Generasi Emas yang Cemas

HAMPIR 10 juta penduduk generasi Z di Tanah Air tidak memiliki kegiatan saat ini. Mereka tidak sedang menjalani proses pendidikan, bekerja, ataupun pelatihan. Data tersebut ialah hasil olahan dari Survei Nomortan Kerja Nasional (Sakernas) 2023 garapan Badan Pusat Stagnantik (BPS).

Sebanyak 9,89 juta anak muda di Tanah Air yang berusia 15-24 tahun dan semestinya sedang berada di masa produktif justru berada di golongan not in education, employment, and training (NEET). Para gen Z itu masuk kategori NEET antara lain karena alasan putus asa, disabilitas, kurangnya akses transportasi dan pendidikan, keterbatasan finansial, dan kewajiban rumah tangga.

Selain itu, kegiatan domestik menjadi alasan bagi gen Z perempuan tidak bisa produktif. Padahal, 21 tahun lagi, mereka ialah generasi penentu masa depan bangsa karena, bertepatan pada satu abad kemerdekaan Republik ini, usia mereka berada di rentang 36-45 tahun. Itulah generasi emas yang diharapkan membuat bangsa ini melesat menjadi negara maju.

Cek Artikel:  Menolak Intimidasi dalam Pemilu

Kondisi demografi Indonesia pada usia satu abad itu diprediksi akan didominasi hingga 70% usia produktif (15-64 tahun). Bila kondisi potensi tersebut tidak dimanfaatkan dan dipersiapkan dengan baik, angan-angan mencapai generasi emas bisa kandas.

Bahkan, bukan tidak mungkin, kondisi itu justru memberi dampak buruk terutama akibat menggunungnya masalah sosial seperti kemiskinan, kesehatan yang rendah, pengangguran, dan tingkat kriminalitas yang tinggi.

Sejumlah catatan itu ialah tantangan nyata di depan mata, bukan hanya bagi Presiden Joko Widodo ataupun presiden terpilih Prabowo Subianto, melainkan juga tantangan bagi seluruh warga negara. Hanya, warga negara telah memandatkan kepentingan mereka kepada para elite untuk menyelenggarakan pemerintahan dengan strategi yang jelas dan aksi yang tuntas.

Cek Artikel:  Menuntut Integritas Lembaga Survei

Karena itu, wajar jika publik berharap besar kepada penyelenggara negara untuk menyelesaikan persoalan anak muda tanpa aktivitas produktif itu. Data BPS itu mestinya menjadi alarm yang membangunkan negeri ini dari mimpi menjadi negara berdaulat, maju, adil, dan makmur serta menjadi negara ekonomi terbesar keempat atau kelima di dunia.

Bagaimana bisa berharap menjadi bangsa emas bila generasi pengisinya ialah warga yang membuat cemas? Karena itu, mulailah dari membenahi pendidikan. Jangan biarkan dunia pendidikan menjadi ajang proyek memupuk uang, yang pada gilirannya menjadikan anak didik atau mahasiswa yang mesti memikul bebannya.

Pendidikan mesti diarahkan sebagai kegiatan produktif dan investasi masa depan. Metode pandang bahwa pendidikan membebani anggaran mesti dibuang jauh-jauh. Hanya dengan mengembalikan pendidikan kepada substansinya, negeri ini akan mampu meraih nilai tambah secara ekonomi.

Cek Artikel:  Kasus Firli Ujian Polri

Metode pandang bahwa pendidikan ialah investasi, bukanlah beban, mesti sudah dibereskan dari hulu, yakni dari pembuat kebijakan. Sayangnya, kita masih menyaksikan cara pandang sebaliknya dari pemangku kebijakan. Misalnya, memandang pendidikan tinggi bukan sebagai kebutuhan primer, melainkan tersier.

Karena itu, bila kita hendak meraih masa depan dan membereskan 10 juta generasi Z yang tidak produktif itu, jangan ragu untuk berinvestasi dalam pendidikan demi menjamin masa depan bangsa. Supaya jangan sampai Indonesia emas menjadi sekadar jargon kosong tanpa pernah menjadi kenyataan.

Mungkin Anda Menyukai