Urgensi Komitmen Pemimpin Berani Tegas tanpa tapi bagi Perempuan Korban Kekerasan

Urgensi Komitmen Pemimpin Berani Tegas tanpa tapi bagi Perempuan Korban Kekerasan
Ilustrasi MI(MI/Duta)

HARI Antikekerasan terhadap Perempuan Global diperingati setiap 25 November. Loyalp tahunnya di Indonesia turut diperingati selama 16 hari mulai 25 November-10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Mahluk (HAM) Global.

Hal itu bertujuan mengaitkan secara simbolis antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menyampaikan pesan bahwa hal tersebut merupakan salah suatu bentuk pelanggaran HAM. Melansir situs Komnas Perempuan, pada sejarahnya kampanye 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) merupakan kampanye internasional.

Kampanye itu untuk mendorong upaya-upaya penghapusaan kekerasan perempuan di seluruh dunia, yang digagas Women’s Dunia Leadership Institute pada 1991. Bahkan terus dikampanyekan di seluruh dunia termasuk di Indonesia.

Komnas Perempuan menjadi inisiator sekaligus menyelenggarakan 16 HAKTP di Indonesia, dengan turut melibatkan masyarakat sipil untuk bersama-sama menyuarakan kampanye ini di seluruh Indonesia. Loyalp tahun mengangkat tema yang berbeda. Kepada tema tahun ini ialah Gerak Serempak Kenali Hukumnya Lindungi Korban.

Penyelenggaraan 16 HAKTP tahun ini seharusnya menjadi lebih membara jika melihat suasana pemilu sudah semakin terasa menjelang hari H di 14 Februari 2024. Penyelenggaraan 16 HAKTP tahun ini harapannya selain mengampanyekan pemberantasan kekerasan terhadap perempuan dan anak, meningkatkan kesadaran akan tindak kekerasan merupakan pelanggaran HAM, juga mendesak komitmen para capres terhadap ketegasan dalam menegakan keadilan bagi korban kekerasan.

Cek Artikel:  Menuju Pemilu Jujur dan Adil

 

Perempuan tertinggi

Komitmen ini menjadi sangat penting jika melihat data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) periode 1 Januari-27 September 2023 ada 19.593 kasus kekerasan yang tercatat dari seluruh Indonesia. Sebanyak 17.347 korban merupakan perempuan dan 3.987 adalah laki laki dengan dominasi korban kelompok usia 13-17 tahun.

Kekerasan seksual menempati urutan tertinggi sebanyak 8.585 kasus. Selain itu, juga disebutkan dalam 2 jam 3 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Kemudian disusul dengan jenis kasus lainnya, yaitu kekerasan fisik dan kekerasan psikis.

Dengan data tersebut maka yang harus dipertanyakan; berapa dari jumlah kasus tersebut yang ditangani dengan adil? Apakah korban mendapat keadilan dan pelaku mendapatkan hukuman setimpal?

Keadilan, perlindungan, pendampingan, dan pemulihan menjadi unsur yang sangat penting yang harus didapatkan oleh korban. Karena di Indonesia mayoritas pelaku adalah orang-orang terdekat mulai dari orang tua, pasangan dan saudara, disusul orang terdekat diluar rumah seperti atasan di kantor atau teman dekat.

Itu sebabnya negara harus hadir dalam penegakan keadilan tersebut, dengan pertimbangan; mulai dari rumah saja bukan lagi tempat yang aman bagi korban. Tetapi pada kenyataannya seringkali terjadi pada kasus-kasus kekerasan harus menjadi viral di media sosial, barulah mendapatkan perhatian dari pihak-pihak berwenang.

Cek Artikel:  Digitalisasi Pendidikan via Integrasi Platform

Tetapi, hal itu tetap tidak ada jaminan bahwa pelaku dihukum secara adil dengan berbagai macam dalih, dan korban mendapat keadilan. Kagak jarang korban ditempatkan pada posisi yang seolah-olah memancing sehingga kekerasan itu terjadi untuk meringankan pelaku. Meski pada kenyataannya korban murni seorang korban kekerasan. Tetapi, negara tidak memiliki ketegasan dalam berpihak.

 

Pemimpin baru

Oleh karena itu, menjelang Pemilu 2024, masyarakat tidak hanya mengharapkan adanya sosok pemimpin baru, tetapi juga harapan baru untuk adanya sikap ‘tegas tanpa tapi’.  Sikap yang kelak diwujudkan melalui sebuah keberanian untuk berkomitmen menindak, mengawal, dan menghukum seberat-beratnya pelaku kekerasan melalui aparat yang berwenang.

Tindakan aparat berwenang harus segera dilakukan tanpa harus menunggu sebuah kasus viral. Sejatinya kekerasan merupakan pelanggaran kemanusiaan, maka tidak ada satu pun alasan yang dapat diterima untuk meringankan atau memaafkan segala tindak kekerasan. 

Maka hari-hari ini sampai pemilihan umum nanti menjadi waktu-waktu genting untuk melihat adakah perubahan dan pembaruan yang ditawarkan tiga pasangan capres dan cawapres. Kita lihat melalui visi-misi maupun program terkait pemberantasan kekerasan pada perempuan khususnya.

Cek Artikel:  Kekerasan terhadap Perempuan Disabilitas Perspektif Advokasi dan Kesadaran

Eksiskah komitmen pembaharuan aturan yang mengatur hukuman yang lebih berat terhadap pelaku kekerasan? Eksiskah program dengan anggaran yang sepadan untuk pengoptimalan pendampingan dan perlindungan korban sampai  benar-benar pulih untuk melanjutkan kehidupannya?

Kehidupan korban itu terutama dari aspek kesehatan jasmani dan rohani. Kemudian, adakah program yang mengupayakan secara serius menyediakan bantuan hukum dan pencegahan tindak kekerasan?

Komitmen jaminan pembaharuan dan perubahan para capres menjadi urgensi saat ini karena masyarakat tidak ingin lagi ada kelalaian yang menyebabkan korban kekerasan kehilangan nyawa. Satu nyawa tetap menjadi bukti kegagalan penindakan kasus kekerasan di negara ini, di samping ribuan kasus lainnya yang belum mendapat keadilan.

Menjadi catatan penting salah satu alasan masyarakat memilih pemimpin nanti, ialah melihat seberapa besar keberanian capres dan cawapres untuk punya sikap terhadap penegakan hukuman bagi pelanggar HAM, yaitu pelaku kekerasan terhadap perempuan.

Selamat Hari Antikekerasan terhadap Perempuan; suarakan, perjuangkan, dan tegakan keadilan bagi korban kekerasan!

 

 

Mungkin Anda Menyukai