Senin Pagi, Rupiah Terjun Bebas 1,29%

Ilustrasi kurs rupiah terhadap dolar AS. Foto: MI/Terdapatm Dwi.

Jakarta: Safiri tukar (kurs) rupiah pada pembukaan perdagangan hari ini kembali mengalami pelemahan signifikan dibandingkan dengan penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Mengutip data Bloomberg, Senin, 7 Oktober 2024, rupiah hingga pukul 9.45 WIB berada di level Rp15.685 per USD. Mata uang Garuda tersebut turun sebanyak 200 poin atau setara 1,29 persen dari Rp15.485 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi mengatakan, fokus investor tertuju pada laporan utama penggajian nonpertanian Amerika Perkumpulan (AS), yang akan memberikan petunjuk lebih lanjut tentang prospek suku bunga Federal Reserve serta meningkatnya ketegangan di Timur Tengah membuat pasar gelisah.

Serangkaian rilis data minggu ini menunjukkan ekonomi AS masih dalam kondisi solid, setelah aktivitas sektor jasa negara itu melonjak ke level tertinggi 1,5 tahun pada September di tengah pertumbuhan yang kuat dalam pesanan baru. Sementara laporan terpisah dari Departemen Tenaga Kerja pada Kamis menunjukkan pasar tenaga kerja meluncur pada akhir kuartal ketiga.

Cek Artikel:  IHSG Lagi Tak Berdaya

“Hal itu membuat para pedagang mengurangi taruhan tentang pemotongan suku bunga 50 basis poin lagi oleh Fed bulan depan, dengan kontrak berjangka menunjukkan peluang hanya 35 persen dari skenario seperti itu,” terang Ibrahim.

Pascaserangan Iran ke Israel sebelumnya, AS sedang mendiskusikan apakah akan mendukung serangan Israel terhadap fasilitas minyak Iran sebagai balasan atas serangan rudal Teheran terhadap Israel, kata Presiden Joe Biden, sementara militer Israel menyerang Beirut dengan serangan udara baru dalam pertempurannya melawan kelompok bersenjata Lebanon, Hizbullah.

Kemudian, Perdana Menteri Shigeru Ishiba mengatakan minggu ini kondisi ekonomi di negara itu tidak siap untuk kenaikan suku bunga lebih lanjut oleh Bank of Japan (BOJ), membalikkan nada hawkish yang ia lontarkan sebelum kemenangan pemilihannya.
 

 

Deflasi jadi biang keladi

Menurut Ibrahim, pasar terus mengamati deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024. Hal ini memperlihatkan dengan jelas masyarakat kelas menengah (pekerja) sudah tidak punya uang lagi untuk berbelanja.

Oleh karena itu, permintaan bank sentral Indonesia agar masyarakat lebih banyak belanja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di atas lima persen mustahil terwujud.

Cek Artikel:  Pemanfaatan EBT Pandai Percepat Proses Transisi Daya

“Pasalnya, hampir semua sektor industri melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), yang bakal berimbas pada anjloknya daya beli,” tutur dia.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ini terjadi, pertama, PHK. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 53.993 tenaga kerja terkena PHK per 1 Oktober 2024. Ribuan orang yang di-PHK sebagian besar berasal dari sektor manufaktur.

Diprediksi sampai akhir tahun angka PHK akan melonjak lebih dari 75 ribu. Pasalnya, mulai banyak perusahaan dinyatakan pailit atau akhirnya pindah ke daerah lain yang upah minimumnya lebih kecil.

Kedua, minimnya lapangan kerja di sektor padat karya. Di tengah membludaknya PHK, pembukaan lapangan pekerjaan baru di sektor padat karya dalam lima tahun terakhir juga nyaris tidak ada.

Padahal sektor ini menjadi andalan untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar sehingga diharapkan bisa melahirkan apa yang disebutnya sebagai warga kelas menengah.

Tetapi data BPS terakhir menunjukkan 9,48 juta warga kelas menengah Indonesia justru turun kelas dalam lima tahun terakhir, menjadi hanya 47,85 juta. Situasi tersebut tak lepas dari kebijakan pemerintah yang lebih menggenjot investasi di sektor padat modal seperti tambang ketimbang padat karya yang membuka lapangan kerja baru.

Cek Artikel:  BSI Sambut Harpelnas 2024 dengan Layanan Ultimate yang Responsif dan Personal


(Ilustrasi deflasi. Foto: Freepik)

Ketiga, tingginya suku bunga. Biarpun Bank Indonesia (BI) akhirnya memangkas suku bunga acuan pada September 2024 menjadi 6,00 persen dari sebelumnya 6,25 persen, demi menjaga penguatan atau stabilitas nilai tukar rupiah.

“Tetapi uang yang beredar di masyarakat jadi lebih mahal dan bukan berarti bisa ‘mengurangi lonjakan deflasi’ di bulan-bulan mendatang. Alasan, PHK massal dan tak adanya lapangan kerja baru belum sepenuhnya teratasi. Konsekuensinya, daya beli masyarakat juga belum akan membaik,” papar Ibrahim.

Menyantap berbagai perkembangan tersebut, Ibrahim memprediksi rupiah pada perdagangan hari ini akan bergerak secara fluktuatif dan kemungkinan besar akan kembali mengalami pelemahan.

“Buat perdagangan hari ini, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp15.470 per USD hingga Rp15.580 per USD,” tutup Ibrahim.

Mungkin Anda Menyukai