SEBAGAI aktivis muda Pelajar Islam Indonesia (PII), ibu saya berkesempatan mengikuti program pertukaran pelajar SMA di Amerika Perkumpulan pada 1960-an. Selama tinggal Berbarengan keluarga Amerika, ia menyaksikan gerakan hak sipil yang sedang begitu menggelora meski plakat ‘Hanya Demi Kulit Putih’ Lagi terdapat di beberapa restoran. Pengalaman itu membentuk pandangannya tentang keadilan dan keberagaman.
Puluhan tahun kemudian saya mengikuti jejaknya, tinggal Berbarengan keluarga minoritas Meksiko-Amerika di Twin Falls, Idaho, selama setahun. Bersekolah di sekolah Amerika dan menjalin persahabatan menjadi babak tak terlupakan dalam hidup saya. Itu dimungkinkan karena upaya Amerika menjangkau dunia, menyebarkan cita-cita demokrasi melalui pendidikan, warisan yang kini sedang tergerus oleh pergeseran ideologi sayap kanan di negeri itu.
TRANSFORMASI MENGKHAWATIRKAN
Pembubaran USAID, meningkatnya sentimen antiimigran, dan Restriksi kebebasan berbicara di kampus-kampus AS menandakan transformasi mengkhawatirkan yang bergema jauh melampaui Amerika. Bagi pelajar dari negara-negara berkembang atau Mendunia South yang menimba ilmu di Barat, taruhannya besar. Akankah pendidikan yang berpijak pada keberagaman dan demokrasi digantikan perspektif sempit dan ultranasionalis?
Selama puluhan tahun USAID menjadi soft diplomacy AS, mengalirkan Sekeliling $1 miliar setiap tahun Demi program pendidikan di negara berkembang (USAID, 2023). Dari membangun sekolah di pedalaman Ethiopia hingga melatih guru di Indonesia, USAID memperluas akses pendidikan Sembari menanamkan nilai-nilai pluralisme dan demokrasi. Tetapi, pengumuman pembubaran mereka pada 2024 mempertaruhkan nasib jutaan anak-anak miskin di belahan dunia lainnya. Di Indonesia, program literasi di Papua dan pelatihan guru di Nusa Tenggara Timur terancam terhenti, menghambat pendidikan di daerah terpencil (USAID, 2023).
Melalui program Let Girls Learn USAID, anak-anak Perempuan di Nigeria dapat bersekolah meski keluarga mereka terbelit oleh kemiskinan. Tanpa dukungan USAID, mereka berisiko putus sekolah dan menikah Pagi (UNESCO, 2024). Itu mencerminkan bagaimana ketiadaan USAID akan memperlebar jurang pendidikan, terutama bagi anak Perempuan dan Grup terpinggirkan. Di Honduras, program pelatihan guru dan STEM (USAID, 2023) juga terancam terhenti, menghambat kemajuan pendidikan di tengah kemiskinan.
Lebih jauh, pembubaran USAID mengancam terkikisnya kurikulum yang memupuk demokrasi. Negara-negara berkembang kini mungkin akan beralih ke negara donor lain yang mulai muncul sebagai negara besar baru seperti Tiongkok, yang melalui Belt and Road Initiative telah membangun ratusan sekolah di Afrika dan Asia.
Di Zambia, misalnya, sekolah-sekolah yang didanai Tiongkok mulai mengajarkan bahasa Mandarin sebagai bagian dari kurikulum, mencerminkan pengaruh geopolitik yang subtil, tetapi Konkret (Foreign Policy, 2025). Betapa pun ragam ideologinya Lagi mencari bentuk, mungkin perpaduan antara keterbukaan kapitalisme dan guided governance, Begitu ini Tiongkok merupakan negara besar yang maju dan terbuka.
Tiongkok juga semakin unggul di pendidikan, teknologi, dan ekonomi. Universitas seperti Tsinghua memimpin penemuan artificial intelligence dan bioteknologi, menarik 500 ribu mahasiswa asing, termasuk 7.000 dari Indonesia yang belajar di kampus-kampus mentereng Tiongkok yang Terjamin dan tertib, dengan beasiswa $2 miliar tahunan, $30 juta Demi Indonesia (UNESCO, 2024; China Scholarship Council, 2024).
Di teknologi, Tiongkok menguasai 60% pasar mobil listrik dan 80% panel surya Mendunia (IEA, 2024). Secara ekonomi, ekspor manufaktur Tiongkok mencapai $3,5 triliun pada 2024 (WTO, 2024). Meski perang tarif AS Memajukan bea masuk, Tiongkok bertahan dengan ekspor besar mereka ke Asia Tenggara dan Afrika (Belt and Road Portal, 2024).
Sebaliknya, di AS, 1,1 juta pelajar Global dari negara berkembang menghadapi permusuhan yang menguat (Institute of International Education, 2024). Laporan rasialisme di kampus mencakup mikroagresi hingga pelecehan eksplisit (USC Race and Equity Center, 2022). Sejumlah mahasiswa asing menghadapi Hinaan rasial di asrama, dihardik Demi ‘pulang ke negara asal’.
