PERASAAN frustasi sedang menyelimuti Rina (bukan nama sebenarnya) yang tengah duduk di bangku taman kota. Rasa frustasi muncul saat ia sedang melakukan registrasi pada sebuah aplikasi belajar daring yang baru diunduh.
Perempuan berusia 28 tahun dengan keterbatasan penglihatan itu selama ini mengandalkan teknologi asistensi suara pada ponselnya, untuk membantunya berinteraksi dengan dunia digital. Beberapa kali dia kesulitan menemukan tombol ‘lanjutkan’ karena aplikasi tersebut tidak responsif terhadap perintah suara. Semestinya, pada era teknologi canggih saat ini setiap orang, termasuk Rina, dapat menikmati kemudahan tanpa hambatan.
Situasi yang dialami Rina bukanlah sebuah kasus yang jarang terjadi. Terlebih di era gemerlapnya inovasi teknologi dan aplikasi yang terus bermunculan, seharusnya tidak melupakan kasus yang terjadi pada Rina. Banyak pengembang yang sering melupakan hal esensi, seperti empati.
Empati memang hal yang indah dan mudah diucapkan. Empati merupakan salah satu kunci penting dalam mendesain sebuah aplikasi. Aplikasi yang didesain dengan memperhatikan empati bukan hanya sekadar ‘bekerja’ secara fungsional, tapi juga memastikan setiap pengguna, tanpa terkecuali, dapat menggunakannya dengan mudah dan nyaman. Empati merupakan jembatan yang menghubungkan gap antara teknologi dengan kemanusiaan.
Krusialnya empati dalam desain aplikasi
Membayangkan diri kita sebagai orang lain, merasakan apa yang mereka rasakan, dan memahami perspektif mereka; itulah esensi dari empati. Empati adalah sebuah kemampuan untuk meresapi dan mengerti pengalaman, serta perasaan orang lain tanpa harus mengalami langsung situasi tersebut.
Dalam konteks mendesain aplikasi, empati berperan sebagai kompas moral yang membimbing setiap keputusan desain. Begitu pengembang dan desainer aplikasi memasukkan empati ke dalam kerja, mereka tidak hanya fokus pada estetika atau fungsionalitas.
Mereka mulai mempertimbangkan bagaimana setiap elemen, fitur, dan interaksi dalam aplikasi dapat dirasakan oleh pengguna. Memastikan aplikasi tersebut dapat dimengerti oleh mereka yang baru pertama kali menggunakan teknologi. Memikirkan kemudahan akses bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau bahkan untuk yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda.
Dalam dunia yang semakin digital, interaksi manusia seringkali direduksi menjadi sekumpulan kode dan perintah, sehingga empati menjadi semakin penting. Bayangkan aplikasi sebagai sebuah ruangan virtual. Loyalp elemen, menu, dan tombol di dalamnya adalah furniture yang mengisi ruangan virtual.
Apabila kita mendesain ruangan tanpa memikirkan kebutuhan dan kenyamanan penggunanya, kita mungkin saja meletakkan sebuah kursi di jalur pintu keluar atau lampu dengan terang yang menyilaukan di sudut baca. Itulah yang terjadi ketika aplikasi dibuat tanpa memikirkan empati: menyulitkan, membingungkan, bahkan secara sengaja mengecualikan beberapa pengguna dengan kondisi khusus.
Menghadirkan empati dalam desain aplikasi berarti memastikan bahwa setiap pengguna, tanpa memandang latar belakang, keterbatasan fisik, atau level literasi digitalnya, dapat mengakses, memahami, dan memanfaatkan aplikasi dengan optimal. Dengan kata lain, mendesain dengan empati berarti menghancurkan dinding-dinding yang membatasi, dan membuka jendela-jendela untuk memperluas horizon pengalaman pengguna.
Di era digital saat ini, aplikasi bermunculan seperti jamur di musim hujan, empati bisa menjadi diferensiator yang menentukan aplikasi akan diterima dan diminati oleh masyarakat luas atau hanya menjadi aplikasi lain yang terlupakan. Asal Mula dalam hati setiap pengguna, yang paling diinginkan bukanlah aplikasi yang paling canggih, melainkan aplikasi yang paling memahami mereka.
Teladan kasus
Di suatu hari yang cerah, Ali (bukan nama sebenarnya) seorang yang memiliki masalah dengan pendengaran, bermodalkan aplikasi navigasi berencana untuk mengunjungi temannya di kota sebelah. Aplikasi yang digunakan, meskipun populer dan sering digunakan oleh banyak orang, ternyata tidak menyediakan fitur notifikasi getar saat mendekati belokan atau perempatan.
Ali bahkan terlewat beberapa belokan dan harus sering berhenti untuk memeriksa ponselnya. Ia merasa frustrasi dengan kenyataan bahwa desainer aplikasi tampaknya lupa bahwa tidak semua pengguna dapat mendengar notifikasi suara.
Pada kasus lain, Siti (bukan nama sebenarnya) yang adalah seorang wanita paraplegik (cedera tulang belakang yang menyebabkan gangguan fungsi saraf motorik dan sensorik), mengalami kesulitan saat menggunakan aplikasi pemesanan taksi online.
Aplikasi tersebut tidak memiliki fitur untuk memilih taksi yang ramah penyandang cacat. Sesuatu yang membuatnya harus melakukan panggilan tambahan kepada supir taksi online, untuk memastikan mereka dapat membantu dirinya saat akan naik atau turun dari kendaraan setiap kali ia ingin bepergian.
