Kelas Menengah kian Terengah-engah

SETIAP tahun jutaan masyarakat kelas menengah di Indonesia mengalami turun kelas. Sebagian turun ke level calon kelas menengah (aspiring middle class), sebagian lagi anjlok menuju masyarakat rentan miskin. Menurut data Badan Pusat Stagnantik (BPS), jumlah penduduk kelas menengah turun tajam dalam lima tahun terakhir, dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024.

Apakah ini bisa dianggap persoalan remeh dan layak disepelekan pemerintah? Jernih tidak. Bagaimana mau dipandang sepele kalau masyarakat kelas menengah yang sesungguhnya punya kontribusi besar terhadap pergerakan ekonomi itu kian hari justru kian terimpit dan terjepit. Bagaimana bisa dianggap enteng bila kelas menengah terus-terusan mendapat tekanan dari dua sisi: pendapatan yang melambat dan biaya hidup yang makin tinggi.

Ketika ini, jika digabung masyarakat kelas menengah dan calon kelas menengah, jumlahnya mencapai 66,35% dari total penduduk Indonesia. Dari mereka, nilai konsumsi pengeluarannya mencakup 81,49% dari total konsumsi nasional. Kelas menengah juga merupakan penyokong penerimaan pajak yang besar. Maka, ketika proporsi kelas menengah terus menipis, perekonomian menjadi kurang resilien terhadap guncangan.

Cek Artikel:  Habis Tapera Terbitlah Asuransi

Menurunnya jumlah kelas menengah sejatinya menjadi indikasi kuat bahwa ada problem serius dalam hal fundamental ekonomi nasional, sekaligus menunjukkan betapa kedodorannya kebijakan ekonomi pemerintah. Kelas menengah selalu disebut-sebut sebagai bantalan dari perekonomian nasional, tetapi strategi untuk mengungkit kapasitas mereka tak pernah terlembagakan dengan baik.

Alih-alih menaikkan kelas, untuk sekadar menjaga mereka tetap berada di gerbong kelas menengah saja pemerintah kepayahan. Terbukti dari data BPS selama lima tahun terakhir tadi, berjuta-juta masyarakat kelas menengah justru terpaksa turun kasta. Masyarakat kelas menengah dan aspiring middle class kini malah lebih dekat kepada garis kemiskinan ketimbang kelas di atasnya.

Pemerintah semestinya tidak boleh mengamuflase persoalan sekrusial ini dengan sekadar menganggap itu sebagai tren fenomena global. “Itu problem yang terjadi hampir di semua negara,” kata Presiden Joko Widodo saat ditanya wartawan terkait dengan terus menyusutnya jumlah kelas menengah, Jumat (30/8) lalu.

Cek Artikel:  Jangan Mengendur Kawal Pilkada

Dari jawaban bernada ngeles itu, kiranya publik boleh menduga bahwa pemerintah memang tak memiliki strategi jitu untuk lepas dari jerat masalah tersebut. Jawaban seperti itu hampir sama nuansanya seperti ketika pemerintah terus saja menyalahkan pandemi covid-19 sebagai biang kerok luruhnya pertahanan kaum kelas menengah.

Betul, tidak ada yang membantah bahwa pandemi covid-19 menimbulkan dampak jangka panjang (scarring effect) terhadap perekonomian nasional. Tetapi, jangan lupa, ada data lain yang disampaikan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI, bahwa penurunan jumlah kelas menengah itu sudah terjadi sejak 2018 atau dua tahun sebelum pandemi covid-19 melanda dunia.

Maksudnya, sebelum penurunan kelas menengah itu menjadi fenomena di hampir semua negara alias menjadi tren global pascapandemi, Indonesia sudah memulai tren itu sebelumnya. Maka, bila berpatokan dari itu, boleh jadi bukan pandemi yang jadi biang keroknya, melainkan pemerintah yang tidak sigap mengantisipasi gejalanya sejak awal.

Cek Artikel:  Lihat Rekam Karya Para Capres

Pilar dari kelas menengah ialah sektor formal dan manufaktur, terutama yang memiliki produktivitas tinggi. Tanpa memfokuskan kebijakan pada dua hal tersebut, upaya mengerek kelas menengah hanya akan jadi angan-angan. Celakanya, di saat yang sama, kinerja manufaktur domestik juga terus melemah dan tertekan.

Karena itu, tidak ada cerita lain, pemerintah harus melakukan reformasi iklim usaha secara struktural dan mempercepat reformasi kualitas SDM. Itu tidak hanya akan menguatkan lagi sektor manufaktur, tapi juga sekaligus menjadi langkah awal untuk meningkatkan jumlah masyarakat kelas menengah.

Mungkin Anda Menyukai