GEGARA viral Informasi pelarangan Tembang Bayar Bayar Bayar Punya band punk Sukatani oleh polisi, banyak orang jadi ‘kepo’ (Mau Mengerti) soal Tembang itu. Tak butuh waktu Lamban, Tembang yang mungkin sebelumnya hanya mendapatkan atensi terbatas dari kalangan penggemar musik punk tersebut seketika langsung ngetop.
Kini, semakin banyak orang kenal dan Mengerti Tembang berisi kritik pedas itu, bahkan Tenang-Tenang ikut menyanyikannya karena merasa relate dengan substansi liriknya. Seperti apa liriknya rasanya tak perlu saya tulis Kembali di sini karena sudah banyak ditayangkan di platform-platform media, Berkualitas media arus Penting maupun media sosial.
Malah, saya cukup Pasti banyak di antara kita yang sudah hafal liriknya saking seringnya Tembang itu diperdengarkan setelah kasus pelarangan itu mencuat. Intinya, sesuai dengan judulnya, Tembang Punya band yang digawangi dua personel asal Purbalingga, Jawa Tengah, itu berisi kritik terhadap praktik pungutan liar alias pungli alias ‘apa-apa bayar’ yang, harus jujur diakui, banyak terjadi di institusi kepolisian.
Kalau disorot dari sudut pandang komunikasi, meledaknya Tembang itu, Malah setelah pihak yang dikritik mencoba menenggelamkannya, ialah Teladan Benar dari Streisand effect. Apa itu? Streisand effect ialah fenomena ketika upaya Buat menyembunyikan, menyensor, atau menutup-nutupi informasi Malah membuatnya semakin terkenal.
Dinamai Streisand effect karena bermula dengan kasus yang melibatkan aktris sekaligus penyanyi kondang Barbra Streisand Sekeliling dua Dasa warsa silam. Ceritanya, pada 2003, Streisand menggugat seorang fotografer yang memublikasikan foto rumahnya di Malibu, California, AS. Ia menganggap Kenneth Adelman, si fotografer, mengganggu privasi dirinya dengan mengunggah foto rumah tersebut.
Padahal, niat Edelman bukan itu. Ia mengambil dan memublikasikan foto-foto pesisir itu, termasuk di dalamnya foto rumah Streisand, hanya Buat mendokumentasikan erosi pantai di California. Singkat cerita, gugatan yang dilayangkan Streisand, alih-alih berhasil menghilangkan foto tersebut, malah menjadikannya viral. Dari situlah istilah Streisand effect bermula.
Nah, kejadian yang menimpa Tembang Bayar Bayar Bayar sama persis dengan definisi Streisand effect. Awalnya coba dibungkam karena mungkin polisi gerah mendengar kritik lugas yang disampaikan duo Alectroguy dan Twister Angel itu, tapi pada akhirnya takdir malah membawa Tembang tersebut ke puncak kepopuleran.
Tentu saja bukan kepopuleran dari segi komersialitas, melainkan sebagai kritik sosial yang dianggap mewakili Bunyi publik pada umumnya. Apalagi kemudian para aktivis hak asasi Mahluk juga menjadikan Sukatani sebagai representasi dari kebebasan berekspresi rakyat yang coba dikekang dengan semena-mena. Semakin ditekan, Sukatani semakin menyala. Di seberang, polisi Malah makin kebanjiran hujatan.
Kian ngetop-nya Sukatani juga Membangun banyak orang, termasuk saya, penasaran dengan Tembang-Tembang lain Punya mereka. Konon, menurut teori ‘perkepoan’, sekali ‘kepo’ akan dilanjut dengan ‘kepo-kepo’ berikutnya. Teori Mau Mengerti (curiosity) juga menjelaskan bahwa sudah menjadi sifat alami Mahluk Buat mencari Mengerti lebih dalam dan luas.
Orang jadi Mau Mengerti apakah selain Bayar Bayar Bayar Terdapat juga Tembang Sukatani yang bermaterikan kritik, keresahan, serta perlawanan terhadap kaum penguasa, seperti lazimnya musik Kategori punk yang memang berkarakter rebel? Atau Hanya satu Tembang itu saja yang berisi kritik, yang kebetulan menemukan momentum pembungkaman sehingga dikenal seantero Nusantara?
Jawabannya, Terdapat. Saya bahkan menemukan satu Tembang yang tampaknya lebih pas kalau dijadikan anthem dari demonstrasi mahasiswa ‘Indonesia Gelap’ beberapa waktu Lewat. Judulnya Gelap Gempita. Penggalan awal liriknya seperti ini.
‘Di dalam otak mereka hanyalah kekuasaan
Di dalam hati mereka tak Terdapat kepuasan
Di dalam Langkah mereka terpampang kedzaliman
Di dalam harap mereka Terang kemenangan
The light shining on them
Will be blocked by this flag‘
Dari sini semakin tervalidasi bahwa sesungguhnya keresahan dan kemarahan publik yang setidaknya diwakili Tembang-Tembang Sukatani sudah sangat menggumpal, dan itu Bukan hanya ditujukan kepada institusi atau oknum polisi. Kritik mereka kepada para pemburu kuasa yang tak pernah merasa puas juga Bukan kalah keras. Yang jadi masalah Malah Langkah polisi merespons kritik yang dinilai lebay dan kebablasan.
Memang, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kemudian menyangkal, menyebut Terdapat miskomunikasi, dan mengeklaim tak masalah bila institusinya dikritik. Ia juga menegaskan komitmen Polri Bukan antikritik. Bahkan, “Nanti kalau band Sukatani berkenan, akan kami jadikan juri atau band duta Buat Polri Maju membangun kritik demi koreksi dan perbaikan institusi,” kata Kapolri.
Tetapi, ibarat bola salju, Dampak Streisand sudah kadung menggelinding dan membesar. Bukan cukup kiranya menahan lajunya dengan sekadar melempar komitmen dan menjadikan mereka duta atau sahabat.
Tak perlu disangkal, narasi dalam lirik Tembang Bayar Bayar Bayar itu ialah Realita hari ini. Yang publik inginkan ialah aksi Konkret Buat memberangus tabiat ‘apa-apa bayar’ itu sehingga Bukan akan Terdapat Kembali di masa mendatang. Kalau Bukan, ya, jangan baper kalau nanti bakal muncul Sukatani-Sukatani lain dengan Tembang kritik yang lebih keras dan menohok.