Ilustrasi. Foto: Medcom.id
Jakarta: Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar meramalkan pemerintah bakal kesulitan mencapai Sasaran pajak di tahun ini. Pemerintah menargetkan penerimaan pajak 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun, atau tumbuh 13,9 persen dari outlook 2024.
Di tahun Lampau saja, pemerintah gagal mencapai Sasaran penerimaan pajak. Hingga Desember 2024, penerimaan pajak mencapai Rp1.932,4 triliun atau 97,2 persen dari Sasaran yang dipatok Rp1.988,9 triliun.
“Buat 2025, Sasaran penerimaan pajak cukup tinggi. Pemerintah butuh tambahan penerimaan pajak Rp256,9 triliun dari realisasi 2024 Buat mencapai Sasaran di 2025. Bukan Sasaran yang mudah,” ujar Fajry kepada Media Indonesia, dikutip Selasa, 7 Januari 2025.
Buat mengejar penerimaan pajak yang Lagi seret pemerintah perlu melakukan upaya luar Normal atau extra effort Buat mencapai Sasaran yang ditentukan. Menurut Fajry, otoritas perlu menerapkan kebijakan Buat meningkatkan kepatuhan wajib pajak terhadap kewajiban perpajakan.
“Tanpa upaya luar Normal dan terobosan kebijakan, bukan tak mungkin penerimaan pajak 2025 ini Enggak tercapai,” tegasnya.
(Ilustrasi. Foto: Medcom.id)
Harga komoditas dunia melempem
Dihubungi terpisah, kepala ekonom Permata Bank Josua Pardede berpendapat penerimaan pajak juga amat dipengaruhi oleh harga sejumlah komoditas, utamanya dari minyak dan gas (migas), batu bara dan minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Ia menilai Enggak tercapainya Sasaran penerimaan pajak di 2024 lantaran melandainya harga komoditas tersebut.
“Penerimaan pajak yang Enggak Lelah Sasaran dikarenakan kontraksi signifikan pada pajak Pendapatan (PPh) badan. Ini disebabkan oleh penurunan profitabilitas di sektor batu bara dan industri pengolahan CPO akibat Pengaruh dari normalisasi harga komoditas dunia,” ucap dia.
Josua menambahkan penerimaan pajak juga turun karena PPh migas yang terkontraksi karena harga minyak dunia yang cenderung menurun di tahun Lampau. Unsur lainnya adalah penurunan pajak pertambangan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) pada kuartal I dan II 2024.
“Penurunan ini akibat merosotnya aktivitas ritel atau perdagangan akibat melonjaknya tingkat inflasi serta menurunnya penjualan mobil di tengah tingginya Etnis Mengembang. Ini yang mesti diwaspadai oleh pemerintah ke depannya,” Terang Josua.