Liputanindo.id OPINI – Isu yang berkembang seputar Rancangan Peraturan Presiden (R-Perpres) tentang Hak Penerbit (Publisher Rights) kian melebar. Sejatinya R-Perpres itu berkaitan dengan upaya Dewan Pers dan para konstituen agar ada kerja sama setara antara platform global dengan penerbit.
Kesetaraan dalam kerja sama itu, antara lain meliputi beberapa hal. Pertama adalah soal keterbukaan. Platform global perlu menjelaskan formula penghitungan bagi hasil pemuatan iklan. Dengan begitu, penerbit berita bisa melakukan penghitungan sendiri, berapa nilai bagi hasil dan hak yang mestinya mereka terima.
Keterbukaan itu juga mencakup penerapan algoritma yang dipakai platform global. Sudah pada tempatnya jika platforma global menjelaskan algoritma yang mereka gunakan, termasuk memberi tahu jika terjadi perubahan.
Dengan keterbukaan itu, maka (poin kedua) akan terjadi keadilan dalam proses bagi hasil dari pendapatan iklan yang termuat di setiap produk penerbit berita. Hal ini bisa terjadi lantaran masing-masing pihak yang mengadakan kerja sama akan tahu, berapa nilai iklan seluruhnya dan berapa pula yang seharusnya menjadi hak masing-masing pihak.
Unsur ketiga terkait dengan jurnalisme berkualitas. Terdapat permintaan dari konstituen dan Dewan Pers, supaya platform global juga peduli terhadap kualitas berita yang diunggah. Sudah seharusnya platform global tidak hanya menilai sebuah berita dari tingkat popularitas atau jumlah klik semata.
Apabila berita yang tengah ramai atau viral tersebut ternyata termasuk yang tidak memenuhi unsur Kode Etik Jurnalistik (KEJ), misalnya mengandung unsur cabul, sadis, tidak ramah anak, dan sebagainya, maka tidak seharusnya diunggah di laman platform global.
Produk yang masuk ranah R-Perpres tidak melulu berupa berita, akan tetapi juga konten media sosial (Instagram, TikTok, dan lain-lain). Tetapi, ini hanya terbatas pada konten media sosial yang tayang di akun milik perusahaan pers atau media massa. Konten media sosial di perusahaan pers itu juga harus memperhatikan unsur KEJ.
Kekhawatiran Para Konten Kreator
Dewan Pers telah membuat ketentuan, bahwa konten media sosial pada perusahaan pers merupakan produk jurnalistik. Konten media sosial tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab media yang bersangkutan. Itu sebabnya, konten media sosial itu juga harus memenuhi kaidah jurnalistik. Bahkan komentar oleh pengguna pun termasuk menjadi bagian tanggung jawab dari media yang bersangkutan.
Realita yang terjadi kemudian, isu tentang R-Perpres itu berkembang sedemikian liar, serta dipahami salah oleh banyak kalangan. Terdapat yang merasa R-Perpres akan mengancam kehidupan dunia media sosial. Para konten kreator merasa bakatnya bakal terhambat dan pundi-pundi yang diperoleh selama ini dari kreasinya di medsos bakal ikut tergerus.
Prasangka semacam itu sama sekali tidak benar. R-Perpres tidak akan menyentuh produk media sosial yang dihasilkan oleh orang per orang. Mereka tetap bisa berkarya dengan bebas. Mereka pun tidak perlu khawatir rezekinya tersumbat oleh R-Perpres. Konten semacam ini tidak akan pernah diurus oleh R-Perpres.
Sepanjang konten media sosial mereka tidak menjadi bagian dari produk media massa, para konten kreator tidak perlu khawatir. Urusan R-Perpres benar-benar hanya produk yang terkait dengan perusahaan pers. Dengan begitu, gembar-gembor para konten kreator –termasuk beberapa selebritas— yang merasa terancam dengan bakal hadirnya R-Perpres hanyalah bualan belaka.
Mereka sesungguhnya tidak paham maksud dan isi R-Perpres tersebut. Dapat jadi mereka mendapat masukan atau hasutan yang salah dari pihak lain dan percaya begitu saja informasi tersebut. Alangkah baiknya jika mereka bertanya pada pihak yang tepat, sehingga persoalannya menjadi jelas.
Baca Juga:
Gugatan Pers Upaya Membangkrutkan Perusahaan Media
Konten Nonperusahaan Pers Gunakan UU ITE
Sebenarnya sudah sangat sering dijelaskan, bahwa Dewan Pers hanya berurusan dengan perusahaan pers dengan segala macam produknya. Sama sekali bukan urusan Dewan Pers terhadap segala isi maupun konten media sosial buatan perorangan.
Bahkan, seorang figur publik pernah mengadu ke Dewan Pers supaya produk media sosialnya juga dilindungi. Dewan Pers tidak keberatan melindungi produk media sosialnya, namun dengan syarat kontennya harus berada di bawah perusahaan pers.
Hal itu sama artinya dengan anjuran agar sang figur publik terlebih dahulu mendirikan perusahaan pers (dengan segala ketentuannya), sehingga konten media sosialnya bisa menjadi bagian dari produk jurnalistik. Saran itu akhirnya tidak dilaksanakan. Figur publik terkenal itu pun tidak bersedia memenuhi anjuran Dewan Pers.
Di sinilah letak perbedaan antara produk jurnalistik dan bukan. Produk jurnalistik hanya bisa dihasilkan oleh wartawan atau jurnalis yang bekerja pada perusahaan pers. Segala produk jurnalistik, jika terjadi sengketa pemberitaan, maka penyelesiannya melalui mekanisme UU Pers dan dimediasi oleh Dewan Pers.
Ini jelas berbeda dengan konten media sosial yang diproduksi oleh orang per orang. Konten semacam ini tidak pernah masuk ke ranah jurnalisme. Dengan demikian, otomatis hal ini tidak menjadi urusan Dewan Pers. R-Perpres pun tidak akan mengurusi produk semacam itu. Mereka bebas berkarya tanpa perlu ketakutan saat nanti R-Perpres tersebut diberlakukan.
Sebagai kosekuensi logisnya, apabila ada kasus hukum yang berkaitan dengan konten media sosial perorangan atau nonperusahaan pers, maka mekanisme penyelesaiannya bisa menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau pidana biasa. Urusannya pun bukan lagi dengan Dewan Pers, akan tetapi langsung ditangani oleh kepolisian.
Perbedaan inilah yang perlu dipahami oleh para konten kreator. Informasi yang mereka sebar dengan nada ketakutan atas kemungkinan berlakunya R-Perpres Hak Penerbit sama sekali tidaklah benar. Akibat lainnya, penolakan atas akan berlakunya R-Perpres itu semakin meluas karena disebar secara salah oleh para figur publik yang banyak pengikutnya.
Sudah semestinya, mereka meralat informasi keliru yang mereka sebarkan. Niat baik Dewan Pers untuk melindungi penerbit berita dan menjaga kualitas jurnalisme dengan merancang R-Perpres ikut mengalami kendala, bahkan mendapat penolakan dari beberapa pihak terkait. Mudah-mudahan para konten kreator segera menyadari kekeliruannya dan segera menyebarkan informasi dengan benar.(*)
Penulis: Arif Supriyono (Tenaga Spesialis Dewan Pers/Pemred Liputanindo.id.COM)
Baca Juga:
Dewan Pers Safiri Perpres Publisher Rights Jawaban Konten Berkualitas