Perguruan Tinggi sebagai Public Goods

Perguruan Tinggi sebagai Public Goods
Dewi Ashiila Hikmawan, Mahasiswa Program Studi Teknik Fisika ITB(MI)

PERINGATAN Hari Pendidikan Nasional Lagi hangat, tapi mahasiswa dikejutkan dengan pengumuman kenaikan Doku Kuliah Tunggal (UKT) di Unsoed, USU dan UNRI. Beberapa Perguruan Tinggi Negeri sejak tahun sebelumnya Memajukan UKT antara lain UI, ITB, UGM, dan lainnya.

Di ITB sempat heboh dengan kasus mahasiswa yang mencari sumber pembayaran Doku kuliah dengan melakukan pinjaman online (Pinjol). 

Pada 29 Januari 2024 Lampau Mahasiswa ITB sudah menggelar aksi menolak skema pembayaran Doku kuliah melalui platform pinjaman online di depan gedung Rektorat ITB. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan, skema pembayaran dengan Pinjol Enggak diizinkan yang akan diikuti dengan pemeriksaan oleh Inspektorat Jenderal di lapangan. 

Baca juga : Dede Yusuf: Bayar UKT Enggak Layak dengan Pinjol, Tapi Kerja Sama dengan Himbara

Kenaikan biaya kuliah melalui Keputusan Kemendikbudristek terakhir ini menuai protes dari kalangan mahasiswa, seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), dan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Fakta Begitu ini, Eksis ketidakadilan penentuan nilai UKT yang didasarkan jalur masuk mahasiswa dan bukan didasarkan keadaan ekonominya. Tapi ironi, karena Rupanya terdapat banyak mahasiswa yang Mempunyai gaya hidup tinggi serta Pendapatan orang Uzur cukup, Tetapi membayar UKT yang rendah, karena mereka masuk melalui jalur reguler Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP)/ Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) atau Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT (SNBT)/ Seleksi Berbarengan Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). 

Sebagai mahasiswa ITB saya mencoba menelaah masalah kenaikan Doku kuliah di PTN, secara Spesifik dengan mengkaji ITB sebagai studi kasus. Hal yang dialami ITB secara Standar juga terjadi di kampus kampus lain.

Baca juga : Rektorat USU Ungkap Argumen Penaikan Doku Kuliah Mulai Tahun Ajaran 2024-2025

Public goods Vs commercial goods

Sebaiknya terdapat revolusi sistem Buat generasi mahasiswa yang akan datang dengan meningkatkan prospek Perguruan Tinggi Negeri yang mengutamakan pendidikan sebagai Public Goods yang memanusiakan Insan.

Dari hasil kajian Keluarga Mahasiswa, pendidikan di Indonesia cenderung menjadi barang dagangan yang dibiarkan kepada pasar bebas sehingga menyempurnakan kesenjangan sosial. Pendidikan yang Sebaiknya berkolaborasi Buat meningkatkan Sumber Daya Insan (SDM) malah berkompetisi Buat menunjukkan perguruan tinggi mana yang paling unggul. Seyogianya Segala mendapatkan Pendidikan  tanpa diskriminasi, karena tujuan negara adalah meningkatkan kualitas seluruh masyarakatnya, bukan masyarakat yang berpunya saja.

Kualitas yang disebutkan di atas, dapat berupa harga pendidikan yang terjangkau dan sesuai dengan kemampuan ekonomi mahasiswa. Mahasiswa dengan kondisi ekonomi menengah, Niscaya merasakan beban finansial yang pada akhirnya menurunkan performa selama perkuliahan. Padahal, Sebaiknya pendidikan menjadi hak masif yang dimiliki oleh setiap Kaum negara tanpa terkecuali, tapi Begitu ini malah dihalangi oleh motif keuntungan finansial suatu instansi pendidikan atau bahkan dikomersialisasikan menjadi bahan dagangan.

