yang berjudul Pengkhianatan Kaum Cendekiawan (1927), tugas Esensial cendekiawan ialah menjaga moral.
Kekuatan moral kampus harus Maju menyala. Jangan dibuat redup atau dimatikan dengan iming-iming harta dan takhta dari penguasa.
Kondisi hari ini ketika praktik kekuasaan Tetap jauh panggang dari api menuju cita-cita berbangsa dan bernegara sesuai dengan konstitusi sudah disuarakan sivitas akademika di kampus, terutama guru besar, pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo.
Praktik legalisme autokrasi atas nama demokrasi membawa Dampak ke segala arah. Demokrasi dijadikan tameng Kepada menduduki singgasana kekuasaan meski menabrak hukum dan etika. Ndasmu etik, katanya. Padahal, ‘demos’ dan ‘kratos’ sejatinya jalan membangun bonum commune (kebaikan Berbarengan) di atas kedaulatan rakyat.
Tetap banyak persoalan yang membelit dunia perguruan tinggi di Tanah Air. Utamanya tata kelola perguruan tinggi yang Kagak baik, seperti korupsi, plagiarisme, obral gelar, miskin riset, politik kampus, dan sebagainya.
Kagak sedikit akademisi yang merapat ke penguasa, berebut jadi pejabat, komisaris, atau memburu rente proyek. Di sisi lain, atas nama kepakaran, Terdapat juga akademisi yang tak malu menjadi saksi Spesialis yang meringankan koruptor di pengadilan.
Potret buram pengelolaan tambang di Tanah Air akan semakin buram ketika perguruan tinggi dipaksakan mengelola Area izin usaha tambang (WIUP). Tabik!