Menjaga Pilpres dari Perilaku Curang

TEPAT kiranya pengibaratan yang disampaikan calon wakil presiden Muhaimin Iskandar bahwa Pemilu 2024 serupa dengan pertandingan sepak bola. Pas pula dia meminta masyarakat mencermati jalannya pemilu agar sesuai dengan ketentuan.

Pemilu dan sepak bola sama-sama kompetisi yang menyedot atensi dan sangat berarti. Sebagai sebuah kompetisi, sepak bola dan pemilu diatur beragam regulasi. Meski begitu, potensi terjadinya pelanggaran, kecurangan, akal-akalan, sangat mungkin terjadi. Sekalian demi menggapai kemenangan, meski terkadang sampai harus mencederai fair play.

Sepak bola tak lantas steril dari kecurangan kendati sudah ada wasit dan pengawas pertandingan. Sebaik apa pun penyelenggara, seprofesional apa pun badan yang menaungi kompetisi, celah pelanggaran juga tetap terbuka. Karena itulah, perlu pengawas lain yakni penonton untuk menunjukkan wasit netral atau berpihak, penyelenggara imparsial atau parsial, pemain bermain fairatau curang.

Cek Artikel:  Krisis Muruah Lembaga Antirasuah

Pun demikian dengan pemilu. Sebaik apa pun penyelenggara yakni Komisi Pemilihan Biasa (KPU) dan pengawas yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pelanggaran dan kecurangan tetap menjadi ancaman. Apalagi kalau KPU dan Bawaslu kurang baik.

Senetral apa pun orang yang paling bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemilu yakni presiden, kecurangan tetap mengkhawatirkan. Terlebih jika presiden tidak netral, jika orang nomor satu di negeri ini tersebut punya keberpihakan.

Sudah baikkah KPU dan Bawaslu? Harus kita katakan belum sepenuhnya. Bawaslu, misalnya, masih penyakitan standar ganda. Dalam beberapa kasus, mereka reaktif, gesit, menyikapi pelanggaran oleh calon tertentu, tetapi seolah cacat netra ketika kandidat lain melakukan hal yang sama. Mereka tegas menindak pelanggaran oleh calon yang tak dekat dengan penguasa, tetapi amnesia kepada kontestan dukungan penguasa.

Cek Artikel:  Adu Baliho Ganjar-Prabowo Rebutan Jokowi

Sudah netralkah kepala negara? Secara verbal, Presiden Jokowi memang kerap kali menegaskan hal itu. Akan tetapi, sulit dibantah, mustahil disangkal, realitas yang ada berkebalikan. Jokowi bilang tak cawe-cawe, tetapi beberapa kali dia memperlihatkan cawe-cawenya.

Satu lagi, bagaimana mungkin Presiden akan benar-benar netral jika keluarganya ikut menjadi kontestan? Bagaimana bisa rakyat merenda asa semua akan baik-baik saja jika proses pencalonan sang putra sulung kesayangan, Gibran, sebagai wakil presiden saja tak baik?

Pemilu, utamanya pilpres, telah menapaki tahap menentukan yakni penentuan nomor urut pasangan calon. Tahap-tahap selanjutnya akan lebih krusial, kecurangan dan pelanggaran pun lebih berpeluang.

Pada konteks itulah kita lagi-lagi mendesak para penanggung jawab tak lagi melukai tanggung jawabnya. Kita meminta Presiden, pemerintah, dan seluruh perangkatnya netral dalam arti sebenarnya, bukan katanya netral tapi sebenarnya tak netral.

Cek Artikel:  Kabinet Gembrot

Kita juga mengingatkan para pemain untuk bermain sportif, tidak curang, tidak semaunya. Yang tak kalah penting, kita mengajak masyarakat lebih peduli mengontrol penyelenggaraan setiap tahapan pemilu. Sebar luaskan jika ada kecurangan. Viralkan kalau ada pelanggaran. Jangan sandarkan sepenuhnya pengawasan kepada lembaga pengawas. Jadilah penonton yang berani bersuara, yang sigap berteriak, terhadap ketidaknormalan jalannya pertandingan.

Sama seperti sepak bola, kalah menang biasa dalam pemilu. Tetapi, jika kemenangan diraih dengan segala cara, kalau kekalahan diderita karena kecurangan, kita khawatir pemilu akan berkesudahan dengan kekacauan. Di situlah demokrasi dipertaruhkan.

Mungkin Anda Menyukai