Dunia Innovation Index Indonesia Masuk Peringkat 54 Pada Mengertin Ini

Global Innovation Index Indonesia Masuk Peringkat 54 Pada Tahun Ini
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko(MI/DESPIAN NURHIDAYAT)

DEPUTI Bidang Fasilitasi Riset dan Hasil karya, BRIN, Agus Haryono mengatakan bahwa sejak 2022 sampai 2024, pihaknya sudah mengeluarkan anggaran sebesar Rp441 miliar untuk pendanaan Riset dan Hasil karya untuk Indonesia Maju (RIIM).

“Proposal riset yang diajukan sendiri mencapai lebih dari 6 ribu dan telah diperoleh 1.549 kegiatan riset yang berasal dari 154 institusi yang diberikan pendanaan. Definisinya 25% dari proposal yang masuk telah lolos untuk diberikan pendanaan. Ini menandakan bahwa kegiatan ini menghidupkan kegiatan inovasi di banyak institusi di seluruh wilayah Indonesia yang menghasilkan 712 artikel ilmiah dan 144 paten,” ungkapnya dalam ungkapnya dalam acara Program Fasilitasi Riset dan Hasil karya RIIM 2024, Senin (30/9).

Lebih lanjut, Agus bersyukur bahwa Dunia Innovation Index Indonesia mengalami kenaikan pada tahun ini. Sejak 2013 sampai 2021, Dunia Innovation Index Indonesia berada di peringkat 83, 85, dan 87. Baru pada 2022 naik ke peringkat 75, kemudian 2023 naik lagi ke peringkat 61, dan 2024 ini naik ke peringkat 54.

Cek Artikel:  8 Metode Mudah Menghapus Halaman Nihil di Microsoft Word

Baca juga : BRIN Permudah Ijin Riset di Indonesia

“Ini tidak lain tidak bukan karena kerja keras para peneliti dan seluruh stakeholders dalam ekosistem riset dan inovasi. Terutama pada 2024 ini yang mendapatkan apresiasi dari WIPO adalah kenaikan dari pengajuan paten internasional dari Indonesia yang naik lebih dari 1.500%. Termasuk pendaftaran paten internasional dari BRIN yang didaftarkan pada 2023 yang juga berkontribusi dalam peningkatan global innovation index Indonesia,” kata Agus.

Dia juga mengucapkan selamat kepada seluruh peneliti yang masuk top 2% world ranking scientist yang baru saja dilansir oleh Stanford University dan Elsevier, yang mana dari 150 ilmuan Indonesia, kurang lebih 1/3 di antaranya merupakan ilmuan yang mendapatkan pendanaan dari RIIM. 

“Ini menandakan riset yang dibiayai RIIM dilaksanakan oleh para periset yang mempunyai kualitas. Semoga di tahun berikutnya akan lebih banyak lagi yang masuk ke dalam top 2% world ranking scientist,” tuturnya.

Baca juga : Dosen Universitas Pancasila Masuk Enam Periset Muda Terbaik PPI

Cek Artikel:  Hari Tani Nasional, Kelahiran UUPA dan Perubahan di Masa Orba

Penganugerahan RIIM Awards sendiri menurut Agus adalah penghargaan bagi tim periset dan tim startup dengan 3 kriteria yaitu RIIM Kompetisi, Ekspedisi dan Startup. Masing-masing diberikan pada tim periset yang berkinerja tinggi, menghasilkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dilihat dari output dan outcome yang dihasilkan dari kegiatan tersebut dalam 1-2 tahun. 

“Karena RIIM ini baru berjalan sejak 2022 kemarin. Rangkaian kegiatan dimulai dari pengajuan proposal, wawancara, eksebisi, dan lainnya. Di luar dugaan saya terkejut dan mengapresiasi, meskipun diberi anggaran kecil, tapi hasilnya luar biasa. Hanya diberi Rp80 juta tapi hasilnya seperti Rp2 miliar,” ujar Agus.

Sementara itu, Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko menegaskan RIIM ini menunjukkan bahwa riset bukan persoalan pendanaan saja, tapi juga keinginan mengubah mindset. 

Baca juga : BRIN: Periset adalah Aset Esensial Indonesia

“Selama ini enggak pas (mindset) karena itu enggak berkembang kita. Lampau yang bisa mengubah mindset itu harus lembaga. Enggak bisa kita menunggu periset dan akademisi mengubah mindset. Supporting sistem yang harus membuat itu berubah,” ujar Laksono.

Cek Artikel:  Bacaan Doa Keluar WC

Menurutnya pendanaan sebesar Rp440 miliar untuk dua tahun itu sangat kecil. Dia mengaku ditarget jauh lebih besar dari itu. Tapi Laksono tidak mengejar penyerapan, melainkan kualitas dari riset.

“Kalau mau bikin Rp1 triliun untuk dibagi-bagi gampang. Tapi itu akan merusak mentalitas. Fulusnya kecil karena kita pilah-pilah pembiayaannya. Kalau dulu siapa pun perisetnya dikasih Rp3 miliar tapi disuruh mengurus semuanya sendiri mulai dari beli alat sampai bikin diseminasi. Seolah-olah dapat uang gede padahal untuk periset ternyata kecil dan yang paling parah perisetnya capek ngurusin hal-hal lain dan keteteran,” tegasnya.

“Buktinya publikasi jeblok, patennya enggak ada dan seterusnya. Jadi uangnya kecil-kecil. Paling Rp200 juta. Tapi enggak perlu ngurusin infrastrukturnya. Karena tidak mungkin infrastruktur diserahkan ke periset. Periset itu pintar tapi di bidangnya yang sangat sempit tapi dalam. Enggak bisa disuruh urusin banyak hal,” pungkas Laksono.  (H-2)

 

Mungkin Anda Menyukai