TAK lama berselang dengan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang melengserkan ketuanya, para hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menunjuk Suhartoyo menjadi pimpinan lembaga tersebut. Penunjukan Suhartoyo sebagai Ketua MK merupakan tindak lanjut putusan MKMK yang menyatakan Anwar Usman melakukan pelanggaran berat beberapa hari sebelumnya.
Sebagaimana diketahui, Anwar Usman terbukti melanggar kode etik ketika menangani uji materi gugatan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam putusan yang menguntungkan Gibran Rakabuming Raka yang juga merupakan keponakannya.
Menurut Wakil Ketua MK Saldi Isra, sosok Suhartoyo ditunjuk menjadi Ketua MK untuk periode 2023-2028 setelah enam hakim konstitusi lain sepakat memilihnya melalui mekanisme Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Menurut rencana, Suhartoyo yang ketika dipilih menjadi hakim MK menuai kontroversi karena ditentang Komisi Yudisial (KY) akan dilantik pada Senin, 13 November 2023.
Suhartoyo pun, seusai terpilih sebagai ketua, berjanji bakal memperbaiki kinerja MK yang saat ini bisa dibilang terpuruk setelah keluarnya putusan kontroversial itu. Suhartoyo juga meminta publik terus mengkritik apabila ada pelanggaran atau hal yang tidak baik dilakukan MK.
Kita tentu menginginkan pernyataan Suhartoyo tersebut bukan sekadar gimik atau lip service seperti kebanyakan politisi yang berkampanye jelang penyelenggaraan pemilu.
Apalagi publik kini tengah menuntut para hakim konstitusi mengembalikan muruah lembaga penjaga konstitusi yang kembali terpuruk akibat Putusan No 90/PUU-XXI/2023 itu.
Belum lagi negara ini dalam waktu dekat menggelar perhelatan Pemilu 2024 yang tentu bakal membutuhkan lembaga peradilan yang tidak berpihak dan bebas kepentingan.
Publik pun sadar bahwa jatuh bangunnya lembaga penjaga konstitusi ini bukan hanya bertumpu pada sosok ketua dan wakil ketua. Pasalnya, putusan yang dihasilkan merupakan hasil keputusan dari individu sembilan hakim di lembaga ini.
Karena itu, publik tentunya berharap hakim-hakim MK lain agar mau independen dan tidak bertindak seperti komplotan ketika mengambil keputusan. Kalaupun merasa ada yang tidak beres dengan gugatan, para hakim sebagai individu yang merdeka tentu seharusnya bisa menolak. Hilangkan budaya ewuh pekewuh.
Memang tidak ada yang salah dari pernyataan mantan Ketua MK Anwar Usman yang menyebutkan jabatan merupakan titipan Allah SWT. Oleh karena itu, sudah selayaknya perilaku Ketua MK dan para hakim konstitusi lain mencerminkan nilai-nilai ketuhanan maupun keadilan ketika memutus suatu perkara yang menyangkut khalayak banyak. Bukan hanya menguntungkan segelintir elite, apalagi anak dari saudara ipar mereka.
Mudah-mudahan kasus pelanggararan etik berat yang dilakukan para Ketua MK seperti Anwar Usman tidak lagi terulang di masa mendatang. Kepada mewujudkannya, buka terus ruang kepada pihak eksternal untuk mengawasi lembaga ini.