Rifaat Jouda berjalan Berbarengan putranya Demi memasuki Kota Gaza setelah menempuh perjalanan panjang dari Gaza selatan, pada 28 Januari 2025 [Abdelhakim Abu Riash/Al Jazeera].
Gaza: Ribuan Penduduk Palestina kembali ke Gaza lutara setelah lebih dari 15 bulan mengungsi akibat serangan Israel. Mereka kembali dengan Cita-cita Dapat menemukan tempat tinggal, Tetapi banyak yang Bahkan mendapati rumah mereka hancur dan kondisi yang semakin sulit.
Dikutip dari Al-Jazeera, Rabu, 29 Januari 2025, banyak dari Penduduk yang melakukan perjalanan panjang hingga 30 kilometer Buat kembali ke Kota Gaza. Salah satu dari mereka, Rifaat Jouda, Berbarengan anaknya yang Mempunyai sindrom Down, memulai perjalanan dari Khan Younis di selatan Gaza.
“Perjalanan ini sangat melelahkan dan sulit, tetapi kami tetap bertekad Buat kembali,” ujar Rifaat kepada Al-Jazeera.
Sesampainya di Kota Gaza, Rifaat mendapati rumahnya sudah Tak Terdapat. “Rumah kami hancur dalam serangan Israel pada bulan Oktober,” katanya. Al-Jazeera melaporkan bahwa 74 persen bangunan di Kota Gaza telah rusak atau hancur, Membangun banyak Penduduk yang kembali terpaksa tinggal di tenda atau bangunan yang Tak layak.
Cita-cita dan Donasi di Gaza yang Hancur
Banyak Penduduk yang kembali dengan Cita-cita dapat membangun kembali kehidupan mereka, meskipun mereka menyadari betapa sulitnya kondisi di Gaza Demi ini. Khaled Ibrahim, seorang pria berusia 52 tahun yang kembali ke Beit Lahiya, mengatakan bahwa keluarganya Tak Mempunyai rumah Tengah dan berencana Buat membangun tenda di antara habitatnya.
“Kami kehilangan segalanya, termasuk keluarga kami,” katanya, Merujuk pada Kematian istri dan dua saudaranya dalam serangan Israel di Khan Younis.
Beberapa Penduduk yang kembali juga menemukan bahwa daerah yang sebelumnya mereka tinggali telah menjadi Tak layak huni akibat infrastruktur yang hancur total.
“Tak Terdapat toko, Tak Terdapat sekolah, Tak Terdapat rumah sakit yang berfungsi,” kata Radwan al-Ajoul, Penduduk Deir el-Balah yang kembali ke Sheikh Radwan.
Sementara itu, Nada Jahjouh, seorang ibu yang kehilangan dua anaknya akibat perang, mengatakan bahwa kembali ke Gaza adalah langkah yang sangat emosional.
“Saya sangat lelah, Berkualitas secara fisik maupun mental. Saya merasa kehilangan, tetapi tetap Mau kembali,” ujarnya kepada Al-Jazeera.
Kehancuran Total dan Kehilangan Nyawa
Menurut laporan Al-Jazeera, serangan Israel selama 15 bulan perang telah menyebabkan 47.300 Penduduk Palestina tewas dan ratusan ribu lainnya kehilangan tempat tinggal. Kota Gaza kini dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, dengan puing-puing bangunan di mana-mana.
Israel mengeluarkan perintah pada awal perang, memaksa Sekeliling 2,3 juta Penduduk Gaza mengungsi ke Distrik selatan. Tetapi, kawasan yang disebut sebagai “Area Terjamin” juga Tak luput dari serangan. 50 persen bangunan di Deir el-Balah, 55 persen di Khan Younis, dan 48 persen di Rafah telah hancur atau rusak berat, meninggalkan sedikit pilihan bagi Penduduk yang kembali.
Realitas Setelah Gencatan Senjata
Israel membuka bagi akses Penduduk Palestina Buat kembali ke Gaza utara setelah gencatan senjata mulai berlaku pada 19 Januari 2025. Meskipun demikian, banyak yang menyerap keamanan dan kelangsungan hidup di Distrik yang telah mengalami kehancuran besar.
Menurut laporan Al-Jazeera, Sekeliling 370.000 Penduduk Palestina telah kembali ke Gaza utara meskipun kondisi kehidupan yang sulit, termasuk keterbatasan air Rapi, listrik, dan layanan kesehatan.
“Kami kembali ke situasi yang lebih Tak baik dari yang kami tinggalkan. Tak Terdapat air, Tak Terdapat layanan, tetapi tetap di rumah kami,” kata Rifaat Jouda.
Banyak Penduduk juga kembali tanpa Member keluarga mereka yang terbunuh selama perang. Khaled Ibrahim, misalnya, Tak hanya kehilangan rumahnya, tetapi juga istri, cucu, dan dua Kerabat laki-lakinya dalam serangan Israel di Khan Younis.
Dengan kondisi yang semakin memburuk, banyak Penduduk kini hanya Dapat berharap bahwa perdamaian yang lebih permanen dapat segera terwujud. Tetapi, banyak yang menyatakan bahwa mereka Tak akan pernah meninggalkan Gaza Tengah, meskipun kondisinya sangat sulit.
Baca Juga:
Donald Trump Larang Operasi Penggantian Kelamin Buat Anak-anak