Soft Power Ibu dalam Pembentukan Kepribadian Bangsa

Soft Power Ibu dalam Pembentukan Karakter Bangsa
Ilustrasi MI(MI/Seno)

DALAM budaya masyarakat Jawa tradisional, perempuan sering disebut ‘konco wingking. Predikat itu dikaitkan dengan peran perempuan yang umumnya berada di wilayah domistik (domestic sphere). Sementara itu, peran di wilayah publik (public sphere) dipahami menjadi hak laki-laki. Perspektif sosial budaya yang memarginalkan peran perempuan saat ini sudah banyak berubah. Apalagi latar belakang sosial dan pendidikan kaum perempuan juga semakin membaik.

Kondisi tersebut memungkinkan kaum ibu dan perempuan pada umumnya dapat berkiprah lebih terbuka di ranah publik tanpa meninggalkan tanggung jawabnya di ranah domistik. Pada konteks itulah, kaum ibu dan perempuan penting diberi peran lebih besar. Di antara peran strategis yang penting dijalankan ialah pembentukan karakter bangsa. Krusial disadari bahwa pembentukan karakter bangsa itu bermula dari kondisi masyarakat. Sementara itu, masyarakat dibentuk oleh keluarga-keluarga.

Karena itulah, perhatian terhadap keluarga sebagai pembentuk karakter sangat penting. Tanpa mengabaikan posisi kaum laki-laki sebagai kepala keluarga, peran perempuan alias ibu dalam pembentukan karakter bagi buah hatinya penting menjadi perhatian bersama.

Dalam bahasa Arab, kata ibu diterjemahkan dengan umm. Kalau diteliti, kata umm ternyata berkaitan dengan imam (pemimpin) dan ummah (bangsa). Hal itu berarti bahwa dari seorang ibu akan lahir pemimpin yang hebat. Ibu juga berperan dalam mewujudkan umat yang terbaik (khairu ummah).

Cek Artikel:  Paskah Terbangunkan Persatuan hingga Konsolidasikan Demokrasi

Harus diakui bahwa di balik sosok perempuan yang lembut ternyata ada kekuatan dahsyat (soft power). Bukan berlebihan jika dalam suatu kata bijak ditegaskan bahwa al-umm madrasah al-ula (ibu merupakan pendidik yang pertama dan terutama). Posisi ibu sangat istimewa dalam pendidikan dan pengasuhan anak-anak. Dengan jiwa kasih sayangnya, kesabaran, dan keuletannya, seorang ibu selalu hadir menyertai buah hatinya dalam kondisi apa pun.

Dalam teori tentang trisentra atau tripusat pendidikan, institusi keluarga diposisikan sangat penting dalam pendidikan dan pengasuhan anak-anak. Dengan demikian, posisi ibu sebagai pendidik pertama bagi buah hatinya juga sama pentingnya dengan sekolah dan lingkungan masyarakat.

Demi mendukung tugas mulia tersebut, Allah SWT memberikan karunia yang memungkinkan seorang ibu mendidik dan mengasuh buah hatinya dengan sepenuh hati. Perempuan pada umumnya juga memiliki emosi yang stabil sehingga sangat sesuai dengan tugasnya sebagai pendidik dan pengasuh bagi buah hatinya. Tetapi, penting diingatkan bahwa ibu-ibu harus meningkatkan wawasan agar dapat mendidik dan mengasuh anak-anak sesuai zaman now. Kesadaran itu penting karena anak-anak telah memasuki era digital yang diwarnai dengan penggunaan media sosial secara masif.

Era digital dengan seluruh dampaknya telah menghampiri dunia anak. Ketika ini, anak-anak menjadi bagian dari komunitas virtual (virtual community). Mereka lebih banyak berinteraksi melalui dunia maya atau media sosial (medsos). Mereka pun begitu terampil berkomunikasi melalui blog, Facebook, Twitter, Instagram, Tiktok, Whatsapp, dan akun medsos lainnya.

Cek Artikel:  Urban Farming dan Ketahanan Pangan

Para orangtua umumnya, terutama dari kalangan kelas menengah ke atas, juga memanjakan anak-anak mereka dengan fasilitas gadget. Fakta itu harus menjadi perhatian agar orangtua menemukan metode yang tepat untuk mendidik dan mengasuh buah hatinya.

Tetapi, sangat disayangkan harapan menjadikan ibu sebagai pendidik dan pengasuh yang, terutama bagi anak-anak, acap kali belum didukung kondisi keluarga yang terdidik dengan baik (well educated). Realitas menunjukkan bahwa masih banyak orangtua abai dengan pendidikan dan pengasuhan anak. Bahkan, sebagian orangtua memercayakan pendidikan dan pengasuhan anak pada asisten rumah tangga (ART). Padahal, ART belum tentu memahami tugas pendidikan dan pengasuhan anak dengan baik. Kapasitas ART umumnya terbatas sehingga kurang cocok jika diberi tanggung jawab besar untuk pendidikan dan pengasuhan anak.

Di samping itu, banyak keluarga yang memercayakan pendidikan buah hati mereka pada sekolah semata. Padahal, waktu anak-anak berada di sekolah sangat terbatas. Malah waktu anak-anak bersama keluarga jauh lebih banyak.

Cek Artikel:  Penanganan Infeksi HIVAIDS di Indonesia, Sebuah Catatan reflektif

Dalam kondisi orangtua yang masih abai terhadap pendidikan dan pengasuhan itulah, anak-anak banyak berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Padahal lingkungan sosial belum tentu baik untuk penumbuhan karakter anak. Karena itulah, anak-anak sering mengalami salah asuhan akibat salah pergaulan. Akibatnya, anak-anak menjadi salah jalan.

Begitu pentingnya pendidikan dan pengasuhan anak dalam keluarga. Maka itu, Abdullah Nashih Ulwan dalam Tarbiyatul Aulad fil Islam (2022) mengingatkan pentingnya peran orangtua dalam pendidikan dan pengasuhan anak. Menurut Nashih Ulwan, orangtua harus mendidik anak dengan memberikan keteladanan, pembiasaan, nasihat, perhatian, serta apresiasi dan hukuman.

Peringatan senada juga dikemukakan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud (2018). Naskah itu berisi panduan lengkap tentang pendidikan anak untuk menjadi generasi emas. Ibn Qayyim menegaskan bahwa kerusakan kehidupan anak mayoritas penyebabnya bersumber dari orangtua mereka.

Peringatan dua ulama ternama itu layak menjadi renungan jika kita ingin melihat anak-anak tumbuh kembang dengan baik (childwell being). Demi itulah, semua elemen bangsa penting memperkuat peranan pendidikan keluarga, terutama untuk kaum ibu, sebagai ujung tombak pembangunan karakter anak. Dengan pendidikan dan pengasuhan yang baik dari keluarga dan lingkungan sosialnya, anak-anak akan bertumbuh dan berkembang menjadi generasi emas pada masa mendatang.

Mungkin Anda Menyukai