Baca juga : Doku Kuliah USU Melonjak, Rektorat Klaim Lagi Disesuaikan dengan Ekonomi Mahasiswa

Cek Artikel:  Dokter Asing di Negara Kita

Pasal 8 Ayat 1 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2022 yang berbunyi, “Seleksi secara Berdikari oleh PTN dilakukan berdasarkan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial.” Public goods dimaksudkan Buat menempatkan pendidikan dalam kepentingan publik yang bersifat inklusif, adil pada komponen-komponennya, dan kolaboratif. 

Public goods didefinisikan sebagai barang yang dapat dimanfaatkan banyak orang secara gratis sedangkan commercial goods didefinisikan sebagai barang yang hanya dapat dimanfaatkan oleh satu pengguna saja. Dengan sifat public goods, pendidikan tinggi menjadi komoditi yang ditujukan Buat Standar dimana proses pembayaran oleh konsumen atau penggunanya “Enggak Bertanding” dan “Enggak Spesial”. 

Ketika pendidikan tinggi diperlakukan sebagai commercial goods, institusi pendidikan mengutamakan keuntungan finansial sebagai prioritas Primer. Hal ini dapat mengarah pada peningkatan biaya pendidikan Buat memaksimalkan pendapatan institusi. Ketika pendidikan dianggap sebagai bisnis yang menghasilkan keuntungan, biaya yang dibebankan kepada mahasiswa cenderung meningkat.

Baca juga : Perguruan Tinggi Jangan Hanya Andalkan UKT, Tingkatkan Tengah Kreativitas Buat Cari Anggaran

Dalam kasus di ITB, biaya sekarang ini Seleksi Berdikari ITB (SM-ITB) Mempunyai 2 kelas UKT Adalah UKT 4 : Rp20.000.000, dan UKT 5 : Rp25.000.000. Selain itu juga terdapat Iuran Pengembangan Institusi (IPI) yang harus dibayarkan satu kali pada Begitu pendaftaran ulang dengan nilai minimal Rp25.000.000. Apabila dijumlahkan, SM-ITB Mempunyai harga minimal Rp185.000.000 per 8 semester serta harga maksimal Rp225.000.000 per 8 semester. Buat Jalur SNBP dan SNBT Mempunyai 5 kelas UKT yakni UKT 1 : Rp 0, UKT 2 : Rp1.000.000, UKT 3 : Rp5.000.000, UKT 4 : Rp8.750.000, UKT 5 : Rp12.500.000

Sebagai bentuk seleksi akademis, terdapat Ujian Seleksi Berdikari, nilai UTBK, dan nilai rapor sebagai komponen penilaian. Tapi ITB Enggak memberikan subsidi biaya pendidikan bagi mahasiswa yang diterima melalui program Seleksi Berdikari ITB (SM-ITB).

Perlunya perubahan sistem UKT

Dalam hal kampus ITB, Sebaiknya Eksis potensi Buat mengubah sistem Seleksi Berdikari serta penentuan harga biaya pendidikan mahasiswanya Buat mewujudkan ITB sebagai PTN yang menjunjung pendidikan sebagai public goods. Hal ini Buat menjawab pertanyaan, mengapa ITB Enggak dapat menyetarakan harga UKT Buat mahasiswa yang diterima jalur SM-ITB agar sama seperti mahasiswa jalur seleksi nasional (SNBT/SNBP)? 

Di sisi lain, mengapa ITB menutup kesempatan mendapatkan keringanan/subsidi bagi mahasiswa yang diterima jalur SM-ITB, selain mahasiswa yang berasal dari daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T) dan Kartu Indonesia Pintar-Kuliah (KIP-K)?

Setelah melakukan penelusuran dan Komparasi dengan kebijakan di beberapa perguruan tinggi lain, kami menemukan bahwa ITB Mempunyai jumlah tingkat UKT yang lebih sedikit dibandingkan dengan beberapa PTNBH lainnya. Begitu ini, ITB hanya Mempunyai 5 tingkat UKT, sementara UI Mempunyai 11 tingkat, UNDIP Mempunyai 8 tingkat, serta ITS Mempunyai 7 tingkat. Perbedaan jumlah tingkat ini memberikan kesan, bahwa penentuan biaya kuliah di ITB Enggak mencerminkan keragaman kondisi ekonomi mahasiswa. Disadari, bahwa ITB Mempunyai berbagai pertimbangan dalam menetapkan struktur biaya, Tetapi penambahan tingkat UKT dapat memberikan lebih banyak opsi dan keseimbangan yang lebih Berkualitas.

