Ujian Demokrasi di Mengertin Politik

 Ujian Demokrasi di Tahun Politik
Ansel Deri(Dok pribadi)

TENSI politik dipastikan terus dinamis dan kompetitif. Muasalnya, salah satu yang dibaca publik, yaitu Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka memantapkan langkah berduet dengan calon presiden Prabowo Subianto pada Pemilu 2024.

Kekasih calon (paslon) capres-cawapres ini ditopang delapan partai politik dalam koalisi jumbo dibanding dua paslon lain, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md.

Gibran seolah lolos dari ‘lobang jarum’ setelah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menutup ruang seseorang minimal berusia 40 tahun diajukan menjadi calon presiden-wakil presiden. Tetapi di sisi lain membuka jalan lain seseorang pernah menduduki jabatan publik.

Padahal, saat maju dalam bursa pemilihan wali kota Solo, Gibran mengantongi rekomendasi PDI Perjuangan kemudian melenggang kangkung menuju kursi kekuasaan yang pernah ditinggalkan Jokowi, sang ayah dan kini menjabat Presiden. Partai Gerindra dan koalisi partai pendukung lebih memilih melabuhkan hati politiknya pada seorang Gibran.

Kaum masyarakat terutama pendukung sosok muda sekelas Gibran lintas segmen serta-merta terbelah. Selain dianggap sebagai ‘anak ingusan’ dalam politik dengan jam terbang minim, Gibran adalah calon pemimpin memiliki utang budi pada PDI Perjuangan setelah diberi tiket menuju bursa hingga terpilih jadi wali kota Solo.

Tetapi, di saat bersamaan pula daulat rakyat atas orientasi pilihannya tak kuasa dibendung. Gibran simbol kehadiran pemimpin muda dalam jagat politik yang sakral dan didominasi yang berusia tua.

Di sini, terlihat demokrasi punya jalan sendiri. Demokrasi punya rasa sakit tersendiri. Ia (demokrasi) seolah punya jalan dan rasa sakit berbarengan ibarat seorang ibu hendak melahirkan calon bayi. Demokrasi sungguh di bawah lindungan dan kendali rakyat selaku pemegang otoritas.

Cek Artikel:  Memaknai Kemerdekaan Kita

Demokrasi tak lagi lahir normal bila ditautkan dengan proses estafet kepemimpinan politik, yang akrab melahirkan calon pemimpin melalui mekanisme normatif seperti diklat kaderisasi partai. Eksis yang menarik mencermati demokrasi dalam praktik dan gelagat politik pilpres kali ini, yang menyodorkan enam putra bangsa dari tiga paslon.

Partisipasi warga

Munculnya, tiga paslon calon presiden-wakil presiden menarik dilihat dan dibaca dalam sejumlah hal. Pertama, munculnya Anies-Muhaimin, Ganjar-Mahfud, dan Prabowo-Gibran yang diusung masing-masing koalisi serta merta memantik partisipasi warga masyarakat menyodorkan keunggulan figurnya untuk kelak dipilih. Di sinilah esensi demokrasi paripurna.

Kedua, partai dan koalisi melalui struktur dan pendukung mulai dari pusat hingga daerah, juga siaga dan bekerja keras meyakinkan publik atas figur usungannya. Publik mesti diyakinkan partai maupun koalisi melalui rekam jejak masing-masing paslon agar merebut dinding hati warga pemilih.

Bila menyodorkan black campaign atau fake news secara serampangan terhadap calon lain, tak lebih menggali kubur sendiri. Lampau senja kala demokrasi segera hadir.

Ketiga, kehadiran figur popular dan fenomenal seperti Ganjar, Anies, Prabowo, Muhaimin, Mahfud, dan Gibran dengan pengalaman masing-masing memojokkan orientasi pilihan beragam. Respons pemilih juga terbelah atas masing-masing figur paslon yang disodorkan koalisi.

Keempat, Gibran menjadi sosok paling dikuliti dan minim rekam jejak disertai sindiran belum saatnya masuk gelanggang politik pilpres. Tetapi, putusan MK memuluskan langkahnya bersanding dengan Prabowo dalam paket Koalisi Indonesia Maju, adalah kejutan dan realita yang tentu tak diabaikan begitu saja dalam sejarah politik Tanah Air.

