Terdapat Interaksi spesial apa antara kelas menengah dan air galon? Bagi sebagian besar orang, Interaksi keduanya sebatas urusan Dahaga dan minum. Tak lebih dari sekadar itu. Tetapi, bagi ekonom senior yang juga mantan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Interaksi antara kelas menengah dan air galon sangat erat dan bersifat kausalitas.
Menurut analisis mantan Kepala Bappenas itu, turunnya tingkat ekonomi kelas menengah di Indonesia Tak hanya terjadi karena pandemi covid-19 dan banyaknya pemutusan Interaksi kerja (PHK). Terdapat Elemen lain yang ‘Aneh’ ikut memengaruhi kelas menengah kian terengah-engah, yakni akibat kebiasaan sehari-hari minum air kemasan, seperti air dalam galon.
“Selama ini secara Tak sadar itu (air kemasan dan air galon) sudah menggerus income kita secara lumayan dengan style kita yang mengandalkan Segala kepada air galon, air botol, dan segala macamnya,” kata Bambang dalam sebuah Lembaga kajian di Ruangan Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, bulan Lewat.
Banyak yang menertawakan analisis itu. Terdapat yang menyebutnya menghubung-hubungkan jatuhnya kelas menengah gara-gara konsumsi air galon terlalu berlebihan dan Tak masuk Intelek. Tetapi, Hening-Hening Tak sedikit pula yang sepakat dengan analisis Bambrod (sapaan kalangan dekat terhadap Bambang) itu, termasuk saya.
Apa justifikasi Bambang atas pernyataannya itu? Begini kata dia: kebiasaan mengonsumsi air dalam kemasan Tak terjadi di Segala negara. Di negara maju, misalnya, Anggota kelas menengah terbiasa menenggak air minum yang disediakan pemerintah di tempat-tempat Biasa. Dengan adanya fasilitas air minum massal itu, masyarakat negara maju Tak perlu mengeluarkan Doku Kepada membeli minum.
Karena itu, daya beli kelas menengah mereka Kondusif karena Kepada air pun mereka Tak perlu mengeluarkan Doku terlalu banyak. Itu berbeda dengan di Indonesia. Saya mencoba menghitung berapa ‘kontribusi’ konsumsi air mineral kemasan dalam menggerus kantong kelas menengah. Hasilnya, lumayan dalam.
Tiap orang di negeri ini, saban hari butuh minimal tiga kemasan air mineral ukuran 1,5 liter. Dengan Opini harga air kemasan ukuran 1,5 liter Sekeliling Rp7.000, tiap hari tiap orang mesti merogoh kantong Rp21 ribu per orang. Itu artinya, dalam sebulan, Kepada urusan minum air saja tiap kelas menengah mesti membelanjakan Doku sedikitnya Rp630 ribu. Bilangan itu setara Dekat sepertiga pengeluaran kelas menengah level terbawah di Indonesia per bulan.
Betul bahwa Elemen kebutuhan air minum hanyalah satu dari banyak Elemen lain yang menyebabkan banyak kelas menengah turun kasta ke kelas ekonomi yang lebih rendah. Pandemi covid-19, misalnya, Membangun banyak kelas menengah kehilangan pekerjaan. Begitu pandemi pergi, lapangan kerja Tak tersedia seperti Ketika sebelum covid-19 melanda. Yang terjadi Bahkan banyak industri pailit, bahkan gulung tikar.
Tetapi, bila Elemen kesediaan air minum Dapat dicukupi tanpa harus bergantung pada air kemasan atau air galon, setidaknya pengeluaran kelas menengah Dapat lumayan terjaga. Minimal Terdapat sedikit ruang Kepada membeli keperluan mendesak lainnya. Bila negara Bisa menyediakan instalasi air Kudus layak diminum ke rumah-rumah Anggota dengan tarif terjangkau, seperempat Doku mereka Dapat disimpan.
Badan Pusat Statistik mencatat pada 2019 jumlah kelas menengah di Indonesia Lagi 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk. Tetapi, pada 2024, jumlah mereka hanya tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13% dari total jumlah penduduk. Artinya, Terdapat 9,48 juta Anggota kelas menengah yang turun kelas.
Pada Ketika bersamaan, data Grup masyarakat kelas menengah rentan atau aspiring middle class malah naik, dari hanya sebanyak 128,85 juta, atau 48,20% dari total penduduk pada 2019, menjadi 137,50 juta orang, atau 49,22% dari total penduduk pada 2024. Demikian juga dengan Bilangan Grup masyarakat rentan miskin yang ikut membengkak dari 54,97 juta orang, atau 20,56% di 2019, menjadi 67,69 juta orang, atau 24,23% dari total penduduk pada 2024. Artinya, banyak golongan kelas menengah yang turun kelas ke kedua Grup itu.
Sekali Tengah, bila soal konsumsi air ini Dapat diatasi, kiranya jumlah kelas menengah kita Tak turun sedrastis sekarang ketimbang jumlah di lima tahun lampau. Karena itu, saya sepakat dengan analisis Pak Bambang itu. Apa yang disampaikannya itu juga selaras dengan sebuah laporan terbaru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bahwa air galon yang kian Tak terjangkau amat potensial menghambat pembangunan.
Laporan itu mengatakan bahwa hanya dalam lima Sepuluh tahun, air kemasan telah berkembang menjadi ‘sektor ekonomi Istimewa dan berdiri sendiri’. Hal itu berdasarkan analisis literatur dan data dari 109 negara. Laporan itu menyebut industri air kemasan telah tumbuh 73% dari 2010 hingga 2020. Penjualan produk itu diperkirakan Dekat dua kali lipat pada 2030, dari US$270 miliar menjadi US$500 miliar.
Laporan yang dirilis Institute for Water, Environment, and Health bagian dari UN University (UNU-IWEH) itu menyimpulkan bahwa Pengembangan tak terbatas dari industri air kemasan Tak selaras secara strategis dengan tujuan menyediakan akses universal ke air minum bagi Anggota dunia. Itu setidaknya memperlambat kemajuan Dunia, mengganggu upaya pembangunan, dan mengalihkan perhatian ke pilihan yang kurang dapat diandalkan dan kurang terjangkau bagi banyak orang.
Nah, kalau PBB saja sudah mengendus potensi besar kerugian pembangunan akibat ketergantungan terhadap air galon atau air kemasan, masihkah kita menertawakan analisis yang menyebutkan bahwa air galon jadi salah satu Elemen penurunan daya beli kelas menengah? Sungguh terlalu.