Sang Intelektual Sejati Menuju Keabadian

PADA periode 1993-1998 sebuah kementerian Membikin kebijakan baru. Di atas kertas bagus, tetapi dalam pelaksanaannya kocar-kacir karena sistemnya Bukan siap. Kebijakan tersebut diimplementasikan tergesa-gesa tanpa uji coba yang matang. Ibarat pepatah, jauh panggang dari api kebijakan itu, padahal menyangkut hajat hidup orang banyak.

Di sejumlah daerah kebijakan tersebut menimbulkan permasalahan karena sistemnya baru. Bunyi-Bunyi protes dari masyarakat pengguna menguar.

Media Indonesia langsung menyambar informasi tersebut menjadi Informasi Penting di halaman 1 (headline). Sang menteri berang meskipun Informasi tersebut cover both side dari fakta di lapangan (pengguna) dan seorang dirjen yang membawahi proyek tersebut. Beberapa kali Media Indonesia memburu sang menteri berlatar belakang militer Demi diminta konfirmasi selalu ditolak. Pak Menteri emoh diwawancarai Media Indonesia.

Tiba-tiba redaktur saya di edisi Minggu meminta saya Demi mewawancarai menteri yang berkacamata itu Demi mengisi rubrik wawancara yang berisi narasumber yang menjadi buah bibir (news maker). “Dek, kau kejar menteri itu. Saya enggak mau Mengerti kau harus dapat. Tak Terdapat alternatif narasumber Demi tampil 1/2 halaman di koran edisi Minggu besok. Hanya dia. Kau harus dapat meski sebelumnya jurnalis kita yang ngepos di kementeriannya selalu ditolak,” ujar redakturku yang Rupawan dan berambut kribo itu.

Cek Artikel:  Serakah tiada Tepi

Menghadapi redakturku yang satu itu Bukan Terdapat Argumen ngeles, apalagi ‘menyerah sebelum bertanding’. “Oke, Bang, siap,” kataku percaya diri, padahal belum Mengerti bagaimana caranya menembus sang menteri.

Perintah redakturku datang pada Kamis, sementara tenggat (deadline) pada Sabtu siang pukul 12.00 WIB. Jadi, hanya punya waktu sehari (Jumat) Demi memburu sang menteri.

Sehabis salat Jumat di Istiqlal saya merapat ke kementerian yang berkantor di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, itu. Dengan kebingungan bagaimana Metode menembusnya karena sebelumnya sang menteri menyatakan tak Pandai menerima wawancara Media Indonesia (banned) gara-gara sang menteri merasa kecewa dengan pemberitaan tersebut.

Gusti Allah Maha Penyayang. Tiba-tiba saya Berjumpa dengan Prof Dr Azyumardi Azra, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 1998-2006, di lobi kementerian. “Hai, Dek, ngapain di sini?” tanyanya heran karena baru pertama kali ketemu di kementerian tersebut. Sebelumnya Normal Berjumpa di Kampus UIN di Ciputat, Tangerang Selatan. “Kak Edi, tolong bantu wawancara Pak Menteri secara Spesial karena sebelumnya rekan saya dari Media Indonesia ditolak,” kataku. 

Cek Artikel:  Judi itu Racun

Saya menyapa Guru Besar Ilmu Sejarah UIN Jakarta yang pada 2022 menjadi Ketua Dewan Pers itu dengan panggilan ‘Kak Edi’ karena Sekalian juniornya di kampus pembaharu menyapanya dengan panggilan akrab tersebut.

Setelah kujelaskan permasalahannya tanpa ba bi bu Kembali Saya dibawa ke Dasar 2 ruangan menteri berkantor. “Tunggu bentar, Dek, saya masuk ke ruangan Pak Menteri,” pintanya.

Hanya 5 menit di dalam tokoh pluralis yang mendapat penghargaan Commander of the Most Excellent Order of the British Empire (CBE) dari Kerajaan Britania Raya (2010) keluar. “Dek, masuk!” katanya. “Saya bebas tanya apa saja seputar masalah itu, ya, Kak,” kataku. “Iya, bebas. Tanya apa saja,” katanya Sembari mempersilakan saya masuk. Setelah itu, senior yang kukagumi itu keluar dari ruangan menteri.

Rupanya minta tolong ke tokoh yang dinobatkan sebagai penulis paling produktif dari Penerbit Mizan (2002) itu Bukan sia-sia. Jalan lapang terbentang. “Oh, Engkau adiknya Prof Azra, ya. Mau tanya apa?” kata Pak Menteri menyambut duluan dengan ramah. Wawancara pun Lancar jaya ditemani secangkir teh manis. Pak Menteri dengan lantang menjawab. Tak terasa wawancara berlangsung sejam lebih. “Alhamdulillah ya Allah berhasil,” kataku dalam hati seusai meninggalkan ruangan menteri menuju musala di kompleks kementerian Demi menunaikan salat Asar.

Cek Artikel:  Pelajar Ambyar

Kak Edi ialah sumur keteladanan. Gagasan besarnya tentang keislaman, kebangsaan, dan keindonesiaan melintas batas. Begitu pula kritik tajamnya pada kekuasaan tak sungkan dia sampaikan. Peneliti senior Burhanuddin Muhtadi menyebut Prof Azra sebagai ‘intelektual paripurna’. Haqqul Percaya beliau memang intelektual paripurna. Intelektual sejati yang Mempunyai integritas. Antara kata dan perbuatan seiring dan sejalan. Kini, tokoh transformasi UIN Jakarta itu berpulang. Selamat jalan, Kak Edi. Bangsa dan dunia ini menyayangimu, tapi Sang Khaliq, penguasa langit dan bumi, lebih menyayangimu. Sang profesor menuju keabadian dengan kemuliaan dan pemikiran besar yang ditinggalkannya. Insya Allah husnulkhatimah. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai