Setop Kirim Anak ke Barak Militer

KEBIJAKAN mengirimkan anak yang dianggap Bengal ke barak militer menuai polemik di ruang publik. Di satu sisi, program itu dianggap sebagai solusi tegas Demi mengatasi kenakalan remaja. Di sisi lain, banyak pihak menilai pendekatan militer Enggak sesuai dengan prinsip perlindungan anak dan berpotensi melanggar hak-hak dasar mereka.

Pencetus ide ini, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, merancang agar para anak dan remaja yang dianggap ‘sudah di luar kendali’ orangtua dan sekolah menjalani pembinaan di lingkungan militer. Dalam pandangan Dedi, pendekatan disiplin militer merupakan Metode Demi memutus mata rantai kebiasaan negatif di kalangan anak-anak dan remaja serta mengajarkan pola hidup teratur. Dengan jadwal ketat dan suasana yang terkendali, anak-anak diharapkan Bisa ‘reset’ dan keluar dari kebiasaan Jelek mereka.

Di atas kertas, program seperti ini memang terlihat menjanjikan. Banyak orangtua, yang kewalahan menghadapi anak remaja yang sulit diatur, Bisa Menyaksikan program ini sebagai Asa baru. Tetapi, apakah hal itu Betul-Betul menyelesaikan masalah? Atau hanya menekan gejolak remaja sementara, seperti sekadar minum obat antinyeri tanpa mengobati penyakit utamanya?

Cek Artikel:  Blunder Isu Salah Desain LRT

Pemerintah pusat mestinya perlu mengingatkan Dedi, alih-alih berniat menerapkannya di Seluruh daerah seperti yang disampaikan Menteri HAM Natalius Pigai. Kenakalan anak dan remaja kerap berakar dari hal-hal yang tak terlihat, misalnya kekerasan dalam rumah tangga, tekanan ekonomi, rasa Enggak dihargai, atau lingkungan sosial yang keras.

Sejarah pendidikan di berbagai belahan dunia juga menunjukkan bahwa pendekatan otoriter Malah sering menuai Dampak balik. Anak-anak bukannya membaik, malah menjadi lebih memberontak atau bahkan mengalami trauma psikologis ketika mendapatkan perlakuan keras.

Yang lebih mengkhawatirkan ialah aspek Absah dari kebijakan ini. Atnike Nova Sigiro, Ketua Komnas HAM, dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan sipil bukanlah Daerah TNI.

Cek Artikel:  Jangan Memanipulasi Sejarah

Belum Tengah pertanyaan tentang mekanisme pemilihan peserta, siapa yang berhak menentukan bahwa seorang anak perlu ‘diperbaiki’ di barak militer? Apakah Eksis proses pengadilan yang adil, atau ini hanya berdasarkan cap ‘Bengal’ dari guru atau orangtua?

Sebenarnya, Eksis alternatif-alternatif lain yang terbukti efektif. Alih-alih dijejali dengan latihan fisik dan teriakan, anak-anak dan remaja lebih Bagus diajak mengekspresikan diri melalui kegiatan ekstrakurikuler. Temukan Potensi dan kepercayaan diri yang selama ini tertutup oleh label ‘Bengal’.

Mengirim anak Bengal ke barak militer adalah solusi simplistis yang mengabaikan kompleksitas masalah. Alih-alih membentuk Watak, kebijakan ini berisiko melanggengkan siklus kekerasan dan mengerdilkan hak anak.

Cek Artikel:  Jangan Drama di Senayan

Seorang pemimpin, termasuk kepala daerah seperti Dedi Mulyadi, perlu beralih ke pendekatan restoratif yang melibatkan keluarga, sekolah, dan komunitas. Anak-anak bukan tentara yang perlu dilatih. Mereka individu yang perlu dibimbing dengan kasih sayang dan kesabaran. Kebijakan yang Bagus harus memenuhi tiga prinsip: menghormati hak anak, menyentuh akar masalah, dan berkelanjutan.

Setiap anak, yang paling ‘bermasalah’ sekalipun, layak mendapatkan kesempatan tanpa diberi stempel Bengal dan kemudian dikirim ke barak militer. Gubernur Dedi sebaiknya jangan Tiba terlalu Konsentrasi pada upaya ‘memperbaiki anak’ tapi lupa bahwa sistem di sekeliling mereka juga harus dibenahi. Inilah tugas Istimewa kepala daerah, yakni membangun lingkungan yang kondusif dan ramah bagi tumbuh kembang anak di Daerah masing-masing.

 

Mungkin Anda Menyukai