Pusingkatan Daya Saing Produk Indonesia Pasca-Belt and Road Initiative

Peningkatan Daya Saing Produk Indonesia Pasca-Belt and Road Initiative
Ilustrasi MI(MI/Duta)

SEJAK pengumuman belt and road initiative (BRI) oleh Presiden Xi Jinping di Kazakhstan pada 2013, inisiatif itu telah menjadi salah satu pilar utama dalam hubungan ekonomi antara Indonesia dan Tiongkok. Proyek ambisius yang diluncurkan oleh Tiongkok itu dirancang untuk membangun jaringan infrastruktur global, meningkatkan konektivitas, serta memperkuat hubungan perdagangan dan investasi lintas negara, termasuk dengan Indonesia.

Tetapi, meskipun hubungan ekonomi antara kedua negara telah menguat, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan daya saing produk-produknya di pasar internasional, terutama di Tiongkok. Salah satu tantangan utama ialah ketergantungan Indonesia pada ekspor bahan mentah yang memiliki nilai tambah rendah, sementara Tiongkok terus mendominasi pasar dengan produk-produk manufaktur bernilai tambah tinggi. Artikel ini akan membahas strategi yang dapat diambil oleh Indonesia untuk memperkuat daya saing produk-produknya di pasar Tiongkok dalam era pasca-BRI.

 

Baca juga : Kemenperin Tibakan Tantangan dan Kesempatan Industri Keramik Dalam Negeri

Tantangan daya saing produk Indonesia

Belt and road initiative (BRI) telah membawa dampak besar terhadap perekonomian Indonesia, terutama dalam hal peningkatan investasi dan perluasan volume perdagangan bilateral. Sejak 2013, berbagai proyek infrastruktur di Indonesia, seperti pembangunan jalan, pelabuhan, dan jaringan kereta api, telah mendapatkan dukungan finansial dan teknologi dari Tiongkok. Salah satu proyek terbesar yang mendapat perhatian ialah pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung yang menjadi simbol kerja sama erat antara kedua negara.

Investasi Tiongkok di Indonesia terutama terkonsentrasi pada sektor energi, logam, dan transportasi. Menurut China Dunia Investment Tracker, sejak 2005 hingga 2023, investasi Tiongkok di Indonesia mencapai puncaknya di sektor logam dan energi yang menjadi tulang punggung perdagangan bilateral. Investasi besar itu telah meningkatkan kapasitas produksi Indonesia, terutama di sektor sumber daya alam seperti batu bara, nikel, dan minyak kelapa sawit.

Cek Artikel:  Menemukan kembali Momentum The Magpies

Baca juga : Indonesia dan Tiongkok Perkuat Kerja Sama Dalam Belt and Road Initiative

Tetapi, hubungan perdagangan itu tidak terlepas dari tantangan. Indonesia pernah mencatat defisit perdagangan yang cukup signifikan dengan Tiongkok pada 2018. Kemudian, sejak 2020, data CEIC menunjukkan bahwa Indonesia kembali mencatatkan surplus perdagangan dengan Tiongkok. Meskipun begitu, dominasi produk Tiongkok yang memiliki nilai tambah lebih tinggi terus menjadi ancaman bagi daya saing produk Indonesia.

Komposisi produk ekspor Indonesia ke Tiongkok didominasi oleh bahan mentah seperti batu bara, minyak kelapa sawit, nikel, dan karet. Pada 2022, sektor bahan bakar (HS 27) mencatat pangsa pasar di kisaran 29%-30%, diikuti oleh produk logam (HS 72-83), terutama besi dan baja, di kisaran 38%-39%, serta produk nabati (HS 6-15) sebesar 20%-21%. Produk-produk itu, meskipun memiliki volume ekspor yang besar, memiliki nilai tambah yang rendah jika dibandingkan dengan produk manufaktur Tiongkok.

Sebaliknya, Tiongkok mengekspor barang-barang manufaktur bernilai tambah tinggi ke Indonesia. Pada 2023, pangsa pasar produk mesin dan elektronik (HS 84-85) dari Tiongkok mencapai 45%-46%, menjadikannya kategori produk terbesar yang diimpor oleh Indonesia dari Tiongkok. Hal itu mencerminkan ketergantungan yang tinggi terhadap barang impor dari Tiongkok, khususnya untuk produk mesin dan elektronik.

