Pemilu Pertaruhan Harkat Demokrasi

PEMILIHAN umum yang sudah berulang kali digelar di negeri ini mestinya membuat bangsa ini kian matang dalam berdemokrasi. Kematangan itu seharusnya bisa diwujudkan dalam proses berdemokrasi yang sehat, yang bersandarkan pada kepatuhan etika dan hukum.

Dengan demikian, demokrasi bisa benar-benar mewujudkan kedaulatan rakyat. Demokrasi yang benar-benar dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Seluruh rakyat berpesta, bersuka ria, karena inilah momen mereka.

Tetapi, jujur harus kita katakan bahwa Pemilu 2024 berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya setelah reformasi 1998. Pasca reformasi, pemilu yang diharapkan semakin berkualitas, kali ini justru penuh cela dan diwarnai ketakutan. Pemilu yang mestinya menjadi ajang kegembiraan, diliputi oleh situasi tertekan yang dirasakan banyak kalangan.

Apa yang disampaikan Ketua Lumrah Partai NasDem Surya Paloh bahwa pemilu mestinya menjauhkan rakyat dari rasa waswas, belum sepenuhnya bisa diwujudkan. Hal ini pertanda bahwa pemilu masih jauh panggang dari api sebagai pesta rakyat yang seharusnya membahagiakan, karena rakyat akan memilih pemimpin mereka untuk lima tahun ke depan. “Demi apa demokrasi kalau kebebasan berpendapat ditentang dan diintimidasi?” kata Surya dalam orasinya pada Konsolidasi Akbar Partai NasDem di Kota Parepare, Sulawesi Selatan, Selasa (6/2).

Cek Artikel:  Turun Kelas akibat Pajak Naik

Surya mempertanyakan apakah sistem ketatanegaraan kita sudah benar atau menyimpang? “Apabila salah, maka harus segera diperbaiki. Kembali ke jalan yang lurus. Itu yang kita harapkan karena kita cinta bangsa ini. Jangan posisikan kita di sini, kalian di sana. Yang tidak sepakat dijadikan musuh. Itu berbahaya. Itu yang kita tidak mau,” tandas Surya.

Apa yang disampaikan Surya Paloh bukan bualan belaka. Publik secara kasat mata melihat bagaimana petaka demokrasi dalam pemilu kali ini bermula. Itulah saat deklarasi Presiden Joko Widodo dihadapan para pemimpin redaksi nasional di Istana Negara bahwa pihaknya akan cawe-cawe dalam Pemilu 2024 karena sangat menentukan keberlanjutan pembangunan yang telah dikerjakannya.

Cek Artikel:  Mitigasi Akibat Perang Iran-Israel

Selain itu, Jokowi juga menegaskan bahwa pemimpin yang terpilih akan menentukan apakah Indonesia akan sukses menjadi negara maju atau tidak. Setelah heboh pernyataan perdana cawe-cawe itu, Jokowi meralatnya. Dia menegaskan akan berdiri di atas semua golongan dan semua kontestan pemilu.
 
Tetapi, pernyataan tidak cawe-cawe Jokowi itu dilawan lagi oleh pernyataan dia berikutnya ketika Jokowi menyatakan presiden berhak berpihak, berhak ikut kampanye.

Amat terang terbaca bahwa kepentingan Presiden Jokowi untuk berpihak dilandasi oleh keikutsertaan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, dalam pilpres.

Konflik kepentingan Presiden Jokowi berikutnya menjalar ke mana-mana. Meski Jokowi meminta TNI, Polri, ASN dan penjabat kepala daerah yang ditunjuknya netral dalam pemilu, faktanya Jokowi sendiri yang menunjukkan indikasi keberpihakan kepada salah satu paslon. Donasi sosial pun digarapnya sendiri untuk membranding salah satu paslon.

Kondisi pembusukan demokrasi itulah yang membuat dunia kampus yang dimotori guru besar melawan. Tetapi, alih-alih menindaklanjuti seruan itu dengan kembali ke koridor sejati demokrasi, Istana malah menuding sivitas akademika itu telah membuat gerakan partisan. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia bahkan menuding kalangan intelektual itu melancarkan agitasi kepada rakyat.

Cek Artikel:  Rontokkan Metode Usang demi Damai Papua

Itulah tanda-tanda kekuasaan malah membuat demokrasi diliputi rasa waswas. Dari situlah muncul gerakan tandingan di balik layar untuk mendelegitimasi suara nurani dari guru besar. Demokrasi telah dipukul mundur oleh anak kandungnya sendiri.

Demokrasi bukan lagi ajang kegembiraan bagi rakyat. Demokrasi bahkan hendak disulap serupa monster yang terus menakut-nakuti, menebar rasa cemas dan rasa waswas.

Kita tidak lelah menyeru kepada Presiden Jokowi agar kembali ke jalan yang benar. Sumpah Jokowi sebagai presiden atas nama Tuhan dan berjanji memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala undang-undang selurus-lurusnya mesti dibuka kembali. Jokowi sebagai anak kandung demokrasi harus malu bila ia dikenang sebagai rezim yang meruntuhkan demokrasi. Lagi ada waktu untuk kembali.

Mungkin Anda Menyukai