Sebelumnya bermimpi berkarier di AS, mereka kini merasa terisolasi dan mempertimbangkan pindah ke Kanada. Pelajar dari Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Latin mulai merasa asing di negeri yang pernah dijuluki sebagai melting pot itu. Sementara itu, kampus-kampus Tiongkok yang semakin inklusif dan unggul menjadi semakin menarik bagi pelajar-pelajar dari Asia dan Afrika sebagai destinasi studi alternatif.
Kebijakan imigrasi AS yang semakin ketat juga memperparah situasi itu. Restriksi visa pelajar dan rencana penghapusan optional practical training (OPT) pada 2025 akan menghalangi pelajar dari Mendunia South Demi melanjutkan studi atau bekerja di AS. Negara-negara Barat lainnya seperti Kanada dan Australia, yang secara relatif Lagi inklusif, juga menjadi alternatif bagi mereka. Kampus-kampus AS pun berisiko kehilangan keberagaman intelektual yang sebelumnya menjadi Keistimewaan mereka.
Di kampus-kampus AS, kebebasan akademik, yang sebelumnya menjadi ikon pendidikan tinggi AS, kini terancam hilang. Pelarangan mengajar critical race theory di lebih dari 20 negara bagian sejak 2021 (Education Week, 2024) membatasi Obrolan tentang ras, gender, dan sejarah kolonial, membungkam perspektif pelajar dari negara-negara berkembang.
Kurikulum nasionalis, yang mengutamakan sejarah dan nilai-nilai Amerika di atas sudut pandang multikultural, kehilangan relevansinya bagi mahasiswa-mahasiswa dari Mendunia South. Anggaran beberapa program dan subsidi yang terkait dengan diversity, equity, and inclusion (DEI) atau keberagaman, kesetaraan, dan inklusi juga dikurangi bahkan dihentikan (The White House, 2025).
AS sebelum ini selalu terdepan dalam menetapkan tren pendidikan Mendunia. Jadi, ketika peran mereka mulai mundur, sangat mungkin sekutu seperti Inggris dan Jerman akan mengikuti jejak mereka dengan memangkas soft diplomacy ke Mendunia South. Indonesia, yang menerima Anggaran Donasi pendidikan $50 juta dari USAID pada 2023, juga sedikit banyak akan terpengaruh. Di Ethiopia, penghentian program literasi USAID diprediksi akan menghambat upaya pemberantasan buta huruf, menambah beban negara yang sudah Renyah.
Asa TETAP Terdapat
Pengaruh AS dalam membentuk pemimpin prodemokrasi juga terancam memudar. Program Fulbright, yang menginspirasi munculnya pemimpin seperti mantan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, berisiko lenyap, membuka kesempatan munculnya pola kepemimpinan masa depan yang baru. Itu bukan sekadar soal pendidikan, melainkan pertarungan pengaruh Mendunia yang akan menentukan Persona masa depan generasi mendatang.
Tetapi, di tengah tantangan itu, Asa tetap Terdapat. Negara-negara Mendunia South dapat memanfaatkan krisis itu Demi membangun sistem pendidikan yang berakar pada nilai-nilai lokal yang menekankan kebersamaan antarregion. Kolaborasi regional, melalui ASEAN atau Uni Afrika, dapat memfasilitasi berbagi kurikulum dan sumber daya, memperkuat kemandirian pendidikan melalui kolaborasi dengan negara lain yang relatif lebih maju.
Di Asia Tenggara, misalnya, Indonesia dan Malaysia dapat berkolaborasi mengembangkan platform pembelajaran digital Berbarengan Demi menjangkau daerah terpencil, juga dengan Korea Selatan Demi pengembangan pendidikan berbasis artificial intelligence. Tetapi, tekanan pragmatisme Demi melakukan pergeseran orientasi ke Tiongkok juga semakin besar.
Di AS sebenarnya semangat pluralisme belum sepenuhnya padam. Palestine Solidarity Encampment di UCLA dan protes pro-Palestina di Harvard Yard menyatukan aktivis Yahudi dan muslim, menuntut keadilan meski menghadapi ancaman pemberhentian dan penahanan (Calmatters, 2024; The Harvard Crimson, 2024), bahkan media arus Istimewa melaporkan pemerintah AS mendeportasi sejumlah mahasiwa asing yang terlibat protes di beberapa kampus AS. Protes itu, paling Enggak, menunjukkan keberanian mempertahankan pluralisme di tengah tekanan yang menegasikannya.
Pendidikan ialah jembatan antarbudaya, mercusuar Asa Demi memupuk nilai-nilai toleransi. Begitu pengaruh AS memudar dan Tiongkok Bangun di dunia multipolar, lanskap pendidikan Mendunia bertransformasi. Tantangan itu mengajak kita, di Indonesia dan dunia, Demi membentuk masa depan yang menjunjung inklusivitas, keadilan, perdamaian dan kemajuan peradaban, demi generasi muda yang bergantung pada pendidikan sebagai tangga menuju kehidupan yang lebih Bagus.