Cek Artikel:  Keselamatan Pasien Tanggung Jawab Profesi dan Kompetensi

Sudah sepatutnya ITB mempertimbangkan Buat menambah tingkat UKT menjadi 7–11 kelas, seperti yang dilakukan beberapa perguruan tinggi lain. Dengan demikian, kampus dapat memberikan lebih banyak pilihan kepada mahasiswa Buat mendapatkan kelas UKT yang lebih sesuai dengan kemampuan ekonominya. Hal ini, diharapkan dapat menghindari adanya penetapan harga UKT yang lebih tinggi daripada kemampuan ekonomi mahasiswa. 

Dengan pola ini akan lebih banyak Tengah mahasiswa yang memperoleh kesempatan mendapatkan pendidikan tinggi tanpa beban finansial yang terlalu berat, dan sekaligus menghindari terjadinya kasus penunggakan/penangguhan yang merugikan kampus. Melalui pola ini akan muncul Akibat positif bagi keberagaman sosial dan ekonomi di lingkungan kampus ITB, sekaligus meningkatkan aksesibilitas pendidikan tinggi bagi mahasiswa dari berbagai lapisan masyarakat.

Faktanya, terdapat banyak mahasiswa SM-ITB yang menunggak atau melakukan penangguhan karena Enggak Bisa membayar nilai UKT + IPI SM-ITB yang terlalu tinggi. Terdapat 587 mahasiswa pada Semester 1 2022/2023 serta 145 mahasiswa pada semester 1 2022/2023 dari jalur IUP/SM yang menunggak UKT.

Setelah melakukan penelusuran dan Komparasi dengan kebijakan beberapa perguruan tinggi lain seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Diponegoro (UNDIP), kami menemukan bahwa mereka menerapkan sistem penilaian UKT yang setara Buat seluruh jalur masuk mahasiswa. Sistem penilaian UKT yang berbeda di ITB Buat jalur Berdikari dengan SNBT/SNBP menciptakan kesan bahwa mahasiswa dari jalur tertentu Mempunyai nilai UKT yang lebih rendah atau lebih tinggi daripada mahasiswa dari jalur lain, tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi masing-masing.

Sudah Sebaiknya ITB mempertimbangkan Buat melakukan penyetaraan nilai tingkat UKT Buat seluruh mahasiswa, tanpa membedakan jalur seleksinya. Konsep ini dapat merujuk pada praktik yang telah diterapkan oleh beberapa perguruan tinggi terkemuka lainnya, di mana seluruh mahasiswa, Berkualitas yang masuk melalui SNBT, SNBP, maupun jalur Berdikari, Mempunyai nilai UKT yang sama.

Sebagai gantinya, penentuan penurunan nilai UKT dapat dilakukan melalui seleksi berkas yang mencakup pertimbangan kemampuan ekonomi mahasiswa. Sistem ini diharapkan dapat menciptakan kesetaraan di antara seluruh mahasiswa, meminimalkan potensi ketidakadilan, dan memberikan Kesempatan pendidikan tinggi kepada mahasiswa dari berbagai lapisan masyarakat. Dengan langkah ini akan lahir inklusivitas dan keadilan di ITB dan juga perguruan tinggi lain sebagai perguruan tinggi yang mewujudkan pendidikan tinggi sebagai Public Goods.

Hal lainnya, dengan mencontoh apa yang dilakukan UI dalam penerapan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) yang disesuaikan dengan kemampuan penanggung biaya pendidikan calon mahasiswa, atau dikenal dengan BOP-Berkeadilan (BOP-B). UI melakukan Validasi dan penilaian terlebih dahulu sebelum menetapkan biaya pendidikan yang akan dibayarkan calon mahasiswa. 

