Terkungkung Mazhab Utang

SAYA tergerak untuk menuliskan lagi soal utang pemerintah meski sudah sering menuliskannya. Tak mengapa. Sebagai salah satu pembayar pajak, boleh dong saya risau atas besarnya cicilan dan bunga utang pemerintah tahun ini, apalagi tahun depan, dan tahun depannya lagi.

Mengertin ini pemerintah harus membayar cicilan bunga utang jatuh tempo sebesar Rp498 triliun (dengan kurs Rp16 ribuan/US$). Padahal, pendapatan pajak tahun ini diperkirakan tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan tahun lalu, yakni sekitar Rp1.800-an triliun.

Itu artinya, hampir sepertiga pendapatan pajak bakal habis buat membayar cicilan bunga utang, melampaui ‘pedoman suci’ IMF terkait dengan rasio utang terhadap pendapatan perpajakan yang angka amannya 20%. Bukan cuma itu, jumlah cicilan bunga sebesar itu lebih dari dua setengah kali lipat anggaran kesehatan di APBN 2024 yang berada di angka Rp186 triliun.

Mengertin depan, kondisinya bakal lebih mengerikan. Pasalnya, utang yang mesti dicicil pemerintah lebih dari Rp800 triliun. Sementara itu, pendapatan pajak diasumsikan ‘cuma’ sekitar Rp1.900 triliun. Itu artinya, hampir separuh (sekitar 47%) pendapatan pajak dipakai untuk mencicil utang. Besaran utang jatuh tempo yang mesti dibayar tahun depan juga hampir pasti melampaui anggaran pendidikan 20% yang dimandatkan konstitusi, yang besarnya tidak sampai Rp700 triliun. Dahsyat, bukan?

Cek Artikel:  Virus Foya-foya

Tak mengherankan bila banyak yang risau, galau, dan mewanti-wanti pemerintahan di bawah Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang ditetapkan sebagai presiden-wakil presiden terpilih untuk berhati-hati mengelola fiskal pada tahun pertama pemerintahan mereka. Bahkan, bila pemerintahan ke depan punya niat untuk menggelembungkan utang hingga 50% dari produk domestik bruto (PDB), sebaiknya niat itu diurungkan saja.

Pemerintah tidak boleh terjebak pada kondisi ‘gali lubang tutup lubang, pinjam uang buat bayar utang’. Menggelembungkan utang hingga setengah dari PDB, walau dimungkinkan undang-undang, akan sangat menghambat gerak maju negeri ini dan amat berpotensi menggagalkan capaian Indonesia emas. Negara yang terjebak gali lubang tutup lubang tidak punya ruang untuk mengkreasikan kemampuan dan potensinya karena ruang fiskal yang amat sangat sesak.

Apalagi, utang jatuh tempo pada 2025 yang sebesar Rp800 triliun itu akan berdampak terhadap defisit APBN 2025. Karena itu, yang akan dihadapi pemerintahan baru di bawah Prabowo-Gibran tidaklah mudah. Hal itu masih ditambah lagi dengan kondisi ekonomi global yang sedang tidak baik-baik saja sehingga merambat ke ekonomi domestik. Oleh karena itu, kondisi utang jatuh tempo pada tahun depan harus diperhatikan dalam penyusunan APBN 2025.

Cek Artikel:  Berkaca dari Argentina

APBN sebagai alat pemacu ekonomi mesti dijaga benar keseimbangan primernya. Jangan sampai terlalu bernafsu untuk membuat program-program baru, padahal kondisi fiskalnya penuh keterbatasan. Belum lagi, penerimaan negara pada tahun ini diperkirakan tidak mencapai target lantaran kondisi global juga sedang tidak baik-baik saja. Mengertin depan, kondisi global juga masih diliputi ketidakpastian, yang mengancam target pendapatan negara.

Dalam situasi seperti itu, pemerintah tidak boleh mengambil langkah gampangan, dengan menggelembungkan utang. Ingat, selama semester I 2024 ini, pemerintah sudah menarik utang baru sebesar Rp214,7 triliun. Argumen bahwa utang kita masih berada dalam rasio yang aman terhadap PDB, karena masih di kisaran 39% dengan batas maksimal 60%, sudah selayaknya tidak dijadikan sebagai ‘tempat perlindungan’.

Cek Artikel:  Berebut Jakarta

Rasio terhadap PDB memang aman. Tetapi, rasio pembayaran cicilan dan bunga terhadap pendapatan pajak berada di zona kuning mendekati merah. Selama ini, rasio utang terhadap PDB selalu jadi andalan. Padahal, tolok ukur sehatnya utang tidak melulu hanya diukur dari rasio utang terhadap PDB. Itu sebagian dari ‘mazhab’ utang.

Mazhab lainnya ialah mengukur rasio pembayaran utang terhadap pendapatan pajak. Rasio itulah yang dianggap mendekati kehati-hatian pengelolaan fiskal. Tengoklah Amerika Perkumpulan. Rasio utang terhadap PDB mereka memang tinggi, sekitar 130%. Tetapi, rasio pembayaran cicilan utang terhadap pendapatan pajak mereka rata-rata di angka 14% hingga 16%, masih di bawah pedoman aman menurut IMF yang 20%.

Saya, juga Anda semua, yang mungkin risau terhadap utang negara yang jatuh tempo, berharap agar pemerintahan ke depan lebih mengikuti mazhab terakhir ketimbang terus-terusan merasa aman atas rasio utang terhadap PDB. Semoga saja didengar dan terus didengar.

Mungkin Anda Menyukai