Tradisi Mundur Menteri Tersangka

STATUS tersangka sudah disandang selama 18 hari oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiariej alias Eddy Hiariej. Ia diumumkan sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi bersama tiga tersangka lainnya pada 9 November 2023.

Penetapan status tersangka itu diumumkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Alexander Marwata pada Kamis (9/11). Alexander mengatakan surat perintah penyidikan (sprindik) sudah ditandatangani pimpinan KPK dua pekan lalu.

Apabila status tersangka dihitung sejak diteken sprindik dua pekan sebelumnya, setidaknya sudah satu bulan Edward menyandang status tersangka. Akan tetapi, hingga kini Edward masih nyaman-nyaman saja, sama sekali tidak risih, menjalankan perannya sebagai wakil menteri hukum dan HAM.

Ia tidak malu menyandang status tersangka kemudian hadir dalam rapat kerja di Komisi III DPR pada Selasa (21/11). Kehadirannya dipersoalkan anggota hukum Benny K Harman. “Di hadapan kita ini selain Pak Menkum dan HAM ada Wamenkum dan HAM. Apa ada yang tidak tahu status beliau ini?” ujar Benny. Eddy terlihat tersenyum lebar saat mendengarkan penjelasan Benny.

Rapat kerja di DPR hakikatnya ialah rapat kerja antara parlemen dan presiden. Sesuai dengan ketentuan Tata Tertib DPR, komisi dalam melaksanakan tugasnya dapat mengadakan rapat kerja dengan presiden yang dapat diwakili menteri.

Cek Artikel:  Cemburu pada Singapura

Rapat kerja antara parlemen dan presiden yang dihadiri tersangka tentu saja menimbulkan persoalan cacat moral dan etika. Apalagi kehadiran Wamenkum dan HAM itu bisa ditafsirkan mewakili pemerintah. Karena itulah, sudah menjadi semacam tradisi selama ini, menteri langsung mundur setelah ditetapkan sebagai tersangka.

Menteri yang mundur setelah ditetapkan sebagai tersangka pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di antaranya ialah Menteri Keyakinan Suryadharma Ali, Menteri Kesehatan Siti Fadillah, Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, dan Menteri Daya dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik.

Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo terdapat sejumlah menteri yang mundur setelah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka antara lain Menteri Sosial Idrus Marham, Menpora Imam Nahrawi, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Menteri Sosial Juliari Batubara, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Elok nian bila wakil menteri mengikuti tradisi para menteri yang mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai tersangka sekalipun posisi wakil menteri bukan sebagai anggota kabinet.

Cek Artikel:  Oki dan KDRT

Keberadaan wakil menteri diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Mengertin 2008 tentang Kementerian Negara. Disebutkan bahwa dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu.

Sama sekali tidak ada penjelasan lebih rinci terkait dengan tugas wakil menteri dalam UU 39/2008.

Pengaturan lebih rinci tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Mengertin 2012 tentang Wakil Menteri, terakhir diubah dengan Perpres 77/2021. Perpres 60/2012 menyebutkan wakil menteri berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri dan ia mempunyai tugas membantu menteri dalam memimpin pelaksanaan tugas kementerian.

Eksis sembilan butir perincian tugas wakil menteri yang disebutkan pada Pasal 3 Perpres 60/2012, antara lain membantu menteri dalam proses pengambilan keputusan kementerian, membantu menteri dalam melaksanakan program kerja dan kontrak kinerja, dan memberikan rekomendasi dan pertimbangan kepada menteri berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi kementerian.

Cek Artikel:  Rindu KPK yang Dulu

Apabila kita menelaah tugas, fungsi, dan kewenangannya, jabatan wakil menteri merupakan berada satu tingkat di bawah menteri dan berada satu tingkat di atas sekretaris jenderal, inspektorat jenderal, dan direktorat jenderal.

Meski tidak ada satu aturan pun yang memaksa wakil menteri untuk mundur jika ditetapkan sebagai tersangka, eloknya jika atas kesadaran sendiri Eddy Hiariej mengundurkan diri. Jangan pula berlindung di balik asas praduga bersalah.

Kehadiran tersangka dalam rapat resmi parlemen dengan pemerintah tentu saja melanggar etika dan moral. Karena itu, jika tidak ada kesadaran untuk mengundurkan diri, sebaiknya Presiden Joko Widodo memberhentikan Eddy Hiariej dari jabatannya sebagai wakil menteri.

Tap VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, terkait dengan etika pemerintahan, mengamanatkan agar penyelenggara negara siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.

Kesadaran untuk mundur itulah yang menguap dalam diri Eddy Hiariej hingga ia ogah mengikuti tradisi mundur para menteri setelah ditetapkan sebagai tersangka.

Mungkin Anda Menyukai