Tata Kelola Sepak Bola Kita

APA yang mesti dilakukan setelah tragedi Kanjuruhan? Pertanyaan itu Maju mengemuka seiring dengan lantunan doa dukacita yang Tak Eksis putus-putusnya. Memang begitulah Semestinya.

Tragedi kemanusiaan menerbitkan pelajaran. Tujuannya agar Tak Eksis Tengah petaka serupa. Cukuplah Kematian sebagai pemberi Wejangan. Menukil dari Ebiet G Ade, ‘mumpung Tetap Eksis waktu, kita mesti berbenah’.

Salah satu hal mendasar yang mendesak Buat dirombak ialah tata kelola sepak bola kita. Seruan itu sebenarnya sudah disampaikan berulang-ulang dalam berbagai kesempatan. Apalagi, korban Kematian di sepak bola kita terjadi bukan Sekadar sekali.

Tetapi, gerakan perombakan tata kelola akhirnya Senyap setelah dukacita terlewati. Istilah Demi ini, ‘Sekalian kembali ke setelan pabrik’. Kita memang Segera lupa. Amnesia dalam kurun seketika. Benar kata Milan Kundera, perjuangan melawan ‘kuasa’ ialah perjuangan melawan lupa.

Saya sepenuhnya sepakat dengan desakan masyarakat sepak bola Indonesia bahwa ini saatnya merombak tata kelola. Kita berkejaran dengan waktu, berlari melawan momentum. Mulailah dari keberanian federasi Buat jujur mengakui banyak yang belum beres dengan tata kelola sepak bola.

Cek Artikel:  Gontor

Soal Pengecekan stadion, misalnya. Tragedi Kanjuruhan menunjukkan bagaimana operator Perserikatan yang diamanati PSSI Tak melaksanakan tugasnya secara sungguh-sungguh. Stadion itu Tak diverifikasi Tengah setelah terakhir dilakukan PSSI pada 2020. Padahal, mestinya tiap kompetisi hendak digelar, Pengecekan stadion wajib dilakukan.

Hasil Pengecekan stadion mestinya juga disampaikan secara terbuka. Mengapa stadion A layak, stadion Z Tak layak, jangan disembunyikan. Kesan seperti itu sempat muncul Demi PSSI Tak merestui Persija menggunakan Jakarta International Stadium (JIS) sebagai kandang dengan Dalih Tak Terang.

Begitu pula Demi PSSI membatalkan penggunaan JIS Buat laga persahabatan timnas melawan Curacao tempo hari. Alasannya berubah-ubah. Awalnya JIS dianggap Tak berstandar FIFA, Lewat diralat, Maju diralat Tengah, Maju diralat Tengah. Itu memantik kecurigaan publik Eksis yang disembunyikan dari pembatalan penggunaan JIS itu.

Belum Tengah soal standar jaminan keamanan dan kenyamanan suporter yang amat jauh panggang dari api. Banyak yang mengkritik Tak adanya keseragaman standar baku antara tempat yang satu dan yang lainnya.

Cek Artikel:  Tanda Bahaya

Aturan-aturan dasar pengamanan sebuah laga pun Tak dipahami secara merata. Eksis sosialisasi yang Tak Tiba. Bahkan, Eksis yang curiga Tak Eksis sosialisasi ihwal regulasi pengamanan pertandingan sepak bola sesuai dengan standar FIFA.

Apa saja langkah-langkah yang harus dilakukan Demi Eksis gelagat yang mengarah ke situasi panas (misalnya muncul nyanyian-nyanyian kebencian, umpatan-umpatan, hingga gerakan tubuh), jangan-jangan Tak dikoordinasikan secara saksama.

Belum Tengah soal bagaimana mestinya tampilan tim pengaman di dalam stadion. Mereka Tak boleh menunjukkan gestur keras. Bahkan, seragam pun mestinya disamarkan.

Menengok sejarah, sebetulnya kita termasuk negara yang paling awal memasuki sepak bola sebagai industri. Pada awal 1980, kita sudah punya kompetisi Galatama, Demi negara seperti Jepang dan Korea Selatan belum sepenuhnya menata kompetisi mereka. Tetapi, kita Tak beranjak Tengah. Kita berhenti, bahkan sempat mundur.

Cek Artikel:  Ormas Tambang

Menjadikan sepak bola sebagai sebuah industri tersendiri memang Tak Dapat secara simsalabim. Tetapi, tata kelola dengan manajemen yang profesional sudah harus segera dilakukan tanpa menunda-nunda Maju.

Saya teringat pernyataan mantan Instruktur timnas yang kini menjadi Direktur Teknik PSSI Indra Sjafri. “Kita terlalu sering menonton Perserikatan-Perserikatan Eropa yang gemerlap sehingga kita Mau buru-buru meniru mereka, padahal kita hanya mengetahui kulit-kulitnya. Tetapi, jalan menuju ke sana harus kita mulai,” kata Indra, enam tahun Lewat.

Kini, perombakan tata kelola itu menjadi keniscayaan. Antusiasme publik terhadap sepak bola kita kian meningkat, hingga akhirnya tragedi Kanjuruhan mengempaskan optimisme itu ke titik nadir.

Tetapi, perombakan besar-besaran tata kelola sepak bola kita jangan-jangan memang harus dimulai Demi berada di titik nadir itu. Duka Tetap menganga. Pelan-pelan kita menata semuanya agar Tak Eksis yang sia-sia.

Mungkin Anda Menyukai