Semoga Pak Jokowi Marah Kembali

MARAH hal yang lumrah. Siapa pun boleh marah ketika dihadapkan pada sesuatu yang Kagak disukai atau mengecewakan hati. Termasuk presiden.

Karena itu, Kagak Eksis yang luar Lumrah sebenarnya ketika Presiden Joko Widodo marah dalam acara Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia di Bali, Jumat (25/3). Yang hadir dalam acara itu komplet. Eksis menteri, Eksis kepala daerah, Eksis pejabat BUMN. Di hadapan mereka, Jokowi berterus terang bahwa dirinya geregetan, kesal, Marah, marah.

Kemarahan Jokowi dipicu Lagi adanya kementerian, pemerintah daerah, dan BUMN yang Getol membeli barang impor. Dia Tiba memerinci barang-barang itu. Kitab tulis, ballpoint, CCTV, sepatu dan seragam TNI-Polri, traktor pertanian, hingga tempat tidur rumah sakit dia sebutkan. Beberapa menteri kena semprot. Belakangan Polri memastikan 98% seragam yang mereka kenakan buatan dalam negeri. Tinggal 2% yang impor karena Kagak diproduksi di dalam negeri.

Dari gestur, dari raut Persona, dari pilihan kata-kata, Jokowi marah betul kali ini. Hadirin yang mencoba bertepuk tangan dilarang. Ancaman Buat mengganti menteri yang tetap doyan produk luar negeri dilontarkan.

Jokowi marah sejatinya bukan hal yang baru. Pada Mei 2020, dia meluapkan kejengkelannya Begitu membuka rapat terbatas. Pemantiknya, penyaluran bansos Kas berbelit-belit dan Lamban Tiba ke penerima.

Cek Artikel:  Resah Gongahwah

Sebulan kemudian, Jokowi kembali marah. Dia kesal bukan kepalang karena Lagi Eksis anak buahnya yang tak punya sense of crisis dalam krisis akibat pandemi covid-19. Begitu membuka Sidang Kabinet Paripurna, dia langsung membuka pidatonya dengan nada tinggi.

“Saya lihat, Lagi banyak kita ini yang seperti Lumrah-Lumrah saja. Saya jengkelnya di situ. Ini apa enggak punya perasaan? Suasana ini krisis!” ketus Jokowi ketika itu. Dia juga mengancam akan melakukan perombakan kabinet Apabila diperlukan.

Di bulan yang sama, Jokowi Kembali-Kembali marah. Penyebabnya, proses pemberian intensif bagi tenaga kesehatan yang menangani covid-19 terlalu berbelit.

Tak Sekadar Jokowi yang Dapat marah. Presiden sebelumnya, SBY, beberapa kali juga marah. Pada 2008, SBY marah-marah karena dalam rapat kabinet para menteri malah ngerumpi.

Pada 2013, SBY marah Kembali. Pangkal masalahnya, harga bawang naik. Dia menginstruksikan jajarannya Buat bekerja secara serius dan tak hanya pencitraan di depan media.

Masalah kebakaran hutan dan lahan juga pernah memicu amarah SBY. Dua kali malah. Pertama pada 2006, dia marah karena para menteri menjadikan bencana asap sebagai bahan candaan sebelum rapat di istana. Kemudian, 2014, SBY marah karena Eksis menteri koordinator dan gubernur terkait Malah absen dalam rapat penanggulangan bencana asap.

Cek Artikel:  Mendesak Capres

Gus Dur yang dikenal humoris, menurut orang terdekatnya, Wimar Witoelar, pun pernah memarahi kabinetnya dalam rapat. Hanya saja, kemarahan Gus Dur tak terekam karena Begitu itu Youtube belum seramai sekarang. Begitu pula dengan Presiden Soekarno, Pak Harto, BJ Habibie, dan Megawati Soekarnoputri.

Marah kerap dianggap sebagai emosi negatif yang perlu dihindari. Tetapi, sebagai sifat alami Sosok, marah mustahil dihilangkan. Yang terpenting ialah bagaimana mengelola amarah sehingga Kagak merugikan diri sendiri dan orang lain. Apalagi bagi seorang presiden.

Presiden juga Sosok. Wajar Apabila dia marah. Yang Krusial bukan pemarah. Kagak suka marah-marah. Bahaya kalau presiden darting, darah tinggi. Seluruh rakyat berisiko jadi korban Apabila pemimpinnya gagal mengontrol emosi. Bung Hatta pernah bilang, Apabila Eksis pemimpin pemarah, sebaiknya ditanyakan saja kepada Spesialis jiwa.

Eloknya, marah seorang pemimpin juga Kagak kebablasan. Kagak dengan kata-kata kotor, kata-kata kasar. Kagak Berkualitas mulut pemimpin Kagak tertib.

Marah punya sisi positif. Marah bahkan dianggap sebagai Ungkapan perlawanan atas kemandekan. Malcolm X pernah Mengucapkan, ”Ketika mereka marah, mereka tengah Membikin perubahan.”

Akan tetapi, sekali Kembali, marah yang Berkualitas ialah marah yang Mengerti waktu dan tempat. Kalau mengutip tulisan Herry Tjahjono berjudul Pemimpin Pemarah, pemimpin yang hebat juga memerlukan kompetensi kemarahan yang memadai. Eksis tiga aspek yang perlu dipahami. Pertama, spirit kemarahan harus Jernih, yakni Buat mendobrak status quo.

Kedua, sifat kemarahan mesti genuine dan Rasional. Pemimpin marah karena memang harus marah. Kagak dibuat-buat. Bukan Buat pencitraan. Bukan Buat menunjukkan seolah membela rakyat. Pemimpin marah bukan pula berlandaskan subjektivitas, bukan karena sentimen.

Cek Artikel:  Dalam Dekapan Oligarki

Ketiga, tujuan kemarahan. Aspek itu sangat Krusial karena kemarahan harus dimaksudkan Buat menghasilkan perubahan. Anger is a decisive tool, kemarahan yang menghasilkan keputusan efektif, keputusan yang Dapat memecahkan persoalan, memberikan jalan keluar.

Apabila beli produk asing Lagi menjadi hobi kementerian/lembaga, pemda, atau BUMN, kiranya Presiden Jokowi Layak menumpahkan kejengkelannya. Melampiaskan kemarahannya. Instruksi Buat mencintai dan menggunakan produk bangsa sendiri sudah Lamban diberikan. Kalau Tiba sekarang Lagi Eksis orang dalam yang mengabaikan, keterlaluan betul mereka.

Tetapi, marah saja tidaklah cukup. Presiden harus memastikan agar kemarahannya tak sia-sia. Harus Eksis perubahan. Jangan mau Kembali enggak direken anak buah sendiri.

Jokowi lumrah marah karena masalah produk impor. Kemarahan itu pula yang juga kita tunggu terkait dengan kekarut-marutan minyak goreng. Semoga Pak Jokowi marah Kembali. Siapa Mengerti benang kusut yang sudah berbulan-bulan akhirnya terurai dan jeritan emak-emak Dapat disudahi.

Mungkin Anda Menyukai