Pertumbuhan dan Penyerapan

KITA selalu memiliki celah untuk mendengarkan kabar baik dalam situasi apa pun. Celah itulah yang bakal terus memelihara harapan kita di tengah sinyal optimisme yang kian meredup. Banyak perkara ekonomi masih meredupkan cahaya optimisme itu meski tidak juga sampai membuatnya mati.

Maka dari itu, negeri ini makin butuh banyak berita positif agar sinar harapan terus menyala. Salah satu sinyal kegembiraan itu mestinya datang saat mendengar kabar pertumbuhan ekonomi kita di triwulan kedua tahun ini mencapai 5,17% (tahun ke tahun). Itu capaian yang lebih baik ketimbang pertumbuhan triwulan pertama 2023 yang 5,03%. Selain itu, angka pertumbuhan ekonomi tersebut juga sedikit lebih tinggi daripada prediksi berbagai lembaga.

Jadi, kita mestinya layak sedikit bergembira dengan situasi itu. Tapi, tetap bahwa kegembiraan kita kiranya secukupnya saja. Kita, minimal saya, tidak cukup berani mengobral kegembiraan atas berita itu karena situasinya masih mencemaskan. Dunia masih berduka karena ketidakpastian ekonomi yang justru kian pasti.

Selain itu, wajah perekonomian global juga masih murung. Di sisi lain, dunia pun tengah dihinggapi sindrom ‘SDM’, alias ‘selamatkan diri masing-masing’. Itu yang kini terjadi pada proteksi ekspor pangan sejumlah negara produsen pangan utama dengan alasan menyelamatkan setok dalam negeri dari krisis pangan yang makin menjadi-jadi.

Cek Artikel:  Ormas Tambang

Di dalam negeri, setiap rilis data perekonomian dari Badan Pusat Tetaptik mesti diiringi dengan sikap skeptis: apakah capaian pertumbuhan itu sudah berbanding lurus dengan penyerapan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan. Akan terasa tragis bila capaian pertumbuhan ekonomi berbanding terbalik dengan tingkat ketimpangan dan angka pengangguran.

Pada kenyataannya, itulah pekerjaan rumah yang masih terus belum bisa dibereskan hingga hari ini. Tingkat ketimpangan yang tecermin dari data rasio Gini menjelaskan secara gamblang bahwa capaian pertumbuhan 5% dalam tujuh triwulan berturut-turut tidak memadai untuk memangkas ketimpangan. Rasio Gini justru naik, dari 0,381 pada September 2022 menjadi 0,388 pada Maret tahun ini.

Itu baru dilihat dari rasio Gini secara makro. Bila kita detailkan lebih mikro, akan kian terlihat betapa besar ketimpangan sedikit orang kaya dengan mayoritas kelas menengah dan bawah. Jumlah orang kaya yang mampu menambah tabungan mereka (tabungan Rp5 miliar ke atas) terus tumbuh, sedangkan tabungan orang miskin dan kelas menengah (di bawah Rp3 juta) terus mengempis.

Pekerjaan yang juga harus segera dibereskan ialah seberapa besar pertumbuhan ekonomi yang kita capai berbanding lurus dengan tingkat penyerapan kerja. Itu terkait dengan kualitas pertumbuhan ekonomi. Sepuluh tahun lalu, tiap 1% pertumbuhan ekonomi masih mampu menyerap maksimal 300 ribu tenaga kerja. Tapi, dalam dua tahun terakhir, 1% pertumbuhan hanya sanggup menyerap maksimal 140 ribu tenaga kerja.

Cek Artikel:  Ambang Bimbang Masuk Senayan

Mengapa bisa begitu? Sejumlah analisis menunjukkan pertumbuhan positif belum mampu menciptakan banyak peluang penyerapan tenaga kerja karena sektor-sektor yang biasanya tinggi penyerapan tenaga kerjanya tidak tumbuh tinggi pada beberapa kuartal terakhir. Berdasarkan data ketenagakerjaan per Februari 2023, tercatat mayoritas tenaga kerja Indonesia berada di sektor pertanian mencapai 29,36%, sektor perdagangan 18,93%, dan industri pengolahan 13,8%.

Pertumbuhan ketiga sektor itu bukanlah yang paling tinggi dalam beberapa kuartal terakhir. Nyaris selalu andalan pertumbuhan ekonomi kita ialah konsumsi rumah tangga. Hingga kini, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto (PDB) lebih dari separuh, yakni 53,3%. Sudah begitu, mereka yang banyak membelanjakan uang untuk konsumsi ialah kalangan menengah ke atas.

Hal serupa terjadi pada korelasi antara naiknya angka investasi dan tingkat penyerapan yang kian merosot dari tahun ke tahun. Pada 2013, setiap Rp1 triliun investasi masih bisa menyerap hingga lebih dari 4.500 tenaga kerja. Pada 2021, tiap Rp1 triliun investasi hanya mampu menyerap 1.340 orang tenaga kerja, alias merosot tinggal sepertiganya.

Cek Artikel:  Dusta Israel, Nestapa Palestina

Kendati nilai investasi dalam beberapa tahun terakhir ini terus melejit, penciptaan lapangan kerja justru turun signifikan. Reformasi struktural lewat Undang-Undang Nomor 11 Pahamn 2020 tentang Cipta Kerja dengan berbagai langkah deregulasi dan kemudahan bagi dunia usaha belum membuahkan hasil sesuai janji. Padahal, rangkaian deregulasi tadi dijanjikan bakal mendatangkan kepastian bagi investor, sekaligus kepastian penciptaan lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja.

Wajar belaka bila dari 138 juta orang yang bekerja, masih ada 35% orang yang bekerja paruh waktu, bahkan setengah menganggur. Belum lagi kalau kita lihat komposisi antara pekerja formal dan pekerja sektor informal, kesenjangan itu jelas menganga. Dari 138 juta pekerja, 60% lebih bekerja di sektor informal. Jumlah mereka pun terus bertambah.

Karena itulah, setiap kabar lumayan baik soal pertumbuhan ekonomi seyogianya tidak usah buru-buru membuat kita bertempik sorak. Kita mesti berani jujur untuk terus-menerus mempertanyakan sejauh mana capaian pertumbuhan ekonomi itu selekas mungkin mengatasi ketimpangan, menyediakan pekerjaan, syukur-syukur mewujudkan jalan menuju kesejahteraan.

Mungkin Anda Menyukai