Buat BOP-Pilihan (BOP-P) merupakan mekanisme biaya pendidikan bagi mahasiswa UI Buat program sarjana reguler. Penetapan biaya pendidikan (UKT) ditentukan sendiri oleh penanggung biaya pendidikan berdasarkan keinginan Buat berkontribusi dalam membantu biaya pendidikan di kampus. 

Cek Artikel:  Ramadan dan Krisis Iklim

Mahasiswa yang termasuk BOP-P atau yang Mempunyai kemampuan ekonomi yang sangat Bisa akan ditetapkan dengan tingkat UKT tertinggi serta wajib menyumbang IPI. Atau seperti yang dilakukan UGM, mahasiswa yang diterima jalur Berdikari diberikan tingkat UKT yang sama dengan jalur lain. Tetapi, Apabila mahasiswa Berdikari tersebut ditetapkan dengan tingkat UKT tertinggi, ia wajib membayar IPI. 

Hal ini dapat merealisasikan tujuan pencarian pendapatan Perguruan Tinggi melalui jalur SM dengan Langkah yang lebih adil. Langkah Buat menetapkan perbedaan sesuai program studi juga dapat dilakukan, dimana UKT mahasiswa berdasarkan fakultas atau program studinya.

Biaya UKT di ITB lebih tinggi dibandingkan dengan PTNBH lainnya di Indonesia. SM-ITB Mempunyai konsep sistem paling mirip dengan Jalur S1 Paralel UI. Tetapi, Buat S1 Paralel UI pun, harga UKT dan IPI Lagi jauh lebih murah daripada SM-ITB. Sebagai Komparasi Buat Fakultas Teknik biaya S1 paralel UI Sekeliling Rp130 juta per 8 semester).

Pola beasiswa yang dilakukan ITS juga patut dipelajari sebagai Komparasi. ITB dapat mengeluarkan sistem beasiswa Buat mahasiswa yang diterima jalur SM-ITB, berupa pengurangan tingkat UKT dan/atau pembebasan dari biaya IPI. Dan kesempatan beasiswa ini harus terbuka secara rata Buat seluruh mahasiswa dari berbagai latar belakang ekonomi. Selain memberikan keringanan kepada mahasiswa yang Mempunyai Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) dan berasal dari SMA/MA di Distrik 3T, kampus Sebaiknya juga Bisa memberikan keringanan kepada mahasiswa dengan tingkat ekonomi menengah. 

ITS Mempunyai tiga jalur seleksi Berdikari, masing-masing memberikan kesempatan dan beban finansial yang berbeda bagi calon mahasiswa. Sistem ini mencakup Seleksi Berdikari Prestasi, Seleksi Berdikari Standar, dan Seleksi Berdikari Kemitraan. Model ini Dapat menjadi masukan bagi perguruan tinggi lain, karena lebih inklusif dan adil serta memberikan berbagai opsi sesuai dengan potensi akademik, kebutuhan ekonomi, dan kemitraan dengan instansi Kawan.

Kita menyadari bahwa beban perguruan tinggi juga meningkat. Buat proyek pembangunan kampus (apalagi Apabila Eksis cabang baru) memerlukan sumber pendanaan yang signifikan. Sudah selayaknya kebutuhan tersebut Enggak dibebankan kepada mahasiswa saja. Perguruan tinggi dengan tradisi keilmuan yang sudah Uzur Mempunyai potensi kerja sama dengan Kawan dalam dan luar negeri, serta dukungan yayasan, ikatan alumni yang mendukung pola beasiswa yang kuat. 

Hari Pendidikan Nasional sudah kita lewati 2 Mei 2024 yang Lampau, tapi kenaikan UKT di berbagai perguruan tinggi menjadi ganjalan di pesta perayaan Hardiknas. Peringatan Hardiknas menjadi kontraproduktif Apabila pendidikan Enggak inklusif, dan hanya Dapat dinikmati golongan masyarakat tertentu saja. Rayat miskin semakin bodoh, dan kebodohan melahirkan kemiskinan. Ini lingkaran setan yang harus kita retas Berbarengan. (Z-10)

 

Mungkin Anda Menyukai