SUKA atau tidak suka, ‘sebentar lagi’ Presiden Jokowi (harus) meninggalkan Istana. Sebentar lagi, yakni pada 20 Oktober 2024, presiden baru yang saya percaya lebih hebat daripada Jokowi, dilantik.
‘Sebentar lagi’ itu dalam makna kualitatif dan kuantitatif. Jokowi memerintah 10 tahun atau 120 bulan. Secara kuantitatif, 20 Oktober 2024, kurang lebih tinggal 9 bulan lagi atau hanya tinggal 7,5% dari 10 tahun Jokowi berkuasa. Sebuah jarak waktu tergolong singkat.
Saya berpandangan pilpres kali ini berlangsung dua putaran. Satu putaran hanyalah kehendak petahana. Di kubu itu ada anaknya sebagai cawapres. Jujur saya tidak percaya survei yang menjurus pada satu putaran. Saya bahkan khawatir survei macam itu bakal dijadikan salah satu basis legitimasi.
Dari 27 Juni hingga 20 Juli 2024, KPU akan melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara pilpres putaran kedua. Setelah itu kita memiliki presiden terpilih. Tinggal menunggu pelantikan 20 Oktober 2024. Maka, yang disebut ‘sebentar lagi’ itu hanya urusan 3 bulan saja.
Secara kualitatif, ‘sebentar lagi’ itu dapat dimaknai saya tak sabar Jokowi lengser. Saya bukan penganut pemakzulan, sekalipun saya dapat mengerti kenapa muncul pikiran demikian itu. Demokrasi adalah proses. Di dalam pemahaman ini, terkandung makna betapa indah terjadi pergantian presiden: normal, pada waktunya, tanpa ‘operasi caesar’.
Debat capres dan cawapres ialah tahapan dalam proses itu. Di situ kita menikmati pertunjukan rasionalitas dan keadaban publik. Kita dibikin tahu mana yang berisi pemikirannya, mana yang kopong. Mana yang lebih argumentatif dalam urusan kebijakan, mana yang cuma mau menjebak dan bikin malu
Pilpres dua putaran memberi waktu memperdalam proses, membuka kesempatan bagi rakyat untuk lebih ‘menginternalisasikan’ pilihan agar tak menyesal sepanjang 5 tahun kemudian. Kata nenek moyang, pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna.
Saya terkesan dengan kesigapan ibu-ibu merespons tangisan bayi. Ketika diraba popoknya basah. Tangisan itu salah satu ekspresi mau mengatakan perlu perubahan. Ganti dong popokku ini. Ketika ‘pampers’ digunakan, hilang kepekaan akan tangis, tak perlu perubahan.
Kami tahu petahana mengerahkan ‘extra fooding’ dalam berbagai bentuk dan wujud. Terdapat yang kasatmata, ada yang beroperasi diam-diam, dan ada yang berlindung di bawah atap sinergi aparat.
Sebaliknya, kami juga tahu ada rakyat mengerahkan mentalitas ekstra untuk menghadapi ‘extra fooding’ itu. Terdapat yang diam-diam menyimpan pilihannya. Terdapat yang terus terang bergairah membuat materi kampanye dari karung bekas. Terdapat rombongan berkeliling kampung bersepeda motor menyuarakan paslon pilihan mereka.
‘Sebentar lagi Jokowi lengser’ mau mengatakan kepada Jokowi dan kubunya untuk mempersiapkan diri legawa kalau Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menang. Tak perlu memusuhi paradigma perubahan. Yang baik dibikin lebih baik, yang buruk diperbaiki. Yang ‘racun’ dibikin tawar, semampu mungkin. Yang salah tempat dan salah waktu ditimbang ulang dengan perspektif berbeda.
Mengabdi untuk bangsa dan negara bukan monopoli yang sedang berkuasa. Siapa pun dia, siapa pun mereka. Tak usah bersombong lebih patriotisme, bersombong diri lebih cinta bangsa dan negara jika dibandingkan dengan anak bangsa lainnya. Republik ini milik kita bersama.
Terdapatlah kenyataan banyak orang (di antaranya saya) berpisah dengan apa pun pengertian yang terkandung di dalam seruan, ‘Jokowi adalah kita’. Sebentar lagi seruan itu tuntas menjadi masa lalu. Kiranya tak tergantikan oleh betapa pun hebat upaya memoles Gibran.
Sebentar lagi Jokowi lengser. Seperti dulu beliau terpilih berkat pemilu jujur dan adil, baiklah penggantinya pun terpilih berkat kualitas demokrasi yang sama, dan bahkan lebih baik. BEM UGM memberi Jokowi gelar alumnus paling memalukan. Jangan sampai predikat lebih buruk tertera di dalam sejarah: Jokowi presiden paling merusak demokrasi.