Pilkada dan Tanggung Jawab Moral Profesor

Pilkada dan Tanggung Jawab Moral Profesor
Ilustrasi MI(MI/Seno)

TIDAK lama lagi, negeri ini akan menjalani prosesi demokrasi pilkada serentak secara nasional. Kampus sejatinya menjadi pengawal setiap proses demokrasi termasuk Pilkada 2024 ini. Para guru besar dan segenap sivitas akademika secara moral turut bertanggung jawab atas tumbuh dan berkembangnya demokrasi. Pada dasarnya, suara kampus ialah suara nurani kebangsaan yang menghendaki agar Pilkada 2024 diselenggarakan dengan jujur, adil, dan tanpa adanya kecurangan.

Setelah melihat kondisi itu, kampus yang berperan sebagai pilar penjaga demokrasi dan kawah candradimuka bagi lahirnya para pemimpin bangsa tentu tidak akan tinggal diam. Apalagi, secara faktual data menunjukkan kondisi indeks demokrasi negara Indonesia 2023 sebagaimana laporan The Economist Intelligence Unit (2024) masih di posisi ke-56 dari 167 negara, dengan skor 6.53 poin dan masuk kategori flawed democracy atau demokrasi yang cacat.

 

Baca juga : Pengamat: Tak Boleh Kriminalisasi Gerakan Abstain dan Coblos Sekalian Calon

Fungsi pendidikan politik kampus

Salah satu visi utama kampus ialah sebagai lembaga pendidikan politik kebangsaan, yang melahirkan para calon pemimpin bangsa. Hal itu, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Mengertin 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti), bahwa salah satu fungsi dan peranan kampus ialah menjadi wadah pendidikan calon pemimpin bangsa.

Fungsi dan peranan itulah yang menjadi landasan seruan moral para guru besar dan sivitas akademika, utamanya dalam memberikan pendidikan politik kebangsaan kepada masyarakat, dan para calon pemimpin bangsa. Kampus tidak boleh buta terhadap kondisi politik kebangsaan karena memiliki peranan sebagai kekuatan moral guna mencari dan menemukan kebenaran, sekaligus mengembangkan kualitas peradaban bangsa.

Cek Artikel:  Omnichannel dalam E-Commerce, Masa Depan atau Hanya Gimmick

Baca juga : RK Minta Timnya Hindari Politik Doku

Dalam perspektif Nugroho Notosusanto (1983) terkait konsep ‘Trikarya Wawasan Almamater’, kampus memiliki peranan salah satunya ialah sebagai wahana transpolitisasi, yakni melakukan upaya pendidikan politik kebangsaan kepada seluruh sivitas akademika dan masyarakat. Bukan sebaliknya, terjebak dalam politik praktis elektoral semata.

Atas dasar landasan di atas, para guru besar, cendekiawan, akademisi, dan ilmuwan di kampus memiliki tanggung jawab moral untuk mengontrol jalannya penyelenggaraan negara agar sesuai dengan koridor Pancasila, konstitusi, hukum, dan demokrasi. Para guru besar, cendekiawan, akademisi, dan ilmuwan di kampus jangan menjadi apa yang disebut Julien Benda (2014) sebagai intelektual pengkhianat.

Primernya berkhianat terhadap bangsa dan negara dengan cara diam dan menjadi penonton semata ketika kondisi bangsa dan negara sedang tidak baik-baik saja. Ibaratnya, kampus harus menjadi ‘obat’ yang, meskipun pahit, dapat menyembuhkan atau mengembalikan kondisi kehidupan politik demokrasi secara sehat dan berkeadilan, serta berintegritas.

Baca juga : RK-Suswono Gunakan Strategi Kampanye Oke Gas ala Prabowo-Gibran

Para guru besar tidak boleh hanya menjadi akademisi atau ilmuwan yang hanya bercokol atau bertengger di menara gading yang jauh dari realitas persoalan masyarakat, bangsa, dan negara. Sebaliknya, para guru besar harus menjadi ilmuwan dan cendekiawan ‘menara air’ yang menjernihkan sekaligus ‘menara api’ yang bisa menerangi atau mencerahkan kehidupan bangsa dan negara.

Cek Artikel:  Greenflation dan Kompleksitas Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

 

Guru besar pengawal demokrasi

Baca juga : Anak Muda Tuntut Komitmen Lingkungan Calon Kepala Daerah di Pilkada Serentak

Para guru besar dan segenap sivitas akademika tidak boleh bersikap ‘netral’, dalam artian hanya berdiam diri ketika melihat penyelenggaraan negara melenceng dari koridor hukum dan demokrasi. Sebaliknya, para guru besar dan sivitas akademika harus menunjukkan keberpihakan mereka pada prinsip kebenaran yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan norma konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Sejatinya para guru besar, cendekiawan, akademisi, dan ilmuwan di kampus selalu mengingatkan kembali etika kehidupan berbangsa sebagaimana amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Oleh karenanya, seruan moral para guru besar dan segenap sivitas akademika sejatinya merupakan gerakan Pancasila dan konstitusi UUD NRI 1945.

Pada dasarnya segenap guru besar dan sivitas akademika berupaya mengingatkan jangan sampai kehidupan demokrasi, khususnya di tengah penyelenggaraan Pilkada 2024, menabrak nilai-nilai Pancasila dan konstitusi UUD NRI 1945. Tak ada motif politik praktis dari para guru besar untuk memihak salah satu pasangan calon. Begitu pun tidak ada juga kehendak untuk menyudutkan pasangan calon tertentu dalam kontestasi Pilkada 2024.

Cek Artikel:  Harga Beras Naik, Diversifikasi untuk Siapa

Para guru besar dan segenap sivitas akademika hanya menghendaki agar penyelenggaraan pilkada serentak 2024 ini dilakukan secara sehat, jujur, adil, dan berintegritas, atau tidak curang, sehingga melahirkan pemimpin yang mampu mendorong kemajuan bagi bangsa dan negara. Kalau pilkada berjalan demikan, para guru besar dan segenap sivitas akademika pun tentu akan mengawal dan menerima siapa pun calon pemimpin daerah yang terpilih yang dikehendaki rakyat mereka.

Jangan sampai, hanya karena kepentingan politik dari segelintir kelompok membuat pilkada serentak berjalan secara tidak adil dan menabrak nilai-nilai, moral, dan etika berdemokrasi Pancasila dan norma konstitusi. Sebaliknya seluruh elemen baik presiden, pejabat publik, penyelenggara negara, penyelenggara pemilu, para calon kepala daerah, elite politik, dan elemen lainnya harus menjadi teladan atau duta Pancasila.

Mereka pun harus mengimbau agar kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan politik elektoral di daerah tidak dinodai para buzzer politik yang merusak tatanan demokrasi hari ini. Jangan sampai kontestasi politik di daerah dikendalikan para buzzer atau oligarki politik yang berupaya memecah belah bangsa dan negara.

Sebagai pengawal demokrasi, kampus perlu menyuarakan pesan moral mengajak seluruh elemen masyarakat, bangsa, dan negara agar mengawasi jalannya pilkada serentak secara sehat dan berkeadilan. Selain itu, kampus pun tentu akan mengawal dan mengawasi agar peralihan kepemimpinan nasional maupun di daerah berjalan secara demokratis, aman, dan konstitusional.

Mungkin Anda Menyukai