Stiker Kaligrafi Kesalehan di Kaca Belakang,Perilaku di Depan Setir

Stiker Kaligrafi: Kesalehan di Kaca Belakang, Perilaku di Depan Setir
Mochtar Chodlori.(Dokpri)

SAYA suka mengamati jalan raya. Bukan karena hobi, tetapi karena di sanalah kita sering bertemu realita. Taatp hari, kita berhadapan dengan mobil-mobil yang beragam bentuk dan pengemudi yang lebih beragam lagi. Terdapat satu hal yang menarik perhatian saya: mobil dengan stiker kaligrafi Arab di kaca belakang. Sebuah potongan ayat suci Al-Qur’an yang biasanya mencolok di tengah deru kendaraan.

Yang membuat saya berpikir, apakah pengemudi sadar bahwa kaligrafi itu tidak sekadar hiasan? Bukan cuma untuk estetika. Itu ayat suci. Begitu suci, hingga ketika Anda memasangnya, ada tanggung jawab moral yang ikut melekat di setir Anda. Seperti mengemudi dengan sorotan mata tak kasat dari langit, tetapi Anda tetap saja mengebut. Lampau, menyalip sembarangan di tikungan tajam. Stiker religius di kaca belakang, tetapi perilaku di depan setir jauh dari apa yang diajarkan agama. Ironis? Iya. Saya tidak sedang bercanda.

Bayangkan, Anda sedang berkendara santai, tiba-tiba dari belakang ada mobil yang mendekat dengan kecepatan tinggi. Mobil itu menyalip dari kiri, hampir menyerempet Anda, lalu menghilang di depan sana dengan manuver yang bikin jantung berhenti sepersekian detik. Di kaca belakangnya, Anda sempat membaca sepotong ayat suci.

Cek Artikel:  Membangun Arti Pembelajaran

Baca juga : Dunia Auto Protection Gallery Hadir di Gading Serpong

“Apa hubungannya perilaku ugal-ugalan dengan ayat suci itu?” tanya Anda dalam hati. Rekanannya, stiker itu adalah simbol. Simbol agama yang dipajang di ruang publik. Itu mewakili Anda, pengemudi, dan ajaran yang Anda yakini. 

Memasang kaligrafi Arab di mobil berarti Anda memutuskan membawa agama ke jalan raya. Itu semacam pernyataan terbuka–lihat, saya religius, saya taat. Tapi kalau perilaku Anda di jalan berbanding terbalik dengan pesan moral yang dibawa ayat itu, maaf, Anda sedang mencoreng agama sendiri.

Tanggung jawab tersembunyi

Ini bukan soal benar atau salah memasang stiker religius di mobil. Ini soal tanggung jawab. Anda mungkin tidak sadar, tetapi ketika Anda memutuskan untuk memajang simbol-simbol keagamaan di tempat yang begitu terlihat oleh publik, Anda mengundang orang lain untuk menilai, melihat, bahkan menghakimi. Bukan hanya Anda sebagai individu, tetapi juga ajaran yang Anda representasikan.

Baca juga : Parkir 2 Mengertin, Seperti Ini Kondisi Mobil Buron Harun Masiku

Cek Artikel:  Kebijakan Seranganf NATO

Nah, jika mobil itu melesat dengan cara yang tidak sepatutnya–mengabaikan rambu, menyerobot jalur, apalagi melanggar aturan–apa yang orang-orang lihat? Mereka melihat kontradiksi. Mereka melihat ketidaksesuaian antara simbol agama yang Anda pajang dan perilaku yang Anda tunjukkan. Padahal, semestinya simbol itu menjadi pengingat: hei, berkendaralah dengan baik, perlakukan orang lain dengan sopan di jalan, karena Anda membawa nama yang lebih besar daripada diri Anda sendiri.

Bukan sekadar pajangan

Sebagian besar dari kita mungkin berpikir, “Ah, ini cuma stiker. Hanya dekorasi.” Tetapi apakah benar hanya itu? Stiker kaligrafi atau ayat suci di kaca belakang bukan sekadar estetika, bukan sekadar identitas religius yang Anda pasang untuk menunjukkan siapa diri Anda. Itu pengingat, bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga untuk diri Anda sendiri. Agar Anda sadar bahwa berkendara pun bagian dari ibadah. Taatp tindakan, baik itu sekecil mematuhi rambu lalu lintas atau memberi jalan untuk orang lain, adalah refleksi dari moralitas Anda.

Tetapi, sering kali yang kita lihat justru sebaliknya. Stiker ada, ayat suci ada, tetapi etika berkendara hilang entah ke mana. Ini membuat saya berpikir, apa gunanya simbol itu jika hanya jadi pajangan? Hanya jadi dekorasi yang kehilangan makna karena tidak sejalan dengan perilaku?

Cek Artikel:  Cerminan Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia Mendialogkan Pemikiran Fransiskan dengan Perspektif Sufi Yunus Emre

Baca juga :  Didukung Produk SUV, Penjualan Honda Meningkat pada Agustus 2024

Mari kita jujur: jika Anda tidak siap mengemudi dengan hati-hati, tidak siap menghormati sesama pengguna jalan, mungkin Anda juga tidak siap memajang ayat suci di mobil Anda. Lebih baik tidak ada stiker sama sekali daripada simbol itu justru membuat orang lain berpikir buruk. Keyakinan tidak butuh Anda pamerkan dalam bentuk stiker. Keyakinan butuh Anda jalankan dalam setiap tindakan, termasuk di jalan raya.

Anda bisa memilih: apakah Anda ingin menjadi duta yang baik bagi agama Anda atau justru membuat agama terlihat buruk di mata orang lain?

Tindakan Anda di jalan bicara lebih keras daripada kaligrafi di kaca belakang. Ingat, apa yang Anda pajang bukan sekadar simbol, tetapi cerminan dari diri Anda. Jadi, apakah Anda siap mengemudi sesuai pesan moral yang Anda pajang atau stiker itu hanya jadi hiasan semata? 

Mungkin Anda Menyukai