KALIMAT dalam bahasa Jawa yang artinya ‘jangan terburu-buru’ atau ‘jangan tergesa-gesa’ itu belakangan kerap dilontarkan Presiden Joko Widodo di berbagai kesempatan. Sebetulnya bukan belakangan saja, sih. Sejak tahun lalu Jokowi sudah menyampaikan itu di depan relawan pendukungnya ketika ditagih ke mana arah dukungan dia dalam Pilpres 2024 nanti.
Tamat kini, setiap kali Jokowi bertemu relawan (buat saya sebetulnya aneh kepala negara kok masih memobilisasi relawan) atau siapa pun pihak yang mendesak-desak dia, frasa ojo kesusu selalu dia ulang-ulang. Terakhir ia ungkapkan lagi saat membuka Rakernas VI Relawan Pro Jokowi (Projo) pada Sabtu (14/10) lalu. Jokowi meminta Projo ojo kesusu dalam menentukan calon presiden yang akan didukung.
Saking seringnya kalimat itu terlontar, sejumlah pakar bahkan menyebut itu sebagai gaya politik yang sedang dimainkan Jokowi. Politik ojo kesusu. Dalam perspektif yang positif, berpolitik dengan gaya ojo kesusu sejatinya menyehatkan demokrasi. Setidaknya di dalam konsep itu ada pesan agar kita berpolitik dengan tekun dan sabar. Tak grasah-grusuh. Berpolitik harus penuh kalkulasi dan pertimbangan.
Dalam memilih pemimpin, misalnya, ojo kesusuĀ dapat dimaknai sebagai langkah untuk mempertimbangkan semua aspek mengenai calon pemimpin melalui helicopter view. Saring dulu calon-calonnya, cermati rekam jejaknya, hitung kapasitas dan integritasnya, bahkan bila perlu lihat juga latar belakang keluarga dan partai yang mendukungnya. Nah, itu konsep ojo kesusu yang benar, yang positif.
Tetapi, kalau menyimak riwayat berpolitik Pak Jokowi akhir-akhir ini, yang lumayan ‘tercemar’ oleh kesukaan dia cawe-cawe urusan pemilu dan pilpres, rasanya tak berlebihan jika kita, setidaknya saya, menduga bukan makna itu yang dimaui sang mantan Wali Kota Surakarta melalui frasa saktinya tersebut. Kiranya ada udang di balik batu, ada tujuan lain di balik ucapannya yang meminta orang untuk tidak terburu-buru.
Dalam hal kepada capres mana dukungan Pak Presiden bakal berlabuh, jawaban ojo kesusu yang dia ucapkan kemarin-kemarin ternyata hanyalah jurus untuk mengulur waktu. Buying time kalau orang sono bilang. Ia terus meminta pendukungnya jangan tergesa-gesa karena sepertinya saat itu dia sedang menunggu hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang perkara uji materi syarat batas usia capres dan cawapres.
Seperti yang juga sudah diketahui publik luas, ada kepentingan Jokowi dalam putusan tersebut karena jika uji materi dikabulkan, putra sulungnya yang masih muda itu, yakni Gibran Rakabuming Raka, punya kans besar menjadi cawapres. Sangat mungkin yang akan menggaetnya ialah capres dari Koalisi Indonesia Maju, Prabowo Subianto.
Pada Senin (16/10) lalu, dalam putusan yang dibacakan, MK akhirnya mengabulkan sejumlah syarat menjadi capres-cawapres pada Pilpres 2024. Kendati ditingkahi dengan proses pengambilan putusan yang penuh kontroversi, pada intinya putusan MK itu memungkinkan Gibran mengonversi kans atau peluang untuk naik kelas menjadi cawapres.
Bagaimana selanjutnya, kita tunggu saja dalam hari-hari ini. Apakah politik ojo kesusu versi Jokowi bakal meraih hasil optimal dengan menempatkan Gibran menjadi pendamping Prabowo, yang otomatis akan menegaskan ke mana Jokowi melabuhkan dukungan? Atau gaya ojo kesusu-nya justru akan menjadi bumerang lantaran publik sudah kadung membaca ada manuver tak elok di balik kata-kata manis itu?
Sudah dihujat publik, jaminan bahwa Prabowo bakal 100% menarik Gibran setelah putusan MK pun sesungguhnya juga tidak ada. Tetap menggantung. Mungkin saja pengaruh Jokowi di Koalisi Indonesia Maju besar, tapi jangan lupa ada parpol lain dalam koalisi itu yang juga menginginkan posisi cawapres pengiring Prabowo.
Tetapi, kalau boleh berandai-andai, seandainya saya jadi Prabowo, tanpa berpikir panjang saya sudah pasti bakal meminta Gibran menjadi pendamping di pilpres. Bahkan pada hari yang sama dengan pembacaan putusan MK, barangkali saya akan langsung meminta Mas Wali Kota itu terbang dari Solo ke Jakarta untuk melakukan deklarasi.
Mengapa begitu? Lho bayangkan saja, bapaknya Gibran sudah mengorbankan segalanya. Dia rela dicaci, dihujat, dituduh nepotisme, dituding sedang membangun dinasti kekuasaanlah, dibilang pemicu terdegradasinya muruah MK, merobohkan bangunan demokrasi dan reformasi, dan lain-lain. Matang pengorbanan yang sudah sedemikian total begitu tidak dihargai?
Tetapi, sekali lagi, itu hanya andai-andai. Faktanya, Prabowo sepertinya malah tertular kebiasaan Jokowi. Ketika ditanya perihal bakal cawapresnya, Selasa (17/10), ia menjawab seperti cara Jokowi menjawab. “Ojo kesusu, ojo grusa grusu,” kata dia.