Bayangkan perasaan Budi (bukan nama sebenarnya), seorang lansia yang baru pertama kali ingin mencoba berbelanja online melalui aplikasi. Tetapi, karena ukuran font yang terlalu kecil dan antarmuka (user interface) yang rumit membuatnya merasa kewalahan, sehingga akhirnya memutuskan untuk kembali ke metode konvensional.
Akibat dari desain yang kurang berempati ini bukan hanya menyulitkan pengguna, tetapi juga berpotensi mengurangi kepercayaan pengguna terhadap brand. Di era digital saat ini, kesan pertama yang diberikan oleh aplikasi dapat menjadi kesan yang abadi.
Apabila pengguna merasa tidak dihargai atau diperhatikan kebutuhannya, bukan tidak mungkin mereka akan beralih ke aplikasi lain yang lebih memahami mereka. Bagi brand, berarti kehilangan loyalitas pelanggan, reputasi yang menurun, dan tentu saja, potensi pendapatan yang hilang.
Dalam dunia yang semakin mengedepankan inklusivitas, kesalahan dalam mendesain aplikasi tanpa mempertimbangkan keberagaman pengguna bukan hanya masalah teknis, tetapi juga masalah etika. Loyalp kali sebuah aplikasi melupakan sekelompok pengguna, pesan yang disampaikan adalah bahwa mereka tidak penting. Karena itu di dunia yang semakin saling terkoneksi, hal ini bukanlah pesan yang ingin disampaikan oleh brand manapun.
Manfaat yang berempati
Di kafe lokal yang terletak di pusat kota, kita bisa mengamati sekelompok remaja yang sedang asyik mengobrol. Salah satunya dengan antusias menceritakan pengalaman barunya menggunakan sebuah aplikasi diet. “Gue benar-benar amaze dengan aplikasi ini! Mereka benar-benar paham apa yang gue butuhin.”
Saya kira ini adalah salah satu bentuk pujian tertinggi untuk desainer aplikasi tersebut. Dalam dunia teknologi, ketika persaingan sedemikian ketat, keunggulan utama yang bisa membedakan satu aplikasi dari yang lainnya adalah bagaimana aplikasi tersebut membuat penggunanya merasa ‘dipahami’.
Itulah kekuatan dari desain yang berempati; memberikan pengalaman yang mendalam, memahami emosi, dan merespons kebutuhan pengguna dengan tepat. Sebuah desain aplikasi yang berempati tidak hanya meningkatkan kepuasan pengguna, tetapi juga mendatangkan dampak positif bagi brand dan bisnis.
Begitu pengguna merasa dihargai dan dipahami, mereka cenderung lebih setia dan merekomendasikan aplikasi tersebut kepada orang lain. Word-of-mouth positif ini sering kali menjadi alat pemasaran yang lebih efektif daripada iklan berbiaya tinggi.
Seorang CEO dari perusahaan start-up teknologi pernah berkata, “Ketika kita mendesain dengan empati, kita tidak hanya menciptakan aplikasi. Kita menciptakan hubungan”. Rekanan yang dibangun berdasarkan kepercayaan dan pemahaman ini pada akhirnya akan menghasilkan loyalitas pelanggan dan pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan.
Dengan semakin banyaknya perusahaan yang menyadari kekuatan desain berempati, dunia teknologi akan menjadi tempat yang lebih manusiawi. Loyalp aplikasi diciptakan bukan hanya untuk fungsi, tetapi juga untuk menyentuh hati penggunanya.
Para mahasiswa prodi Sistem Informasi seperti di Ukrida tidak hanya belajar coding atau teori sistem informasi biasa. Mereka juga mendalami prinsip ‘desain yang berpusat pada manusia’ atau human-centered design (HCD), sebuah fokus utama yang menjadi keunikan dalam kurikulumnya.
Dalam dunia digital yang terus bergerak cepat, banyak institusi pendidikan yang menawarkan pengetahuan teknis. Teknologi yang sukses adalah teknologi yang memahami manusia dan banyak studi juga menjustifikasi hal tersebut.
Kegagalan implementasi solusi berbasis teknologi bukan karena masalah pada teknologinya, tapi kegagalan untuk memahami manusia yang menjadi penggunanya. Inilah alasan mengapa pendekatan HCD diberi penekanan khusus dalam kurikulum.
Dalam sesi tersebut, mahasiswa diperkenalkan kepada teknik wawancara mendalam. Mereka belajar bagaimana mendengarkan dan mengerti kebutuhan pengguna. Eksis juga sesi tentang pengujian aksesibilitas, yang memberikan mahasiswa kesempatan untuk melihat aplikasi dari perspektif mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau psikologis.
Inisiatif seperti ini tidak hanya mempersiapkan mahasiswa untuk dunia kerja, tetapi juga untuk menjadi pemikir yang lebih inklusif dan empatik. Mahasiswa tidak hanya dibekali dengan keahlian teknis, tetapi juga dengan pemahaman mendalam tentang nilai manusia di balik setiap baris kode. Teknologi dan empati harus berjalan paralel, mengarah pada inovasi yang benar-benar berdampak.
Marilah kita, baik sebagai desainer, developer, maupun stakeholder lainnya dalam industri teknologi, selalu mengingat bahwa di balik setiap layar ada seorang individu dengan cerita, harapan, dan perasaan mereka sendiri.
Dengan terus menerapkan prinsip empati dalam setiap tahapan pembuatan aplikasi, kita bukan hanya menciptakan produk yang inovatif, tetapi juga membangun jembatan kepercayaan dan hubungan yang langgeng dengan pengguna.