Peneliti Hukum Unpad Soroti Ketiadaan Aturan Kerugian Immateriil

Peneliti Hukum Unpad Soroti Ketiadaan Aturan Kerugian Immateriil
Peneliti dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Rai Mantili(DOK/UNPAD)

PENELITI dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung,
Rai Mantili mengingatkan perlu adanya kepastian hukum mengenai kerugian
immateriil pada perkara wanprestasi.

Demi ini Indonesia belum memiliki landasan aturan apapun berkaitan dengan kerugian immateriil ini. Akibatnya hakim selalu kesulitan membuktikan kerugian immateriil yang diajukan oleh penggugat.

“Akhir-akhir ini gugatan ganti kerugian immateriil semakin banyak
dilayangkan dalam berbagai kasus perbuatan melawan hukum ataupun
wanprestasi. Tuntutan immateriil tersebut meliputi ganti rugi seperti
kecemasan, stres, hingga kerugian lain yang tidak dapat diukur secara
material. Sayangnya, belum ada landasan hukum yang jelas untuk mengukur
kerugian tersebut di Indonesia,” jelasnya.

Menurut Rai, dalam kejadian sehari-hari, banyak orang menggugat ganti rugi immateriil, tetapi belum ada aturannya. Padahal Indonesia adalah negara hukum, apa-apa harus ada aturannya agar ada kepastian hukum.

Cek Artikel:  Polres Cimahi Gelar Simulasi Sistem Pengamanan Kota

Absennya kepastian dan landasan hukum tersebut, kemudian mempengaruhi cara hakim mengadili perkara yang menggugat ganti kerugian immateriil. Hakim disebut selalu kesulitan membuktikan kerugian immateriil yang dituntut oleh penggugat.

“Hakim tidak memiliki pedoman apapun untuk menghitung, menilai, maupun memberikan putusan terkait jumlah ganti rugi yang harus dibayar. Dapat saja melihat putusan hakim terdahulu, dijadikan pedoman hakim selanjutnya. Tapi kan itu berbeda, bukan sumber hukum pertama.
Sumber hukum pertama itu kan Undang-undang,” beber Rai.

Gugatan fantastis

Rai pun menilai tidak adanya landasan hukum kerap membuat penggugat
akhirnya melayangkan gugatan dengan nilai yang fantastis. Seperti pada
kasus seorang artis yang menuntut kerugian immateriil kepada sebuah
hotel dengan nilai mencapai Rp100 miliar pada 2023 lalu.

Cek Artikel:  Karhutla Terjadi di Tiga Kabupaten di Jawa Barat

Padahal, seharusnya penggugat juga tetap mempertimbangkan kesanggupan pihak tergugat untuk memenuhi tuntutan tersebut.

“Karena tidak ada aturannya, jadi penggugat minta saja ganti rugi
sebanyak-banyaknya. Nanti kan terserah hakim berapa yang dikabulkan.
Yang penting dengan nilai segitu atau di bawahnya,” tuturnya.

Rai menilai hal ini berdampak banyak hakim tidak memiliki dasar untuk
membuat keputusan yang adil terhadap kedua belah pihak. Akhirnya, hakim
lebih banyak memutuskan menolak gugatan, untuk menghindari adanya
kesalahan hukum.

Di sisi lain, Rai juga membandingkan produk hukum yang dimiliki oleh
Belanda, sebagai salah satu negara yang menjadi acuan pembuatan produk
hukum di Indonesia. Belanda menjadi salah satu negara yang telah
menetapkan kepastian hukum perdata, terkait kerugian immateriil melalui
pembentukan undang-undang.

Cek Artikel:  Bank bjb Gelar RUPS Luar Kebiasaanl 2024, Tetapkan Susunan Komisaris Baru

 

Mungkin Anda Menyukai