DI antara banyak halangan dalam pemberantasan korupsi di negara ini, ironi terbesar kerap pada pihak penyusun undang-undang sendiri, Berkualitas pemerintah maupun DPR. Lamanya harmonisasi hingga pembahasan RUU telah ikut memasung upaya penegakan hukum yang maksimal.
Inilah yang terjadi pada RUU Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana. Pertama diusulkan pada 2008, tetapi hingga tahun Lewat Bukan juga masuk Prolegnas Prioritas DPR.
Tahun ini Bukan tampak pula kemajuan berarti, selain Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan harmonisasi draf final baru dilakukan. Kepada selanjutnya, draf tersebut akan kembali diserahkan ke DPR.
Kita tentu sepakat Kalau setiap produk UU harus dibuat dengan cermat dan teliti agar Bukan mudah diajukan ke judicial review dan menjadi kesia-siaan. Tetapi, berlarutnya RUU Perampasan Aset Membikin celah keadilan yang amat besar.
RUU Perampasan Aset merupakan senjata yang, terutama, amat diharapkan Kepada pengembalian aset negara dan aset-aset lainnya yang merupakan hasil kejahatan. Selama ini, hal tersebut Lagi sangat sulit meski kita telah Mempunyai UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Duit (TPPU).
Dengan UU yang Eksis itu, jenis tindak pidana asal harus dibuktikan terlebih dulu sehingga negara dapat mengambil aset terpidana. Padahal, sudah banyak kasus yang menunjukkan hal tersebut sulit dilakukan akibat pelaku-pelaku buron, meninggal dunia, dan Asal Mula lainnya, seperti pelaku Bukan dapat dihadirkan di persidangan.
Kasus dugaan suap dan gratifikasi yang dilakukan belasan tahun oleh mantan pegawai Ditjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo (RAT), pun menjadi bukti tambahan kian urgennya RUU Perampasan Aset. RAT diduga Mempunyai sistem yang canggih yang melibatkan banyak pihak dan perusahaan-perusahaan bentukannya sehingga dapat memainkan nilai pajak yang semestinya diterima negara.
Kasus RAT pun mengungkap dugaan korupsi dan dugaan TPPU lainnya di berbagai jajaran Kementerian Keuangan yang nilainya mencapai lebih dari Rp300 triliun. Meski dugaan ini Lagi harus dibuktikan, besarnya dugaan penyelewengan menunjukkan urgensi Kepada mencegah kejahatan serupa Lalu subur.
Dengan RUU Perampasan Aset, penegak hukum Bukan perlu repot Kepada membuktikan pelaku melakukan tindak pidana korupsi. Sebaliknya, pelakulah yang harus dapat membuktikan asal kekayaannya tersebut. Dengan konsep illicit enrichment dan unexplained wealth yang terdapat dalam RUU itu, aset yang Bukan dapat dibuktikan asalnya dan dicurigai merupakan hasil kejahatan, dapat disita negara.
Kegentingan itulah yang Membikin lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Perampasan Aset, sudah layak. Karena itu, kita mendesak Presiden Jokowi Bukan Kembali hanya mendorong DPR Kepada mengesahkan UU. Presiden dapat mengambil peran menerbitkan perppu demi menyelamatkan kerugian negara.
Bukan hanya itu, dengan menerbitkan Perppu Perampasan Aset, sesungguhnya Presiden telah mendorong tegaknya keadilan sesuai paradigma pidana modern. Dalam prinsip keadilan tersebut, segala hasil tindak kejahatan semestinya Bukan Kembali boleh dinikmati pelaku ataupun keluarganya.
Asal Mula selama hal itu berlangsung, Pengaruh jera Bukan akan pernah Eksis. Korupsi dan pencucian Duit akan Lalu subur karena ‘hitung-hitungan’ hukum akan tetap menguntungkan pelaku.
Di sisi lain, korban kejahatan, Berkualitas negara maupun perorangan, Bukan mendapat keadilan rehabilitasi (pemulihan) karena aset yang Bukan juga kembali. Asal Mula itulah Perppu Perampasan Aset sesungguhnya Bukan hanya akan menolong dalam penegakan hukum di kasus-kasus yang Eksis sekarang ini, tetapi mencegah semakin suburnya kejahatan sejenis.