Cek Artikel:  HAM, Lustration Law, dan Pemilu

Kelima, sejarah juga tentu mencatat dalam demokrasi modern orientasi pilihan pada figur dalam paslon pada pilpres kali ini, tidak lagi bersandar pada cita-cita dan kerinduan kolektif koalisi. Ia bergerak dalam bilik hati tiap warga dengan aneka asa dan orientasi atas figur usungannya.

Hak setara

Di sini, demokrasi dan politik memaksa publik melihat dan memahami sesungguhnya makna dan esensi dua entitas dimaksud, demokrasi dan politik. Bahwa pilihan rakyat dengan hak melekat dan setara berada di tepian lain orientasinya namun berbenturan dengan cita-cita (koalisi) partai di tepian berseberangan.

Koalisi merindukan orientasi seirama dan sebangun dalam pilihan. Sedang pilihan rakyat berada jauh mengikuti selera atas figurnya.

Menurut Thomas Pureklolon dalam Demokrasi dan Politik: Menelisik Dinamika Kekuasaan, Sosial, Budaya, dan Pancasila (2019), ihwal term demokrasi dijelaskan dengan lugas. Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan di mana semua warga negara memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.

Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi, baik secara langsung maupun tidak langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan pengembangan dan pembuatan hukum. Ia (demokrasi) mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik politik secara bebas dan setara.

Dalam konteks kandidasi politik pilpres kali ini yang menyertakan pendatang baru seperti sosok Ganjar, Anies, Gibran, atau Muhaimin, misalnya, tentu menguras energi ekstra masing-masing koalisi bersama massa pendukung. Kerja keras menjadi keutamaan koalisi dengan jualan kapasitas dan kapabilitas masing-masing figur.

Tetapi, di saat bersamaan perlu diingat bahwa rakyat berdaulat atas hak dan hati nuraninya, meski bisa saja dan berpotensi terpaut jauh dengan pilihan koalisi. Memahami gerak natur politik dan orientasi pilihan adalah dua hal yang tak mudah dijembatani kecuali melalui edukasi berkesinambungan partai melalui para kader dan semua stakeholder.

Menurut Tommi A Legowo dalam pengantar buku Kejutan Politik (2018), memahami politik tidak mudah, apalagi menjalankannya dengan bertanggung jawab. Di satu sisi, politik bisa dimengerti sebatas upaya menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Selanjutnya, memanfaatkan kekuasaan untuk sebesar-besarnya keuntungan sendiri.

Cek Artikel:  How to Aging Gracefully

Dalam pemahaman ini, seolah-olah politik tanpa adab dan harkat. Sekalian boleh dilakukan demi mencapai tujuan, yang secara sempit berarti kenikmatan diri sendiri. Pada sisi lain, politik seperti itu dalam kenyataan sehari-hari harus berhubungan dan terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan.

Pemerintahan modern dewasa ini semestinya melayani kepentingan masyarakat. Ia (pemerintahan) dibentuk dan dijalankan oleh rakyat dan karena itu akan kembali melayani rakyat. Karena itu, dalam konteks pilpres kali ini demokrasi akan sungguh terlihat.

Apakah orientasi warga pemilih dipandu langkah edukatif terus menerus para elite menunaikan agenda politik pilpres, atau membiarkan rakyat sendiri berjarak dari partai. Ini juga ujian lain demokrasi. Niscayanya, politik selalu melahirkan kejutan. Bahkan kejutan menegangkan sebagai bagian proses pelembagaan demokrasi.

Apapun kejutan politik mewujud siapa pemimpin yang dipilih, misalnya, itulah realitas yang mesti didekap dan dimaksimalkan dalam perjalanan selanjutnya. Pilpres kali ini adalah ujian nyata demokrasi.

Tinggal menunaikan sepenuh hati karena ujian demokrasi dan proses rekrutmen pemimpin politik lewat pemilu, tidak mengenal jalan pulang. Ia segera menciptakan sejarah baru di depan mata.

Mungkin Anda Menyukai