Baca juga : Xi Jinping Tolak Konfrontasi Blok dan Paksaan Ekonomi

Cek Artikel:  Pajak Kepada Generasi Emas

 

Strategi meningkatkan daya saing

Demi meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar Tiongkok, beberapa langkah strategis perlu diterapkan. Pertama, peningkatan nilai tambah produk ekspor. Indonesia perlu fokus pada peningkatan nilai tambah produk-produk yang diekspor ke Tiongkok. Sektor pertanian dan perkebunan seperti kopi, kakao, dan produk pangan lainnya harus diolah lebih lanjut sebelum diekspor.

Baca juga : Arsipter Kolaborasi RI-Tiongkok “Jalur Sutra Maritim Indonesia” Ditayangkan di TV

Pada 2023, produk makanan (HS 16-24) hanya berkontribusi sekitar 2% dari total ekspor. Kalau nilai tambah dari produk-produk itu ditingkatkan, Indonesia dapat memosisikan diri lebih baik di pasar Tiongkok dan mengurangi ketergantungan pada bahan mentah.

Kedua, peningkatan kolaborasi teknologi dan inovasi. Indonesia harus memperkuat kerja sama teknologi dan inovasi dengan Tiongkok. Melalui investasi bersama dalam riset dan pengembangan (R&D), Indonesia dapat mengembangkan produk-produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi dan berdaya saing. Sektor kimia (HS 28-38), yang menyumbang sekitar 5,6% dari total perdagangan Indonesia-Tiongkok pada 2023, memiliki potensi besar untuk berkembang jika didukung dengan inovasi teknologi.

Ketiga, melakukan diversifikasi mitra dagang. Ketergantungan pada satu mitra dagang dapat menjadi risiko ekonomi yang besar. Oleh karena itu, Indonesia perlu mendiversifikasi pasar ekspor. Meskipun Tiongkok ialah mitra dagang penting, memperluas hubungan perdagangan dengan negara-negara lain di Asia, Eropa, dan Amerika dapat membantu mengurangi ketergantungan dan risiko ekonomi.

Keempat, meningkatkan pemanfaatan perjanjian perdagangan. Indonesia juga dapat memaksimalkan manfaat dari perjanjian perdagangan seperti ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) untuk meningkatkan akses produk Indonesia di pasar Tiongkok. Pengurangan tarif dan simplifikasi prosedur bea cukai dapat membantu memperlancar arus perdagangan.

Cek Artikel:  Mahasiswa Berkarya Menginspirasi Dengan Projek Based Learning dan StudentCentered Learning

 

Potensi dan peluang

Di sisi lain, Indonesia memiliki peluang besar untuk meningkatkan peranannya dalam perdagangan dengan Tiongkok. Produk-produk nabati dan mineral, yang memiliki pangsa pasar masing-masing berada di kisaran 21% dan 4% pada 2023, masih dapat ditingkatkan daya saingnya melalui investasi dalam teknologi dan peningkatan kapasitas produksi.

Selain itu, proyek-proyek infrastruktur besar seperti kereta cepat Jakarta-Bandung yang didukung oleh investasi Tiongkok menunjukkan bahwa ada potensi besar untuk memperkuat kerja sama bilateral pada masa depan. Infrastruktur yang baik akan meningkatkan efisiensi logistik, yang pada gilirannya akan menurunkan biaya produksi, dan meningkatkan daya saing produk-produk Indonesia di pasar internasional.

Sebagai penutup, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk memanfaatkan belt and road initiative sebagai sarana memperkuat hubungan perdagangan dengan Tiongkok. Tetapi, untuk memaksimalkan manfaat dari hubungan itu, Indonesia harus mengambil langkah-langkah strategis untuk meningkatkan daya saing produk di pasar internasional, khususnya di Tiongkok.

Meningkatkan nilai tambah produk ekspor, memperkuat kerja sama teknologi, dan mendiversifikasi mitra dagang ialah kunci untuk memastikan Indonesia tidak hanya menjadi pemasok bahan mentah, tetapi juga produsen produk bernilai tambah tinggi yang kompetitif.

Dengan pendekatan yang tepat, Indonesia dapat memperkuat posisinya sebagai mitra dagang yang setara dengan Tiongkok dan meraih manfaat jangka panjang dari kerja sama ekonomi bilateral yang saling menguntungkan di era pasca-BRI.

Mungkin Anda Menyukai