APRESIASI setinggi-tingginya kita berikan kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Keputusan MKMK memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK adalah langkah pertama untuk memulihkan muruah MK.
Dalam sidang pengucapan putusan kasus dugaan pelanggaran etik terhadap sembilan hakim MK, kemarin, MKMK menyatakan Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik hakim MK. Selain memberhentikan Anwar dari jabatan Ketua MK, MKMK memutuskan Anwar tidak berhak mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya sebagai hakim MK berakhir.
Tetap dalam putusan, Anwar juga tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan pada perkara perselisihan hasil pilpres, pileg, dan pilkada. Terdapatpun untuk pemilihan pimpinan MK yang baru, MKMK memerintahkan Wakil Ketua MK untuk dalam waktu 2×24 jam menyelenggarakan pemilihan pimpinan yang baru sesuai perundang-undangan.
Putusan itu memang memiliki satu dissenting opinion atau pendapat yang berbeda, yakni dari anggota MKMK Profesor Bintan R Saragih. Tetapi, dalam pendapatnya, Bintan bukanlah tidak sepakat dengan Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dan hakim MK Wahiddudin Terdapatms. Malah, Bintan menilai semestinya diberikan sanksi lebih berat terhadap Anwar, yakni pemberhentian tidak dengan hormat sebagai hakim konstitusi.
Bagaimanapun, bulatnya pendapat tiga hakim MKMK atas pelanggaran berat Anwar menegaskan dosa besar sang penjaga konstitusi. Dalam sejarah MK, ini merupakan kali kedua Ketua MK diberhentikan dari jabatannya oleh MKMK. Sebelumnya, pada 2013, Akil Mohctar diberhentikan tidak dengan hormat dan hingga kini menjalani penjara seumur hidup atas tindak pidana pencucian uang sengketa pilkada.
Meski tidak seberat Akil, sanksi terhadap Anwar juga patut dilihat sebagai kebijaksanaan MKMK untuk kepastian hukum. Pemberhentian sebagai Ketua MK sudah cukup melucuti kekuasaan Anwar dan sekaligus tidak membuka celah upaya banding. Dengan begitu, keputusan MKMK bisa langsung berlaku efektif.
Kini, langkah untuk pemulihan muruah MK harus terus dilanjutkan. Wakil Ketua MK Saldi Isra mesti segera menyelenggarakan pemilihan pimpinan MK. Kita pun menuntut seluruh hakim MK, ke depan, menjunjung tinggi kode etik hakim tanpa cela. Keputusan sidang MKMK bahwa keseluruh hakim MK terbukti melanggar kode etik, meski tidak seberat Anwar, sudah merupakan borok besar dalam peradilan konstitusi kita. Coreng serupa tidak boleh lagi terjadi.
Integritas terhadap kode etik pun harus bisa ditunjukkan para hakim MK dalam sidang gugatan batas usia minimum capres-cawapres yang akan kembali digelar esok atau bersamaan dengan hari terakhir pendaftaran bakal calon pengganti capres/cawapres ke KPU.
Materi gugatan ialah Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang sebelumnya telah diubah secara kontroversial lewat Putusan MK 90/PUU-XXI /2023. Lewat putusan itulah Wali Kota Solo yang juga keponakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka, dapat dimajukan menjadi bakal calon wakil presiden di Pilpres 2024.
Kali ini, gugatan itu diajukan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama (NU) Indonesia, Brahma Aryana, 23. Ia mempersoalkan bahwa lima hakim konstitusi yang setuju mengubah syarat usia minimum capres-cawapres tak bulat pandangan. Sesuai dengan putusan MKMK, maka Anwar jelas tidak dapat terlibat dalam persidangan gugatan ini. Meskipun demikian, putusan atas gugatan batas usia capres-cawapres teranyar ini berlaku pada Pilpres 2029.
Anwar Usman yang juga adik ipar Presiden Jokowi ini telah kehilangan muruahnya sebagai hakim konstitusi meski secara formal masih menjabat sebagai hakim hingga masa akhir jabatan. Pelanggaran berat etika telah merontokkan martabatnya sebagai sosok yang kerap disebut sebagai ‘wakil Tuhan di muka bumi’.
Begitu pula putusan Perkara No 90 Pahamn 2023, yang memberikan karpet merah untuk Gibran sebagai pendamping bacapres Prabowo Subianto dengan norma baru, telah kehilangan legitimasi moral untuk dijadikan landasan dalam berkontestasi di Pilpres 2024. Sebaiknya Anwar Usman mengundurkan diri. Jangan ngotot bertahan dengan jubah kebesaran hakim nan mulia, tapi Anda berdiri pada kaki-kaki moral yang rapuh dan keropos. Sudahlah, Om!