Flexing Lawan Ghosting

Eksis dua hal kontras yang terpampang di Siaran-Siaran headline media, Bagus media cetak, televisi, maupun daring, belakangan ini. Objek beritanya sebetulnya mirip, yang satu aparatur sipil negara (ASN) di Kementerian Keuangan, satu Kembali calon ASN di Kemendikbud-Ristek. Yang menjadi kontras ialah fakta bahwa nasib mereka 180 derajat berbeda.

Objek pertama, khususnya di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dan Ditjen Bea Cukai belakangan menjadi sorotan karena ‘kehebatan’ (sebagian) mereka menumpuk harta serta kegemaran mereka pamer kemewahan alias flexing. Bahkan terkuaklah kemudian bahwa sebagian dari mereka Mempunyai harta kekayaan yang tak sesuai dengan profil kepangkatan dan gajinya.

Sebetulnya sih mereka kaya Enggak mengagetkan. Sejak dulu, dalam pandangan awam, ‘orang pajak’ dan ‘orang bea cukai’ umumnya memang kaya-kaya lantaran gaji dan tunjangan mereka besar. Makanya dulu banyak orangtua yang berusaha keras anaknya kuliah di STAN supaya ketika lulus Pandai langsung kerja di institusi itu. Jadi, apa yang terjadi hari ini hanyalah mengonfirmasi pandangan-pandangan lawas itu.

Tetapi, tetap saja menjengkelkan ketika kita dipampangkan nilai kekayaan (sebagian) mereka yang Apabila dinominalkan jumlah nolnya Tiba 10 alias puluhan miliar rupiah. Sebesar-besarnya gaji dan tunjangan mereka, rasanya tak masuk Pikiran juga kalau mereka Pandai Mempunyai catatan harta hingga puluhan miliar tanpa Eksis pemasukan lain.

Cek Artikel:  Tak Terdapat Sisa Hati Nurani

Ambil Misalnya saja Rafael Alun Trisambodo yang kemarin baru saja dipanggil KPK Demi mengonfirmasi jumlah dan sumber hartanya. Dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang ia sampaikan ke KPK, per Desember 2021, Alun punya kekayaan sebesar Rp56,1 miliar. Luar Normal bukan? Padahal, ia ‘Hanya’ pejabat eselon III Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, lho.

Anggaplah misalnya gaji plus tunjangan dia Rp50 juta. Kalau Hanya mengandalkan pendapatan, secara matematis ia butuh waktu 90 tahun Demi mengumpulkannya hingga Rp56,1 miliar. Dari laman elhkpn.kpk.go.id, kita Pandai lihat hartanya Malah naik teramat Segera. Per 31 Desember 2019, Rafael melaporkan hartanya Rp44,2 miliar, tapi per Desember 2021 sudah melesat jadi Rp56,1 miliar. Naik Dekat Rp12 miliar Hanya dalam waktu dua tahun!

Itu juga yang tampak pada Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto yang gaya hedon dan flexing-nya kini menyusul viral di media sosial. Belakangan, aksi pamer harta dan kemewahan yang ditunjukkan Eko melalui akun Instagram @eko_darmanto_bc telah dihapus. Kemarin, ia juga dicopot dari jabatannya gara-gara kehedonannya itu. Sepatutnya Kemenkeu dan KPK segera memeriksa orang ini juga.

Cek Artikel:  Alarm untuk Demokrasi

Dua Misalnya kehidupan orang pajak dan bea cukai itu begitu kontras dengan nasib guru-guru yang mengikuti seleksi pengangkatan guru aparatur sipil negara (ASN) dengan status pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang masa depannya Lanjut digantung pemerintah. Merekalah objek kedua yang dimaksud dalam pembuka tulisan di atas.

Di Begitu orang-orang seperti Rafael atau Eko hobi flexing, para guru honorer ini malah kena ghosting. Mereka diberi Asa, tapi kemudian digantung tanpa kejelasan. Mereka sudah menjalani seleksi, tapi hingga

kini Kemendikbud-Ristek belum juga mengumumkan hasil ASN PPPK guru 2022. Dijanjikan awal Februari 2023, mundur jadi akhir Februari, tapi Tiba 28 Februari 2023 kemarin belum muncul juga rilis pengumumannya.

Entahlah kenapa nasib guru honorer itu selalu dipersulit. Padahal, mereka juga bagian Krusial dari pendidikan generasi bangsa yang mestinya mendapat tempat terhormat dan penghargaan yang layak. Memangnya murid yang diajar guru honorer ketika lulus juga diembel-embeli ‘gelar’ lulusan honorer? Kan Enggak.

Cek Artikel:  Setan pun Ingin Pensiun

Tapi nyatanya mereka ‘dihargai’ sangat murah. Saya kasih Misalnya, gaji guru SD honorer secara Biasa Hanya berkisar Rp300 ribu-Rp 1juta per bulan. Agak naik kalau dia guru SD honorer di kota-kota besar yang anggaran daerahnya besar, antara Rp1,5 juta-Rp2 juta per bulan. Gaji mereka sebulan mungkin hanya cukup Demi sekali makan siang Rafael atau Eko.

Tetapi, Demi sekadar naik kelas dan keluar dari sempitnya gaji dengan menjadi guru ASN PPPK pun sulitnya minta ampun. Digantung nasibnya, dikecewakan berkali-kali. Siapa yang tak miris dengan Realita itu?

Apa perlu mereka mencontoh kelakuan (sebagian) orang pajak dan bea cukai yang doyan flexing biar diperhatikan sama Bapak dan Ibu Menteri? Kalau flexing-nya (sebagian) orang pajak dan bea cukai memamerkan kekayaan, apa mesti guru honorer flexing memamerkan kesulitan hidup mereka? Mudah-mudahan Enggak Tiba seperti itu.

Mungkin Anda Menyukai