Wakanda No More

PARA penggemar Marvel Cinematic Universe pasti kenal betul dengan Wakanda. Sebuah negeri kerajaan yang digambarkan terletak di Afrika Sub-Absahara dengan dikelilingi pegunungan dan hutan lebat. Wakanda ialah kampung halaman Black Panther, satu-satunya superhero ciptaan Marvel yang berasal dari Benua Afrika dan berkulit hitam.

Meski dikesankan primitif, kehidupan di negeri ini sesungguhnya sangat maju. Wakanda dikisahkan merupakan salah satu negeri dengan teknologi paling maju di muka bumi berkat tanahnya yang menyimpan berlimpah kandungan unsur vibranium. Konon, vibranium merupakan logam terkuat di bumi.

Sejatinya, baik Black Panther, Wakanda, maupun vibranium hanyalah fiksi semata. Hanya tokoh, negara, dan logam rekaan yang diciptakan para pekerja superkreatif di semesta Marvel. Tetapi, karena saking populernya komik dan film Black Panther, istilah-istilah itu, terutama Wakanda, menjadi sangat akrab di telinga kebanyakan orang dan menjelma menjadi seolah-olah nyata, tak sekadar fiksi.

Fenomena itu juga melanda Indonesia. Tetapi, di Indonesia barangkali memang paling unik dan menarik. Entah dari mana dan kapan munculnya, Wakanda tiba-tiba kerap dipakai warga dan warganet Tanah Air sebagai pengganti kata Indonesia di unggahan-unggahan mereka yang bernada kritik terhadap kerja pemerintahan ataupun perilaku pejabat publik.

Cek Artikel:  Menolak Sembrono

Istilah Wakanda ditengarai digunakan untuk menyamarkan objek kritikan demi menghindari jerat hukum yang mungkin saja muncul. Sebutlah contoh, kita semua tahu betapa superiornya UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang bisa dengan mudah menggigit para pengkritik melalui pasal-pasal karetnya.

Boleh jadi tak cuma UU ITE, barangkali banyak aturan lain yang bisa dipakai untuk membungkam kritik yang dilontarkan secara blak-blakan. Belum lagi ancaman intimidasi yang juga acap dilakukan oleh aparat atau kelompok pendukung penguasa. Karena itu, wajar kalau kemudian di antara kritik-kritik itu muncul kreativitas publik menyamarkan Indonesia dengan istilah Wakanda yang kebetulan memang sedang populer.

Akan tetapi, di sisi lain harus diakui itu fenomena yang meresahkan. Yang kita tahu, Indonesia masih negara yang menganut sistem demokrasi, tapi kok bisa sampai rakyatnya merasa ngeri untuk sekadar menyampaikan pendapat yang mungkin berseberangan dengan penguasa?

Cek Artikel:  Kotak Nihil Vs Koalisi 80 Plus

Kita juga tidak sedang dipimpin penguasa otoritarian, tapi kenapa warganya sampai mesti memasang self-censorship yang teramat ketat sebelum memberikan kritik? Bahkan nama negaranya sendiri harus disamarkan dengan nama negara fiktif.

Dalam konteks ideal, sistem yang demokratis semestinya mengedepankan keterbukaan, kebebasan berbicara, dan kepercayaan publik. Sebaliknya, kalau mengandalkan rasa takut masyarakat untuk menjalankan dan mengendalikan kekuasaan, itu namanya sistem otoritarianisme, hanya rezim otoriter yang melakukan itu.

Keresahan soal penggunaan istilah Wakanda, juga Konoha (ini juga diambil dari kisah fiksi, nama sebuah desa di cerita anime Naruto) itu sebetulnya sudah berulang kali disampaikan oleh calon presiden Anies Baswedan dalam beberapa kali kesempatan, bahkan sebelum masa kampanye pemilu dimulai.

Tetapi, gongnya terjadi pada debat capres Pemilu 2024 seri pertama, Selasa (12/12) malam lalu. Di situ, dalam pernyataan pemungkas debat, Anies kembali menyentil soal kian luruhnya kebebasan berpendapat dan rasa takut masyarakat yang semakin besar. Ia pun, lagi-lagi, menyinggung soal istilah Wakanda.

Cek Artikel:  Berkaca dari Argentina

Menariknya, Anies memlesetkan gestur dan jargon Negeri Wakanda yang populer di film Blak Panther, yaitu ‘Wakanda Forever’. Sembari membuat gerakan tangan menyilang di depan dada, Anies mengatakan,”Wakanda no more“. Sesaat kemudian, dengan mengangkat kedua tangan dengan telunjuk mengacung, ia melanjutkan, “Indonesia forever.”

Pesan yang bisa kita tangkap, publik mestinya tak perlu takut lagi untuk berbicara dan menyampaikan pendapat. Tak perlu lagi mengganti kata Indonesia dengan kata ganti Wakanda atau Konoha atau istilah apa pun untuk tujuan menyamarkan. Sudah seharusnya demokrasi dikembalikan ke jalur yang benar, jalur yang membuka ruang seluas-luasnya partisipasi dan pendapat publik.

Tiba hari ini, satu capres sudah menjamin itu. Publik berharap jaminan yang sama juga diberikan oleh dua capres lain, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo sehingga siapa pun pemenang kontestasi Pilpres 2024 nanti dan menjadi pemimpin bangsa, kebebasan berpendapat dan berekspresi publik betul-betul dapat dijunjung tinggi.

Mungkin Anda Menyukai