
IBARAT seorang wartawan mengajukan pertanyaan pada kepala daerah yang wilayahnya didera masalah kelaparan akut; bagaimana Langkah mengatasi kelaparan akut? Pertanyaan itu dijawab ‘dengan sarapan’.
Begitu pula dengan polusi udara yang terjadi di kawasan DKI Jakarta dan sekitarnya. Uniknya, jawaban itu diungkapkan dengan lugas, tegas, dan bernas. Lantang para pemimpin mengecilkan permasalahan sekaligus mengerdilkan pemikiran.
Polusi udara akut dijawab dengan kebijakan work from home (WFH). Kalau WFH menjadi solusi Cocok polusi udara, mengapa Tak dipermanenkan saja. PNS dan ASN selamanya WFH. Itu akan terdengar lebih merdu di telinga. Setidaknya gaji dari pajak rakyat Pandai Buat usaha sampingan pelihara ayam atau buat warung kelontong.
Polusi udara Tak muncul tiba-tiba. Ia seperti jelangkung yang disebut-sebut butuh dipanggil sekaligus Tak perlu diantar pulang. Ia akan hilang dengan sendirinya ketika panggilannya dibatalkan.
Lantas, bagaimana menangani polusi udara? WFH saja. Tak salah juga para pemimpin tak memasukkan persoalan lingkungan dalam otak mereka. Toh, dalam Pancasila Tak Terdapat satu kata pun yang menyebut lingkungan, ekologi, polusi udara, ataupun sampah plastik. Artinya, mereka adalah pemimpin yang lurus dan bersetia dengan dasar negara, sekaligus berperilaku sesuai Langkah pandang Pancasila.
Tentu saja itu merupakan bahasa halus dari ketidakmampuan menerjemahkan landasan konstitusi Buat menjawab persoalan kehidupan segenap rakyat.
Kembali pada polusi udara. Harus diakui persoalan lingkungan Tak lebih menarik dari isu kesejahteraan, kemiskinan, kelaparan, pendapatan, dan lapangan kerja. Setidaknya, dalam isu tersebut terasa lebih dekat dengan politik kekuasaan yang menjadi tempat lahir pemimpin bangsa ini. Mungkin lebih banyak Doku mengalir di politik dibanding memelihara lingkungan yang kerap berbaku-Pukul dengan dunia usaha.
Silang pendapat
Berdasarkan banyak pendapat Ahli yang juga kerap bersimpangan. Polusi udara di DKI Jakarta diakibatkan oleh operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang memakai batu bara Buat menghasilkan listrik. Tentu saja, hal itu Pandai langsung dibantah oleh orang-orang yang menggantungkan penghasilannya dari produksi batu bara dan listrik.
Terdapat pula pendapat yang menyebut kendaraan bermotor menjadi sumber Istimewa polusi. Biasanya, pendapat itu disertai dengan data yang mendukung sekaligus mengesampingkan data yang menentang. Kembali-Kembali, data itu sengaja dipilih dan dipilah sesuai dengan bangun pemikiran yang hendak diungkapkan. Lampau, terjadilah perang data Buat menunjukkan argumen yang paling kuat, Buat kemudian menang debat. Sekali Kembali, bukan Serempak mencari solusi yang Cocok nan permanen.
Transportasi publik hanya sekadar Terdapat dan punya. Setidaknya Buat berbangga ketika pertemuan Global. Pemimpin kita dengan bangga akan bilang Jakarta punya MRT dan LRT. Seolah Tak mau kalah dengan negara lain yang transportasi publik menjadi tulang punggung, bukan sekadar punya. Di beberapa negara maju, kaum pejalan kaki adalah raja. Di sini, kaum pejalan kaki merupakan jelata yang seolah Tak punya hak Buat berada di Jakarta.
Sekali Kembali, urusan Daya Kudus akan menjadi seksi Kalau dikaitkan dengan kendaraan listrik, motor listrik, dan kendaraan yang diklaim ramah lingkungan. Padahal sumber Daya listrik itulah yang dinilai jadi sumber masalah.
Bayangkan kalau 50% masyarakat Jabodetabek membeli kendaraan listrik seperti Asa pemerintah. Mari kita beli kendaraan listrik yang disubsidi oleh pemerintah. Apakah polusi udara berkurang? Pandai jadi. Kemacetan? Tambah Kembali. Mungkin dalam pemikiran para pemimpin, Stagnan akan lebih menyenangkan Kalau minim polusi udara. Pengendara Pandai menikmati udara Segar nan segar di tengah kemacetan.
Uji emisi akan digalakkan Buat menyikapi masalah polusi udara. Ide yang Cocok-Cocok brilian. Ibarat sakit Lampau pergi ke rumah sakit. Dokter hanya memeriksa, Lampau pasien disuruh pulang. Setelah itu, penyakitnya diharap pergi dengan sopan.
Krusialkah isu lingkungan? Sudahlah jangan berharap soalan ekologi Pandai mendominasi arus Istimewa perbincangan di negara ini. Toh tujuan bernegara adalah terwujudnya keadilan sosial sembari berpraktik hidup dan kehidupan dengan didasarkan ketuhanan yang maha esa. Artinya, Tak perlu berekologi. Lebih Krusial berekonomi sembari mewujudkan keadilan sosial.
Memang hanya orang futuristik yang berpikir dan berpihak pada keberlanjutan daya topang lingkungan pada aktivitas Orang. Antroposentris? Memang.